Lelaki Bersandal Jepit dan Nafkah Dalam Islam


Seorang laki-laki bersandal jepit tampak berlari-lari di tengah hujan rintik. Langkahnya tegas dan cepat. Nafasnya terengah, kadang langkahnya memelan, kadang cepat. Ia membawa plastik kresek hitam yang sederhana di atas kepalanya. Tujuannya jelas: untuk melindungi kepalanya agar tidak terkena hujan.

Seorang pengendara BMW lewat di sampingnya. Ia memelankan laju mobilnya, kemudian memperhatikan lelaki bersandal jepit itu. Heran, ia memutuskan untuk meminggirkan mobilnya dan berhenti. Untunglah saat itu hujan rintik sehingga lalu lintas tampak lengang. Tampaknya lelaki bersandal jepit itu paham bahwa BMW hitam mengkilat itu berhenti karena dirinya. Maka, ia pun ikut berhenti.


Lelaki pengendara BMW membuka jendela mobil mewahnya dan bertanya kepada lelaki bersandal jepit,

“Pak, Anda mau ke mana? Mari saya antarkan dengan mobil saya!”, ia berteriak pelan.

Lelaki bersandal jepit itu bersyukur ada seorang yang begitu baik padanya, pada dirinya yang hanya memakai sandal jepit itu. Namun, ia tidak bisa menerimanya.

“Terima kasih banyak, pak. Tidak perlu. Saya ingin ke warteg itu, ingin membeli makanan untuk istri saya yang tengah hamil. Wartegnya pun sudah dekat, jadi saya tidak perlu menumpang”, tolak lelaki bersandal jepit sambil tersenyum terengah.

Lelaki pengendara BMW terdiam mendengar penuturan tersebut. Apa boleh buat, pertolongannya ditolak. Ia tidak bisa memaksa.

Maka, dengan perasaan menyesal ia pun pamit untuk pergi. Dan sesaat kemudian, tempat pertemuan mereka berdua kembali sunyi, hanya ada rintik hujan yang turun membasahi bumi. Sementara itu, lelaki bersandal jepit tadi melanjutkan perjalanannya yang tidak seberapa jauhnya lagi.

Akhirnya, ia pun sampai ke warteg. Ia membuka sandal jepitnya. Ah, tidak enak rasanya mengotori warteg yang bersih ini dengan sandal kepitnya yang kotor terkena comberan air.

“Wah, hujan-hujanan pak? Mau beli apa?”, tukas petugas warteg itu dengan tangkas, bersiap-siap mengambil bungkus nasi dan mulai mengisinya dengan nasi.

“Nasi dua porsi ya, mas. Tambah dengan tempe orek dan telur goreng. Ah, yang satu tolong telur goreng nya dua ya. Untuk istri, hehe..Dia sedang hamil, mas”, lelaki bersandal jepit tadi tersenyum girang, terkekeh-kekeh.

“Wah, selamat mas! Siap mas, tunggu sebentar”, kata petugas warteg tadi. Tidak lama kemudian, pesanan tersebut jadi. “Ini pesanannya, mas. Nggak mau berteduh dulu? Di luar masih hujan, mas”

“Terima kasih, mas. Tidak perlu, ini hanya gerimis, kok. Istri saya menunggu di rumah, hehe”, lelaki bersandal jepit itu bersemangat kembali. Ia memakai sandal jepit nya dan mulai menapaki bekas comberan-comberan air yang ada di jalanan. Sekali lagi, ia menyusuri jalanan dengan berjingkat-jingkat. Kali ini, plastik kresek hitam yang ada di kepalanya sudah tidak ada. Plastik itu ia gunakan untuk membungkus makanan yang ia beli dari warteg.

Ia takut membasahi makanan istrinya. Ia tidak sudi dengan hal itu. Biarlah kepalanya terkena air hujan sedikit asalkan air hujan tidak menembus makanan sederhana yang dibeli untuk istrinya.

Tak lama, ia kembali ke rumah. Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sang istri yang kita bicarakan di kisah ini akhirnya muncul. Kandungannya sudah membesar, membuatnya sulit berjalan. Matanya tampak berbinar melihat suaminya telah datang. Kepala dan wajah lelaki bersandal jepit itu basah, kaus putih tipisnya pun lembab karena terkena hujan. Nafasnya sedikit terengah-engah. Apalagi ia melihat ada dua bungkusan di tangan suaminya, matanya kian berbinar.

“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, selamat datang, mas. Saya bikinkan mas teh hangat ya, mas pasti kedinginan”. Sang istri pun memeluk suaminya.

Tubuh lelaki bersandal jepit bergetar, darahnya berdesir. Lelahnya tiba-tiba hilang, berganti api semangat yang tak bisa ia jelaskan. Ia pun masuk rumah setelah menanggalkan sandal jepitnya di depan pintu. Dari mulutnya bergumam rasa syukur kepada Allah telah menganugerahinya istri yang solehah. Ia telah berusaha mengamalkan ajaran nafkah dalam Islam.


Untuk lelaki seperti inilah, Abi dan Ummi, Allah akan memberikan rahmat-Nya yang begitu besar.

Untuk lelaki yang bekerja keras menafkahi istri dan anak-anaknya inilah, wahai Abi dan Ummi, Allah akan memberikan pahala yang besar.

Bukan masalah sandal jepitnya. Bukan masalah apa pekerjaannya. Yang penting adalah semangatnya dalam mencari nafkah dan ikhtiarnya dalam menafkahi istri dan anaknya. Itulah yang penting, yang dinilai oleh Allah. Inilah ajaran yang begitu unik dan agung, ajaran nafkah dalam Islam yang dibebankan kepada para suami.

Bagi dia lah sabda Rasulullah berikut, ‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).

Dan bagi mereka para suami yang telah bekerja keras, untuk mereka lah pahala yang dijanjikan Rasulullah dalam hadis berikut, “Sesungguhnya, sebesar apapun nafkah yang engkau keluarkan atas keluargamu, maka engkau diberi pahala (atas hal itu), sekali pun sesuap yang engkau sodorkan ke mulut isterimu.” (HR.al-Bukhari).

Demi Allah, bagi mereka yang berusaha memenuhi ajaran nafkah dalam Islam, adalah pahala tanpa batas!


“Sesungguhnya hanya orang –orang yang bersabarlah yang di cukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)