Sang Pemimpi Konyol

Dulu bagiku, coffee shop adalah tempat yang paling tepat untuk sibuk dengan diri sendiri. Menyendiri dan mencoba tak mempersilakan siapa pun masuk dalam ruang pribadiku. Namun lain hal jika yang datang adalah sosok sepertimu, orang yang selalu percaya pada cerita sang pemimpi konyol sepertiku.

Sore itu hujan cukup deras. Coffee shop tempatku menghilangkan peluh dan menyampaikan keluh melalui beberapa bait karya menjadi terasa penuh. Sebab banyak orang yang memanfaatkan tempat ini untuk berteduh. Termasuk kehadiranmu yang tiba-tiba muncul meminta izin untuk duduk semeja denganku karena semua tempat sudah penuh.


“It’s oke, kali ini tak apa.” Gerutuku dalam hati sambil mempersilakanmu duduk di sofa empuk yang tepat berada di depanku. Di pertemuan pertama itu, aku melihat mata yang tidak asing. Namun tak terlalu kupikirkan, aku menganggap kehadiranmu hari itu hanya sebagai selingan dalam drama kehidupanku.

Kupikir kita hanya akan sekali bertemu, namun nyatanya masih ada pertemuan kedua, ketiga, keempat, sampai pada akhirnya kita nyaman satu sama lain. Kita berbincang banyak hal dari yang penting sampai yang tidak penting di coffee shop ini. Di tempat yang awalnya hanya untuk aku. Namun kini menjadi untuk kita. Coffee shop tempat kita berbagi cerita tentang mimpi, ah lebih tepatnya aku bercerita tentang mimpiku. Dan kamu tetap menjadi pendengar setiaku dan selalu berkata. “Bagaimana, hari ini aku ingin mendengar lagi cerita sang pemimpi konyol.”


“Lama ya, nunggunya?”

“Tidak, hanya 2 jam.” Jawabmu santai sambil tetap asyik dengan buku bacaan.

“Kamu sudah pesan minum?”

“Sudah, sudah 2 gelas espresso.”

“Maaf, tadi bis yang kutumpangi mogok.” Aku masih berdiri sambil terengah setelah lari sejauh 2 km meninggalkan bis kota yang masih magok di tengah jalan.

“Tak apa, duduklah.”


Setelah dipersilakan, kemudian aku menyandarkan punggungku di sofa yang biasa kami tempati. Jika sudah begini, biasanya cerita sang pemimpi konyol segera dimulai. Aku membaca judul buku yang sedang kamu baca, berusaha mencari bahan perbincangan untuk mencairkan suasana. Lebih tepatnya sih aku hanya ingin memastikan apakah dia benar-benar tidak marah padaku karena datang sangat terlambat.

“Kali ini baca buku apa lagi?” Ia kemudain menghadapkan cover buku itu ke wajahku, tanpa sepatah kata pun sambil tetap membaca. Ah sepertinya dia masih tak mau bicara denganku. Aku harus memancingnya lagi untuk bicara.

“First Time in Beijing? Pasti romance.”

“Apa lagi, aku selalu senang ketika tersenyum sendiri membaca cerita manis dalam novel romance. Kamu sudah tahu itu kan?”

“Iya, kutahu. Tapi kamu juga kerap kali menangis kalau ada cerita sedihnya. Cengeng!”

“Itulah nikmatnya.” Dia melempar pandangannya ke arahku kemudian tersenyum. Syukurlah dia tak marah padaku.

Sesaat matanya menatap pada kancing kedua kemejaku, lalu ia bertanya. “Kancing kemejamu lepas lagi?”

“Iya, tadi terlepas di bis. Untung tak hilang, aku masih menyimpan kancingnya di saku bajuku.”


“Sini berikan padaku.” Aku sudah paham, ketika ia meminta begitu aku langsung membuka kemejaku dan menyisakan T-shirt putih yang biasa kupakai sebagai baju dalam. Kemudian kuserahkan kemejaku beserta kancing yang lepas kepadanya. Dia meletakan bukunya di samping cangkir cappucinoku. Dia mengeluarkan benang serta jarum dari tasnya, seperti biasa dia selalu peduli pada kancing kedua kemejaku saja, dan anehnya aku selalu menurut saja.

