Anak itu berdiri mematung. Ia hanya memberikan satu senyuman
pahit untuk sekelilingnya. Malam malam yang pekat dan rintik hujan menemaninya.
Jemarinya, sengaja ia pelukkan erat pada
karatan besi disebelahnya. Pandangannya kosong ke depan. Seakan akan
suara derit roda kereta ia pecahkan satu persatu. Sesekali ia pejamkan mata dan
membenamkan wajahnya dalam jemari kecilnya. Diatas gerbong kereta, ia menatap
langit sejenak. Matanya menatap tajam ke
atas. Butiran butiran air hujan menyerang matanya. Ia tak peduli. Ia tetap
menatap garang keatas. Seakan akan ia
mengadu pada langit yang membentang luas tanpa batas.
Kereta itu
tetap berjalan. Sesekali singgah dari stasiun satu ke stasiun yang lain.
Pekatnya malam tetap menggelayuti dalam deru laju kereta. Langit tetap saja
padam. Tak mampu menampakkan gemerlapnya. Langit bersisik kemerahan. Pertanda
mendung masih menggelayuti dan hujan siap menemani. Ia membatin
“Abi,
Ummi, Kenapa kalian terlalu cepat meninggalkanku? Kenapa kalian tega melihatku
seperti ini? Abi, petuah petuah bijakmu tak lagi menghiasi malamku? Ummi,
pelukan hangatmu tak lagi kurasa dalam dinginku? Abi, Ummi!!! Wajah ini
menitikkan air mata.”
“ Abi,
Ummi, Apa yang akan terjadi dengan kehidupanku esok hari? Masihkah aku dapat
terjaga untuk bersujud dihadapan-Nya ketika aku tak mendengar lantunan kalam
ilahi dalam setiap muroja’ahmu? Abi, Masihkah aku dapat berada di jalan-Nya
ketika petuah petuahmu tak lagi menyapaku?
Abi, Ummi……lihatlah hari hariku bersama mimpi mimpi kecilku. Semuanya
terasa hampa tanpa kehadiranmu. Lama lama akan melahapku dalam kebingungan yang
tak terbantahkan.”
Malam
semakin pekat. Langit belum menghentikan curahan rezeki dari –Nya. Burung gagak
bernyanyi riuh bersahutan. Menukik keras di dahan kering untuk berteduh. Angin
malam mulai menyeruak bersama tetesan air hujan yang tak berhenti bercurah.
Suara derit kereta yang memecah malam menambah mendung di wajah anak itu.
Perlahan lahan bibir ranumnya bergerak hebat. Matanya menitikkan air mata
melebur bersama tetesan air hujan. Tangan kecilnya mencengkram kuat kepalanya.
Jiwanya bergetar hebat ditengah derit kerasnya roda baja kereta. Bersama angin
malam yang berhembus menantangnya.
Tiba tiba
semua kenangan terbayang jelas di pelupuk matanya. Wajah Abi dan Umminya yang
penuh wibawa berkelibat dalam benaknya. Wajah keduanya yang teduh ketika
mendidik dan mengajarinya berbagai macam hal yang belum ia ketahui sebelumnya.
Abinya yang tak pernah mengeluh dalam setiap usahanya, selalu menampakkan nafas
nafas perjuangan dalam setiap langkahnya. Umminya yang tak pernah mengeluh
dalam menemani langkah kecilnya. Menjadikannya anak yang berjiwa gagah yang
pantang menyerah. Hidup dalam jalan dakwah dan tatanan islam.
*****
Ketika
ayam jantan belum banyak berkokok dengan tenangnya. Bercengkrama dalam
dunia malamnya. Hanya sedikit yang bersujud pada-Nya. Dan sesekali penikmat
dunia malam yang telah habis masa tenggangnya. Mereka berdua bangun untuk menyambut
panggilan – Nya. Berdoa dalam setiap sujud keduanya. Merenungi dalam membaca
firman firman-Nya. Bercucuran air mata ketika membaca ayat ayat tentang siksaan dan adzab-Nya. Dan berdoa ketika berita gembira
yang dijanjikan-Nya. Kala itu Rahmad akan terbangun dan ikut larut dalam sujud
panjangnya. Mendengar nasihat nasihat penggugah jiwa dari sang murabbi, Abi dan
Umminya.
