Gadis Penikmat Fajar

Petir sesekali terdengar menggelegar. Pemakaman itu sepi nyenyat, tak ada seorangpun yang berminat melangkah ke kuburan di masa-masa hujan seperti ini, kecuali sepasang suami istri yang sengaja datang karena satu keperluan. Bunga-bunga kamboja nampak bermekaran dengan indahnya, menjadi pemanis diantara timbunan tanah berisi jasad tak bernyawa. Beberapa burung gagak terlihat bertengger pada pagar pemakaman. Mungkin mendoakan para penghuni di sana. Perlahan tangan kanan Ragil membimbing tangan istrinya melewati satu demi satu batu nisan yang ada di sana. Sedangkan tangan kirinya kokoh memegang payung untuk melindungi mereka dari kuyup. Sebentar-sebentar mereka berhenti. Tanah yang basah itu kerap menjebak kaki mereka, melesakkannya kedalam, memaksa mereka untuk mengangkat kaki tinggi-tinggi demi terbebas dari jebakan tanah. Beberapa tanah yang meliat ikut menempel di sol sepatu, membuat langkah sepasang suami istri itu menjadi lebih berat.

 Akhirnya sampailah mereka pada nisan yang dituju. Wanita itu menatap suaminya, seolah memastikan. Suaminya mengangguk sambil menyeka air matanya yang mulai luruh bersama hujan. Dengan tanpa kata-kata wanita itu membungkuk, yang langsung disusul oleh Ragil. Mereka tak peduli baju panjangnya terpercik noda-noda lumpur. Kini sepasang suami istri itu bersimpuh di depan sebuah makam. Mereka berdua menangis haru. Berterimakasih tak henti-henti atas apa yang telah dilakukan si jasad tak bernyawa yang sekarang mungkin sedang memetik buah-buah kebaikan yang ditanamnya semasa hidup.

*****

 Jogjakarta 2007

Ragil berjalan sambil sedikit berlari menuju arah kamar Tyo, setelah menyapa tante Ami mama Tyo di ruang tamu. Saat membuka pintu kamar, Tyo sedang nampak serius membaca sebuah buku. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi malas yang melintang di balik jendela kamarnya yang lebar. Dari situ ia bisa melihat taman belakang rumahnya yang begitu asri. Mamanya sangat rajin berkebun. Selain itu kursi malas itu memang spot favoritnya untuk membaca buku karena cahaya matahari sempurna menerangi huruf demi huruf yang dibacanya. Tanpa permisi Ragil masuk begitu saja mengambil gitar yang tergantung di dekat meja komputer. Lalu duduk di atas kasur dan memainkan “Loving you, it’s easy cause you’re beautiful”. Tyo bergidik menatap sahabatnya yang barusan datang. “Gil, masih normal kan?”. “Absolutely brother” katanya sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Tyo geleng-geleng dan melanjutkan membaca buku.

 “Yo, aku jatuh cinta” kata Ragil seketika..

Kini tiba-tiba buku di tangannya tak menarik lagi bagi Tyo. Ia menutup bukunya dan meletakkannya di rak. Lalu beringsut turun dari kursi malas dan menarik kursi di meja komputernya. Ia memajukan kursi dengan roda di bawahnya mendekati ranjang. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Membuka lebar-lebar pendengarnya.

 “Siapa wanita beruntung itu?”

Itulah yang Ragil suka dari Tyo. Sahabatnya ini sungguh perhatian. Tak pernah sekalipun hal sepele yang disampaikannya diremehkan. Urusan cinta adalah perkara besar, maka bisa dibayangkan sebesar apa perhatian yang dicurahkan oleh Tyo.

 “Perempuan biasa, penyuka langit fajar”

Mata Tyo membulat “persis sepertimu”

“Itulah kenapa aku menyukainya Tyo”, “Wanita ini unik, tiap pagi masih dengan mukenanya ia selalu duduk pada tangga pintu masuk masjid kampus kita”

Tyo sedikit mengernyitkan dahi. “Itu juga tempat favoritku menghabiskan waktu menikmati pergantian fajar ke pagi”. Ah Tyo mulai paham. “Cinta lokasi?” tatap Tyo penuh selidik. Ragil diam sebentar, berfikir “Ya, bisa jadi”. “Lalu?” lagi-lagi Ragil diam, pertanyaan Tyo yang hanya sekata itu seolah menantangnya lebih. “Aku akan mendekatinya” kata Ragil mantap. Kali ini Tyo tergelak, “sebagai lelaki kamu hanya berani mendekatinya? Ya Tuhan”. Ragil gamang, hatinya diliputi getar-getar, ledekan Tyo walau menyentil ada benarnya. Lelaki macam apa yang hanya mendekati wanita, menebar harapan tanpa memberi kepastian. “Aku akan mempersuntingnya”. “Nah, ini baru Ragil sahabatku yang kukenal!” sambung Tyo sambil menepuk bahu sahabatnya.