“Awal tahun ini, kamu punya mimpi apa lagi? Aku penasaran ingin mendengar cerita sang pemimpi konyol lagi.” Tanyanya sambil memasukan benang ke lubang jarum.

“Aku ingin mencicipi rasa cabai di seluruh pelosok negeri ini.” Jawabku sambil membuka-buka buku yang baru diletakannya di sebelah cangkir cappucinoku.

“Se Indonesia?” Sepertinya dia agak heran, namun tak banyak bicara.

“Ya, tentu saja. Aku akan melakukan perjalanan panjang mengelilingi setiap pelosok tanah air tercinta ini.” Aku tertawa sendiri mengingat tujuanku berkeliling negeri hanya untuk mencicipi rasa cabai. Tapi tidak dengannya, dia masih terlihat serius.

“Lalu, selain itu?”

“Aku ingin memberikan sekotak cokelat kepada anak kecil yang mengamen di kota ini. Satu anak mendapat sekotak cokelat. Menurutmu, mungkinkah?”

“Kenapa tidak.” Ini yang kusuka darinya. Dia tak pernah mengatakan ‘tidak mungkin’ meski kutahu mimpiku selalu konyol. Aneh bukan? Cerita sang pemimpi yang konyol sepertiku saja dia dengarkan.


“Kemudian karena kamu suka kopi, aku ingin membelikanmu beragam kopi yang kubeli dari berbagai penjuru mata angin.”

“Benarkah? Lakukanlah, catat itu sekarang dalam dream list-mu.” Katanya antusias namun tetap serius dengan kancing kedua kemejaku. Melihat wajah seriusnya menanggapi setiap ucapanku, cukup membuatku ingin tertawa geli.


“Aku ingin membuat ribuan naga kertas, kemudian menempelnya di sepanjang dinding kota Djogja yang telah terlihat usang saja.” Dia menghentikan pekerjaannya, sesaat kemudian berpikir.

“Berarti kamu harus mulai melipat dari sekarang. 100 naga kertas dalam sehari. Sanggupkah?”

“Itu keciiilll.” Jawabku asal saja.

“Bagus. Jika begitu, dalam sebulan kamu akan mendapatkan 3000 naga. Berapa yang mau kamu buat? 5000? 10.000?” Kenapa dia serius sekali. . . Kupikir dia akan berkata. ‘Kalau dinding usang kenapa tidak kamu cat lagi saja?’

“Apa kamu mau membantuku melipatnya?”

“Itu mimpimu, kenapa aku juga jadi ikut repot?”

“Ayolaaaah. . .”

“Baiklah, tapiii. Aku hanya mau membantumu melipat, emmm. . . Bagaimana kalau segini?” Dia memperlihatkan tiga jarinya di hadapanku.

“Ya, tak apa. 3000 pun sudah cukup.”

“PD. Siapa bilang aku mau membantumu melipat 3000, maksudku 30. Hanya 30.” Dia tersenyum.

“Yaaaah, kalau 30 aku bisa melipatnya sendiri tanpa bantuanmu.”

“Lalu apa lagi?”

“Apanya yang apa lagi?”

“Mimpimu.”


“Emmm. . . Kali ini aku serius, aku ingin memiliki coffee shop yang di dalamnya terdapat perpustakaan, tapi khusus untuk novel petualangan. Dua rak khusus tentang kumpulan cerita sang pemimpi di seluruh dunia, dan ada satu rak lagi khusus untuk novel petualangan karyaku sendiri. Pasti menyenangkan bukan?”

Dia menoleh ke arahku dengan senyum sumringahnya. “Benarkah? Ya, pasti menyenangkan. Apa lagi kamu menyisakanku satu rak untuk novel-novel romance. Sisakan satuuu saja. Ya, ya, ya.” Dia memohon penuh harap.

Aku jual mahal. “Ah, kamu selalu mengacaukan mimpiku. Baiklah kusisakan satu saja, ya.”

“Waaahhhh, terimakasih.”

