Cahaya Pudar


Aku duduk termenung memandangi hijaunya taman kota tercinta ini. Tak menyangka, keindahan buatan-Nya yang terus menerus menyadarkan diri ini agar tidak jauh dari rasa syukur terhadap-Nya. Suasana ini yang paling kusukai. Banyak anak kecil bermain bersama orang tuanya disana. Banyak pula pedagang-pedagang yang menjual bingkisan-bingkisan manis. Inilah waktu yang tepat.

Ku memulai memejamkan mata, meresapi setiap hembusan nafas. Tak terelakan. Sejuknya suasana senja yang meraung-raung. Mengeluarkan segala gejolak dari dalam. Menyegarkan apa yang terasa sangat mengganggu. Dan aku berusaha memahami itu.

Ada setitik cahaya mengkilat di pejaman mataku. Cahaya yang penuh romantisme kelembutan. Hal yang kukira tak selamanya menjadi asa yang pasti, dalam hati. Cahaya itu datang, menghampiri. Dan aku mulai bertanya–tanya pada jiwa ini. Mengapa cahaya itu terus memancarkan sinarnya? Mengapa cahaya hanya menerangi jalanan itu? Tidak yang lain?. Pejaman mata ini semakin merasuk ke dalam kalbu yang semakin lembut. Tak menyangka cahaya itupun terus mengikutiku.

Aku melihat di sekeliling jalan. Gelap gulita. Tak ada apapun di dalamnya. Akupun tertegun-tegun. Dan apa yang selama ini aku lalui hanyalah jalan, jalan menuju entah dimana ujungnya. Aku terus berjalan, berlari, menapakkan kaki sebagai sisi masa lalu yang berusaha kusadari. Bahwa masa lalu yang akan menjadi masa dimana kita sedang menghirup udara senja saat itu. Inilah jalan yang harus terus ku lewati, walau rintangan terus menghadang.

Terus menyusuri tiada henti. Jiwa ini terasa nyaman. Ketika jalan yang telah ku lalui tidak ada suatu apapun yang menghalangi. Semakin hilang pula kegelapan-kegelapan di dalamnya. Senja ini yang menemaniku. Terus menyadarkan akan kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan. Jalan yang semakin indah, semakin benderang. Meninggalkan kegelapan tempat cahaya itu mengikutiku.

Sementara, tak dimengerti, tak ada anggapan pula, cahaya itu berhenti mengikutiku. Aku terus bertanya mengenai cahaya yang terasa asing. Cahaya itu semakin redup. Tak ada tanda untuk bersinar kembali seperti sedia kala. Aku merasa telah berselimutkan egois yang tak tau dari mana datangnya. Dan tak lelah jiwa ini terbawa, melayang. Semakin ku menapakkan kaki di jalan itu, semakin cahaya itu tak ingin menyinari. Mungkin aku terlalu jauh menempuh jalan itu. Atau mungkin cahaya itulah yang sudah tidak memiliki harapan untuk bersinar. Hitam dan putih meluap di benakku.

Menanggapi semua anggapan semu itu, aku dengan bahagianya, terus berlari menyusuri jalan itu. Hanya mencari kebahagiaan di jalan itu. Aku mulai melihat jalan-jalan kecil. Jalan-jalan kecil yang berkelok-kelok. Di sampingnya terdapat hijaunya semai-semai nan indah. Itulah yang semakin memberi warna keindahan senja itu. Semakin pula ku tertangkap dahsyatnya keindahan itu. Namun, aku merasa ada yang berubah. Berubah dari yang biasanya. Yang sebelumnya, kala itu, ku melewati dengan hati-hati, penuh penghayatan, rasa yang paling berwarna, tak semena-mena. Tidak untuk saat itu.

Angin sepoi-sepoi terus menenggelamkanku semakin dalam. Pejaman mata ini tak lelah. Terus menggali masa lalu yang sangat menyebalkan. Suara kendaraan, riuh orang, tak mengganggu. Hanya itu tujuanku. Saat itu.

Ku melanjutkan perjalananku, menyusuri jalan itu. Semakin senja, semakin ku memahami makna hidup yang telah ku lalui. Di kala sang mentari menyinari dedaunan yang tumbuh berseri. Embun pagi yang membekas. Mencari cahaya.

Namun, di titik penghabisan, di senja itu. Pejaman mataku berakhir. Ku menghela nafas yang panjang, sepanjang jalan yang ku lalui. Menghembuskan dengan penuh penyesalan. Aku sangat memahami ini semua. Saat itulah cahaya yang seharusya aku hampiri. Aku terlalu memaksa untuk melewati keindahan jalan itu. Gelap yang menjadi terang. Yang memudarkan cahaya itu. Memaksaku untuk meraih terang yang kuanggap semu. Dengan adanya rasa paling menawan di hembusan nafas, nafas senja di kota kecil ini. Dan rasa penyesalanku telah merobek keindahan senja saat itu. Cahaya yang telah pudar, yang semestinya bersinar menemani senja itu pula.

Dari ini semua, aku tetap bersyukur. Walaupun penyesalan terus muncul, terus berbisik tiada lelah bahwa jiwa ini telah kehilangan setitik cahaya yang sanggup menyinari kehidupan yang nyata. Menghapus dunia penuh semu. Menghitam. Dan aku merasa terlalu berharap. Yang saat ini seharusnya tidak akan mungkin pantas untuk bersinar kembali seperti sedia kala. Karena matinya hati yang tak disadari.


Senyuman orang-orang di sekitar mengingatkanku. Senyuman yang aku pahami sebagai biasan rasa syukur kepada-Nya. Aku tersenyum. Melupakan segala penyesalan. Dan berjanji tak akan kuulangi kenyataan yang pahit itu.


:::Sorayaa Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb :::

Fhaa_PrincessHaramain