“Tapi” tatapan Ragil mendadak lesu, gitarnya dimainkan dengan sekenanya. Fals. “Tapi apa?” tantang Tyo. “Bantu aku mengenalnya lebih dekat, kumohon”. Wajah Ragil tak segarang tadi. Malah dengan sekejap beralih pucat seperti ikan yang lama terdampar di darat dan kehabisan oksigen. Walaupun dengan berat hati Tyo meng-iyakan permohonan Ragil.

***

Subuh ini subuh yang berbeda. Sengaja malamnya Ragil menginap di rumah Tyo untuk mengatur rencana mendekati gadis si penikmat fajar. Entah berapa kali Ragil menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Ia sengaja memakai baju koko andalan, hadiah Ibunya untuk lebaran tahun kemarin. Dikenakannya pula sarung terbaik, yang diiklankan di televisi. Ah peci jangan lupa peci. Peci hitam yang bentuknya mirip dengan peci Bung Karno ini sempurna sudah menutupi dahinya yang lebar bagai lapangan terbang.

“Sudah?” Tyo sudah berdiri di ambang pintu kamar dan bersiap pergi saat Ragil masih memeriksa kebersihan giginya di depan kaca. Tak lama ia menyusul “Sudah komandan, bagaimana?” Ragil meminta pendapat sahabatnya atas penampilannya hari ini. “Kau akan dikira imam sholat kami” jawab Tyo ringan. Tyo memang sangat terbiasa memuji, tak pernah sekalipun dari mulutnya keluar kata-kata yang tidak bermanfaat apalagi menyakitkan. Yang dipuji tersenyum bangga.

Subuh ini subuh yang berbeda. Lonjakan perasaan yang amat sangat membuat Ragil bergairah. Yang pada akhirnya membuatnya tidak khusyu. Lancang. Ia mencurangi Tuhan kini. Tubuhnya memang ruku dan sujud, tapi pikirannya berlari ke arah tangga tempat si penikmat fajar tersenyum sambil menatap gradasi warna langit yang memukau. “Maafkan aku ya Allah” gumamnya dalam hati. Saat khotib menyampaikan khutbah lepas Subuh, kaki Ragil sudah sangat gatal ingin keluar. Ia takut gadis penikmat fajar itu keburu pergi. Melihat sahabatnya kasak kusuk gelisah Tyo menenangkan. “Sabar, tunggu sebentar. Gadis itu tidak akan kemana-mana”. Ragil menjadi lebih tenang kini. Entah kenapa ia selslu percaya setiap Tyo mengatakan sesuatu. “Ya, dia tidak akan kemana-mana”

Semua jamaah bubar tak terkecuali Ragil dan Tyo, mereka segera mengambil sandal dan berlari ke arah tangga. Sebenarnya hanya Ragil saja yang berlari, Tyo tetap santai berjalan sambil sesekali menyapa jamaah yang lain. Diam-diam Ragil gemas, “Ayo Tyo, cepat”

Tepat. Begitu mereka sampai di tangga teratas, gadis penikmat fajar itu sudah duduk di undakan ke tiga. Masih dengan mukena bagian atasnya, yang membuat keanggunannya tak terkalahkan oleh dewi-dewi yang bahkan diturunkan dari kahyangan.

Ada sesuatu yang berbeda di hati Tyo saat memandang gadis itu. Ada perasaan entah apa yang menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Getar itu menyelusup menebarkan kenyamanan yang dalam. Wajah gadis itu teduh bersahaja, tidak bisa dibilang cantik, tapi menyenangkan. Ia memandang Ragil yang menatap gadis itu sangat dalam. Ah iya Tyo tersadar, ia kesini untuk membantu Ragil sahabatnya.