“Ya, tak masalah. Satu rak saja kan tidak akan menyaingi puluhan rak novel petualangan milikku.” Dia mencibir ke arahku.

Sambil menunggunya menyelesaikan kancing keduaku, aku tersenyum mengingat-ingat perbincanganku barusan. Seolah mimpi-mimpi itu akan terlaksana saja. Kadang aku senang mengatakan mimpi konyolku pada orang yang juga konyol seperti dia.

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Apa?” Tanyanya.

“Kenapa kamu selalu mengamini apa yang kukatakan?”

“Memang salah?”

“Ya, tidak juga. Tapi aneh saja.”

“Kenapa harus aneh?”

“Emmm. . . Mungkin karena selama ini banyak yang menganggapku gila dengan mimpi-mimpiku, kenapa kamu tidak? Kenapa kamu berbeda? Padahal ini hanya cerita sang pemimpi konyol.”

“Ya, bukankah kita sama? Aku ini seperti kamu yang tidak menganggapku gila ketika aku sangat peduli pada kancing kedua kemejamu.”

“Hahaha. . . Ya, aku tahu. Karena bagimu kacing kedua sangatlah penting, dia sangat dekat dengan jantung, bukan? Dan dia tahu rahasia besarku. Dia tahu perempuan mana yang mampu membuat jantungku berdetak cepat.” Kadang kupikir itu memang konyol. Siapa pula yang mau menginterogasi sebuah kancing tak bermulut. Kecuali orang itu benar-benar orang gila yang juga peduli terhadap kancing kedua sepertimu. Tapi kupikir, selama gurauan itu menghibur. Selama kita bisa terus tertawa. Kita bebas mengatakan apa pun yang kita sukai saat sedang bersama.

“Hmmmm, begitulah. Lalu apa bedanya aku denganmu?” Tanyamu memojokanku.

“Ya baiklah, kita mamang sama-sama konyol. Tapi kita tetap berbeda.” Jawabku tak mau kalah.

“Bedanya?”

“Aku laki-laki dan kamu perempuan. Aku lelaki pemimpi, dan kamu perempuan tanpa ambisi.”

Kali ini kamu diam saja. Mungkin baru tersadarkan oleh ucapanku barusan bahwa ternyata kamu memang orang yang tidak pernah berani bermimpi, kamu hanya bernai mendengarkan cerita sang pemimpi. Kamu percaya orang lain bisa sedang .

“Tapi aku masih heran, kenapa kamu tidak menganggapku gila dengan mimpi-mimpiku? Padahal jelas-jelas aku sering kali gagal mendapatkannya.” Aku membahasnya lagi karena tak cukup puas dengan jawabanmu tadi.

“Meskipun sering gagal, kamu pernah juga kan mendapatkan beberapa dari sekian banyak mimpi-mimpi kecilmu? Jangan pernah lupakan itu!”

Belum sempat aku menanggapi pernyataanmu. Tiba-tiba poselku berdering, aku pamit keluar untuk mengangkat telepon karena di dalam sinyalnya kurang bagus. Setelah selesai, aku kembali mengahmpirimu yang sepertinya sudah selesai memasangkan kancing kemejaku.

“Sebenarnya hari ini aku janjian juga dengan seseorang di sini. Sebentar lagi dia akan sampai. Nanti kukenalkan dia padamu, ya.”

“Siapa?” Tanyamu singkat sambil mengulurkan kemejaku yang sudah selesai kamu pasangkan kancingnya.

“Nanti kamu akan tahu. Jadi, sampai mana perbincangan kita tadi?” Aku menerimanya kemudian mengenakan kemeja itu lagi di tubuhku. Sepertinya kamu tidak terlalu peduli pada orang spesial yang akan kukenalkan padamu nanti. Kamu lebih tertarik melanjutkan perbincangan yang sempat terpotong tadi, sayang sekali.

“Kamu tahu, apa pun. Apa pun yang kamu katakan tentang mimpi-mimpimu, aku akan berkata ‘ya, kamu bisa.’ Kamu bilang mau pergi ke bulan sekalipun aku akan berkata. ‘Ya, kamu mampu.’