Kini mereka berdua saling tatap. Tyo sudah siap menjalankan misinya. Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu, membawa sepucuk surat yang semalaman ditulis oleh Ragil sampai dahinya membanjir. Ya, sepucuk surat sajalah senjatanya. Terdengar kuno di jaman sekarang, tapi keromantisan surat tak pernah bisa dikalahkan oleh apapun. Tyo menuruni undakan-demi undakan, harus diakui hatinya juga turut berdebar. Kini ia coba duduk santai persis di sebelah gadis penikmat fajar itu. Nampaknya gadis itu tidak terusik. Ia tetep khusyuk memandangi langit.

Tyo berdehem ringan basa basi khas yang dikeluarkan tiap seseorang akan memulai percakapan.
“Sendiri saja?” tanyanya sopan pada gadis itu. Tak ada jawaban. Gadis itu tetap asik dengan langit fajarnya. “Maaf mbak, sendiri saja?” ulang Tyo. Gadis itu kini berpaling ke arah suara. “Oh mas tanya saya? Maaf saya kira sedang ngobrol dengan orang lain”. Saat itulah, saat gadis itu menatap langsung kearahnya. Jantung Tyo terasa bagai ditikam. Nafasnya sesak. Bukan karena kelainan jantungnya kumat. Tapi ia merasa sulit bernafas saja, entah kenapa.Ya Tuhan, gadis ini. Matanya indah sekali. Bulat coklat berpendar. Membawa energi yang meluluhkan hati siapapun yang memandangnya. Dosa apa aku higga harus bertemu gadis seindah ini. Tiba-tiba Tyo disergap perasaan bersalah, ia tahu sejak pertama gadis itu buka suara, hatinya telah jatuh berkeping-keping lebur dalam satu rasa bernama cinta. Maafkan aku Ragil. Tyo menelan ludah. Ia bukan pengkhianat. Ia cepat –cepat menuntaskan misinya dan menahan rasa cinta yang berujung perih itu sendiri.
“Kalau boleh saya ingin menyampaikan sesuatu”, gadis itu diam tetap menatap lurus kearah Tyo yang mulai rikuh. Jari jemarinya bergetar hebat, basah oleh keringat. Ia mengambil sepucuk surat dari sakunya. “Ada surat untukmu”. Tyo mengulurkan surat berbau harum itu ke arah gadis penikmat fajar, tapi gadis itu tidak beraksi. Tidak menerima maupun menolak. “Bisa tolong dibacakan?”, kata gadis itu lembut. Tyo sedikit terperangah. Gadis itu tau permintaannya terdengar aneh. Sambil tersenyum ia menyambung kalimatnya. “Saya tidak bisa membaca, saya buta” kata-kata itu meluncur begitu saja. Ringan, seringan kapas yang terbang ditiup angin. Reflek Tyo menoleh ke arah Ragil yang dengan cemas menunggu. Dia, gadis penikmat fajar itu, adalah seorang yang tak bisa melihat. Lalu untuk apa dia disini? Bukankah ia tidak bisa melihat indahnya gradasi langit di subuh hari? Ragu-ragu Tyo menyanggupi permintaan si gadis penikmat fajar. Sekali lagi maafkan aku Ragil.

Assalamu’alaikum gadis penikmat fajar

Salam takzim untuk baginda Rasul...

Tyo berhenti sebentar, merasa sahabatnya salah menulis surat. Ini bukan acara pembukaan pondok pesantren atau semacamya ini surat cinta. Namun demi melihat gadis itu mendengar dengan saksama. Tyo melanjutkan membaca.

Lama aku mengintipmu dari balik perdu

Mengagumi indahnya gradasi langit fajar yang tak sebanding dengan satu garis senyummu

Merasakan bimbang dalam kecendirian yang mengganggu

Karena namamu pun aku tak tahu Hai gadis penikmat fajar Kenapa kau berani singgah dalam hidupku?

Mengacaukan jadwal makan bahkan tidurku

Berlari-lari riang dalam bayang-bayang rindu 

Hai gadis penikmat fajar

Kemana harus ku cari tau tentangmu

Tentang nama yang diberikan oleh orangtuamu

Karna nama itulah yang kelak ku harap terucap dalam ijab qabul antara ku dengan mu di depan penghulu

Hai gadis penikmat fajar

Ma..mau kah kau menikah denganku?

Kalimat terakhir dibacanya tersendat-sendat .Tyo yakin, pipinya merona kini. Tanpa direncana ia melamar seseorang. Ia melamar anak gadis orang. Kembali detak jantungya berdetak lebih cepat. Ada sensasi gemuruh ombak yang berdebur menyemarakkanya. Lega. Namun ia kembali tersadar, surat ini dari Ragil. Ia tak layak bahagia atas apa yang berhasil dilakukannya kini. Melamar anak orang. Meskipun mungkin, hal ini adalah hal yang pertama dan terakhir kali akan ia lakukan. Bukan untuknya tapi untuk sahabatnya. Gadis ini milik sahabatnya.

Gadis penikmat fajar hanya menunduk. Surat yang dibacakan tadi kaya pesona. Pipinya juga memerah, ada desir aneh yang menyelimuti hatinya. Menghangatkan. Belum pernah ia merasa dibutuhkan sebesar ini. Lelaki di sebelahnya . Baru sekali ditemui. Namun rasa percaya kadung bersemayam menguasai jasad dan pikirannya. “Nama saya Rinai, nama mu?” , Tyo tergagap-gagap menyebutkan namanya, sudah kepalang tanggung “Nama ku, Ragil”. Perkenalan itu dimulai, berlanjut hingga entah bagaimana, Rinai begitu saja menerima pinangan Tyo yang menjadi Ragil. “Rinai Anindya binti Ridwan Kamil almarhum nama yang bisa disebutkan di ijab qobul” sambungnya malu-malu.Tyo tak tau harus gembira atau sedih mendengar ini. Yang jelas misinya berhasil.

Mereka berpisah, Tyo beranjak meninggalkan gadis itu. Berjanji akan datang lagi untuk menepati proses selanjutnya. Gadis itu menunduk mengangguk malu-malu. Entah lah ia akan di sana sampai kapan. Yang jelas kini hatinya telah terisi nama satu pria bernama... Ragil.
Sampai atas Ragil segera menarik lengan Tyo. Naik pitam. Skenarionya tak begini. Seharusnya Tyo memberikan suratnya, lalu memanggil Ragil untuk berbincang-bincang. Bukannya malah diembatnya sendiri seperti ini.

“Sabar Gil. Dengarkan dulu penjelasanku”

Ragil coba meredam emosinya. Ia hanya takut kalau-kalau Tyo tiba-tiba menyukai gadis penikmat fajarnya itu lalu merebutnya. Tapi diam-diam dia juga yakin Tyo bukan sahabat yang seperti itu “Gadis itu bernama Rinai. Ia bersedia menikah denganmu”, kata Tyo lesu. Ia coba menguatkan hatinya untuk mengatakan ini. Gadis itu satu-satunya gadis yang berhasil mencuri hatinya. Sebentar lagi akan menikah dengan sahabatnya.

Ragil kaget, tapi kaget bahagia. Ia merasa tiba-tiba langit cerah seketika. Angin berkesiup lembut menerbangkan beberapa helai rambutnya yang sudah tak berpeci. Kupu-kupu mendekat seolah memberi selamat. Hari ini sempurna indah. “Lalu rencana selanjutnya?”, “Kita pikirkan dirumah” sahut Tyo yang langsung melangkah pergi.

*****

“Keren Yo. Bagaimana bisa kau meyakinkannya untuk menikah denganku?”, Aku juga mencintainya Gil. Itu kunci utama.