“Nah, kenapa begitu? Ah, aku tahu aku tahu, kamu hanya ingin menghiburku, bukan?” Aku baru memasang kancing ketiga saat itu.

“Bukan, bukan karena aku hanya ingin menghiburmu, apa lagi membodohimu. Aku hanya benar-benar yakin.” Kamu mengambil buku yang dari tadi tergeletak di meja.

“Kamu ini aneh, bahkan aku sendiri saja sering meragukan kemampuanku, kenapa kamu bisa seyakin itu?” Aku sudah selesai mengenakan kemejaku. Kemudian meraih cangkir cappucinoku.

“Bukan, aku bukan yakin pada kemampuanmu.”

“Lalu apa yang membuatmu yakin?”

“Dengarkan aku, ya!” Sesaat kamu membuka halaman per halaman dari buku yang tadi kamu baca. Mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Aku masih penasaran kenapa kamu yakin pada cerita sang pemimpi macam aku.

“Aku suka kalimat ini. Aku teringat padamu ketika membaca bagian ini.” Ucapnya setelah menemukan apa yang dicarinya di buku.

Aku percaya, impian adalah wujud prasangka manusia pada Tuhan. Suatu hari nanti, Tuhan pasti akan mendekatkan kita pada impian itu, sepanjang kita pun berusaha keras untuk meraihnya.

~Lisa~


“Aku hanya yakin pada kemampuan-Nya, dan yakin pada orang yang selalu berprasangka baik terhadap-Nya. Aku yakin mereka mampu bangkit lagi meski telah terjatuh. Dengan percaya pada Pemilik keberhasilan, maka setelah gagal dia akan tetap yakin bahwa keberhasilan itu akan diberikan Tuhan kepadanya, dia akan senantiasa bersabar menunggu masanya.”

“Lalu?” Aku merasa bodoh karena telah bertanya begitu padamu.

Kamu mengetukkan sendok ke kepalaku. “Ah, bodoh. Aku percaya kamu salah satu dari mereka. Kamu pulalah yang akan memukul mundur pemimpi-pemimpi yang tak cukup percaya pada Tuhan.”

“Sungguhkah aku begitu?” Aku tersenyum menggaruk kepala yang kamu pukulkan sendok kopi tadi.

“Sepertinya begitu.”

“Kenapa sekarang kamu malah tidak yakin?”

“Ya, karena kamu pun meragukan dirimu sendiri. Makanya aku ragu.”

“Ooohhh begitu. Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang ingin kamu lakukan di tahun ini? Apa kamu tak pernah mau menggenggam mimpimu sendiri?”

“Euuuu, sepertinya aku mulai memilikinya.”

“Apa?”

“Aku hanya memiliki satu keinginan.”

“Apa itu?”

“Aku ingin menjadi pemimpi sepertimu.”

“Sangat luas anak muda. Tak cukup detail.” Kuketuk balik kepalamu dengan sendok kopi tadi.

“Begitu kah?” Kamu pun menggaruk kepalamu yang tak gatal sambil tertawa.

“Coba ceritakan lebih detail.”

“Emmm. . . Aku ingin menuliskan semua cerita sang pemimpi konyol.” Aku tersenyum menatapmu.

Yang ditunggu telah datang, kamu menghentikan tawamu. Aku menoleh ke arahmu yang tiba-tiba berlari menyambut pria paruh baya dan memanggilnya dengan panggilan ‘ayah’. “Kak, kamu tahu ini ayahku?  Sejak kapan kalian saling berkenalan?” Aku tersenyum hampa tanpa mampu menjawab pertanyaanmu yang masih tersenyum manis sejak tadi. Senyum hampa pun terlihat dari bibir pria paruh baya yang kini sedang memeluk perempuan yang kucintai. Aku duduk lemas, dan kamu terlihat bingung.



Kamu tahu, aku suka caramu tertawa, caramu berbicara, dan caramu percaya. Aku akan membutuhkan orang sepertimu dalam hidupku. Aku sangat mengharapkanmu. Ya, dulu aku sangat mengharapkanmu menjadi pendampingku untuk menggapai semua mimpi konyolku. Tapi harapan itu ada sebelum aku tahu bahwa ternyata kita memiliki ayah yang sama.