“Hm? Aku tidak meyakinkan apa-apa. Ia sendiri yang terpesona dengan puisimu”, Ragil mengangguk paham. Tidak rugi rasanya membaca banyak refrensi untuk menyusun kata bagai pujangga.
“Satu hal yang perlu kamu tau Gil”, “Apa?” tanyanya antusias. Tyo melanjutkan kalimatnya ragu-ragu “Gadis penyuka fajar mu itu, seorang tuna netra”. “Ha...ha...ha...” Ragil tertawa keras terbahak-bahak, sampai perutnya kaku “Ah kamu bisa saja Yo” Ragil masih tak percaya. “Dengar Gil, aku sungguh-sungguh. Ia tunanetra, untuk itu aku yang membacakan puisimu untuknya. Aku yang berkenalan dengannya menjadi dirimu. Maafkan aku Gil. Aku sungguh tak bermaksud”, ujarnya lemah. Tawa Ragil seketika lenyap. Ruang kamar Tyo mendadak senyap. Hanya terdengar bunyi detak jarum yang berputar ke arah kanan. “Jadi maksudmu. Dia menganggap bahwa kau itu aku?”, Tyo mengangguk pasrah. “Katakan padaku apakah kau mencintainya juga?” desak Ragil. Tyo diam tak bergeming. Bagaimana mungkin ada seorang lelaki normal yang tak mencintai gadis seindah Rinai. Yang lembut tutur katanya, yang santun perangainya. Tertutup pula auratnya. “Benar yang kutakutkan. Kamu mencintainya Yo!” Ragil meninggalkan Tyo yang duduk diam di atas kasurnya. Ia beralih ke spot favorit Tyo, kursi malas. Namun ia hanya berdiri saja, menyibak tirai putih yang menghalanginya untuk melihat kebun mugil milik Tyo sacara langsung, seoalah-olah disana ada penawar bagi dukanya. “Aku boleh saja mencintainya Gil. Itu hakku. Tapi dia milikmu”, “Bagaimana bisa?!” mata Ragil nyalang menatap Tyo. Serta merta Tyo mengeluarkan satu tiket pesawat dari laci di sebelah ranjangnya. “Jantungku yang lemah ini sudah dua kali kumat dalam satu semester. Sekali lagi kumat, aku bisa lewat” kata Tyo santai. “Aku harus mengajaknya jalan-jalan ke Australi. Katanya di sana ada dokter kenalan Papa yang bisa membuat jantungku lebih kuat. Kau lanjutkan hubunganmu dengan Rinai. Aku berjanji kau akan datang esok hari di jam yang sama. Bersikaplah sewajarnya. Tak perlu menjadi aku dan tak perlu menceritakan tentang aku. Dia jatuh cinta pada puisimu”

Ragil berbalik dan segera memeluk sahabatnya. Malaikat mana yang merasuki tubuh mu Yo? “Terimakasih Yo. Kapan kau berangkat?”, “Besok penerbangan pertama”. “Jantungmu pasti kuat”, “Tentu” jawabnya ragu.

*****

 Ragil sedih tak bisa melepas kepergian sahabatnya di bandara. Ia tidak diijinkan oleh Tyo. Pagi ini Ragil harus menemui Rinai di masjid lepas Subuh. Tyo hanya berpesan agar pernikahan cepat dilangsungkan. Maksimal satu bulan dari saat kenalan. Ragil mengangguk matap. Toh menikah hanya tinggal mencari penghulu dan meminta restu orangtua. Perkara mudah.
Satu hal yang membuatnya cemas adalah perkataan terakhir Tyo yang bilang tidak bisa menghadiri pernikahan sahabatnya kelak. Alasannya ia takut tidak kuat hati. Tapi Ragil tau itu bukan alasan sebenarnya.

*****

Hubungan Ragil dan Rina berjalan baik. Sempat ada canggung di awal, tapi ternyata Rinai tidak curiga. Ia nampak bahagia saja. Ragil juga tak mempermasalahkan Rinai yang tak bisa melihat. Toh tanpa melihat pun Rinai tetap bisa melakukan apa saja yang dia suka. Rinai adalah tunanetra yang mandiri. Kedua belah pihak setuju pernikahan digelar secepatnya. Tak ada pesta pora hanya akad yang akan dilangsungkan tiga minggu lagi.

*****

Sore itu mendung begitu kelam. Ia tak menijinkan mentari mengintip sedikit saja untuk membuat bumi lebih terang. Hujan disertai petir membuat semua orang malas keluar. Ragil menutup jendela kamarnya. Ia sedang mencatat beberapa hal yang akan ia perlukan untuk pernikahannya kelak. Selama ini ia selalu berkonsultasi lewat skype dengan Tyo. Tapi sudah dua hari ini. Tyo nampak tidak online. Padahal ada beberapa hal yang ingin Ragil tanyakan.

Bersamaan dengan suara petir handphone Ragil berbunyi, nama Mama Ami tertera di sana. “Halo Ma?”, hening. Perasaan Ragil mulai tidak enak. “Gil Mama bisa minta tolong?” katanya dengan suara yang agak serak. Ragil menelan ludah. “A...ada apa Ma?”, “Tolong siapkan rumah ya, kita urus kepulangan jenazah Tyo”, tangis Mama Ami pecah. Ia tak kuat lagi menahannya. Ragil hanya diam, suara petir menggelegar itu tak didengarnya. Kalah nyaring dibanding jeritan hatinya “Tyo? Innalillahiwainnailaihi ro jiun”

*****

Tanah pemakaman itu masih merah. Ragil menatapnya nanar. Jadi ini yang menyebabkanmu tidak bisa hadir ke pernikahanku Yo? Bukan hatimu yang tidak kuat, tapi ragamu Yo. Ayah dan Ibu Ragil pulang lebih dulu. Ragil sengaja mampir ke rumah Tyo. Hendak menghibur Papa Mama nya. Rumah itu sepi tanpa adanya Tyo. Kamarnya pun tiba-tiba nampak kaku. Ragil sudah minta ijin untuk rebah di kamar Tyo. Mengenang kembali masa-masa persahabatan mereka dulu. Ragil malah sengaja bersalin pakaian dengan baju Tyo yang menggantung di hunger, ia rindu sahabatnya. Rindu nasihatnya, bahkan rindu baunya. Pintu kamar di ketuk, Papa dan Mama Tyo masuk ke dalam kamar.
Entah mengapa melihat wajah Papa Tyo ia seperti melihat Tyo. Tak kuasa iapun menghambur dalam pelukan Papa Tyo dan menangis sesenggukan, layaknya anak kecil yang kehilangan mainannya. “Yang ikhlas Gil. Supaya Tyo tidak berat di sana”. Mama Ami juga ikut membelai punggung sahabat anaknya itu. “Gil ada surat wasiat untukmu dari Tyo”. Setelah sedikit berbincang mereka membiarkan Ragil membaca surat itu sendiri.

Assalamu’alaikum

Ragil sahabatku. Ketika kau baca surat ini yang jelas aku sudah tidak ada disampingmu lagi. Tapi kuharap kau belum menikah ya. Aku iri padamu yang bisa menemukannya, menemukannya di antara gradasi langit fajar. Ya, gadis penikmat fajarmu itu. Betapa aku juga sangat mencintainya. Tapi cintaku pada sahabatku yang sedang membaca ini jauh lebih besar daripada cintaku padanya yang mungkin hanya sebatas nafsu. Gil. Usiaku memang tak panjang. Tapi bolehkah aku tetap hidup bersama kalian? Nikahilah Rinai dengan mataku. Ijinkan kedua korneaku ini berlabuh di mata indahnya yang lebih berkilau dari berlian.Biarkan Rinai tau setampan apa lelaki pilihannya. Gil, Ijinkan aku melihat kalian bahagia bersama anak-anak kalian. Rajin-rajinlah mengajak Rinai menjenguk kedua orangtuaku.Agar aku juga bisa melihat mereka menua bersama dengan bahagia. Aku sudah mendaftarkan diri menjadi donor mata jauh sebelum aku mengenal Rinai. Maka bisa kau urus saja mataku untuk Rinai, semoga bisa ya. Aku sangat berharap. Dan kumphon jangan ceritakan tentang aku pada Rinai. Kecuali jika suatu saat aku datang dalam mimpinya. Selamat menjalani hidup baru. Maaf aku tidak di sisimu saat hari bahagiamu.

Tyo sahabatmu

Wassalamu’alaikum

Ragil menggigil demi membaca surat wasiat dari Tyo. Tangisnya bukan reda malah semakin menjadi. Ia berteriak memanggil nama Tyo, hingga orang tua Tyo harus turun tangan menenangkannya. Membaca surat wasiat Tyo tidak membuat mereka kaget, waktu itu mereka sudah menyetujui permintaan Tyo untuk menjadi donor mata. Dan kini semuanya menjadi nyata.

*****

Kali ini Rinai betul-betul tahu bahwa gradasi langit fajar begitu indahnya. Dulu ia hanya mendengar cerita tentang langit fajar itu dari neneknya. Ia lega neneknya tak berdusta. Setiap Rinai bertanya siapakah orang yang mau mendonorkan mata untuknya. Ragil yang kini duduk disebelahnya sebagai suami hanya menjawab. “Seseorang berjiwa malaikat, sayang”.

Sampai suatu ketika. Rinai bercerita bahwa akhir-akhir ini ia sering di datangi lelaki tampan dengan bola mata yang luar biasa indah. Lelaki itu hanya diam saja tapi ia tampak bahagia. Senyumnya selalu mengembang, mengkonfirmasi perasaannya. Saat itulah ia tersentak karena melihat lelaki dalam mimpinya itu pada selembar foto yang diberikan oleh Ragil.

“Namanya Tyo, kalian pernah bertemu. Waktu itu, saat dia membacakan puisi untukmu”
Rinai terharu. Ia segera minta diantar ke makam Tyo. Tak ada yang bisa  mereka lakukan, kecuali memeluk Tyo dalam doa.