Ketika
Adzan shubuh menggema, masjid adalah tujuan utama mereka dalam memperoleh ridho – Nya. Kemudian, Abi dan
Umminya akan sibuk dengan aktifitasnya. Abinya tak lupa untuk menelaah sebentar
pelajaran yang akan ia ajarkan pada murid muridnya. Umminya, memasak,
membersihkan rumah dan menggosok pakaian yang akan dipakai Abinya mengajar dan
juga pakaian sekolah Rahmad.
Dan kini ia harus menelan kenangan itu
dalam hatinya. Menari nari dibalik pelupuk matanya. Menangiskan rentetan air
mata kepedihan yang jatuh di gerbong kereta malam itu. Batin rahmad makin
membuncah. Pikirannya terbang kesana kemari. Kalut. Jiwanya tersungkur lemah.
Di dalam relung hatinya yang paling dalam, ia rasakan jiwanya bergetar hebat,
kemudian lemah dan lemah, ada rasa putus asa dalam benaknya.
“Ternyata
malam itu adalah nasihat terakhirmu, Abi. Ternyata malam itu adalah tahajud terakhirku bersama kalian berdua. Ternyata
itu adalah tangisan terakhirmu untuk membangunkan lelapku, Ummi. Dan ternyata
pagi itu adalah awal dimulainya kehidupan baruku, Ummi. Lepas dari pelukan
hangatmu, tak merasakan lagi kehangatan jiwamu.”
“Abi, Ummi. Dan pagi itu juga aku harus
sendiri.”
Abi dan
Umminya meninggalkannya dengan tiba tiba. Kepergiannya berdua tak disangka
sangka. Tak ada tanda tanda sakit diantara keduanya. Ruh itu pergi ketika
mereka akan berangkat untuk menebar benih benih kebaikan kepada para muridnya.
Ruh itu pergi ketika mereka berangkat mengajarkan kemuliaan untuk masa depan
generasinya kelak. Ruh itu pergi ketika Dhuha menghiasi tanah-Nya. Dan Allah
memanggil mereka melalui tabrakan keras yang merenggut nyawa mereka berdua.
Kala itu
tanah berkabung. Langit langit meneteskan air matanya. Padi yang telah
menguning menumpahkan rasa sesalnya. Dan
Rahmad hanya berdiri mematung. Ia tumpahkan kegundahan dihatinya. Ia tumpahkan
semuanya. Dan ia sadar, hari itu ia harus benar benar tegar dalam
menghadapinya. Walau hati teriris bersamanya, walau kekalutan menghantui jalan
pikirannya, walau hati tak dapat menerimanya. Ia tetap sabar, ia masih punya
seajaib nyawa untuk menemani dalam sebatang karanya. Dan ia harus belajar dari
semuanya. Dan ia terlihat lebih tegar hari itu.
*****
Anak itu
merunduk, menatap riuh bebatuan bebatuan dibalik kolong gerbongnya. Memandang
pahit kedalam masa silamnya. Ia bergerak. Menggenggam jemarinya dan melumatkan
air hujan dalam cengkramannya. Ia berdiri. Kereta berjalan lamban. Bajunya
masih basah oleh air hujan. Ia kedinginan. Matanya sayu. Tatapannya kosong. Ia
tak tahu tujuan. Ia tetap berdiri mematung sendirian. Sementara derit kereta
begitu keras. Kereta berhenti. Ia tetap berdiri dalam gerbong lusuhnya. Berdiri
dalam ketidakpastian. Ia menjadi terasing dalam dunia-Nya. Ia sedang bergelut
dengan waktu hampa disekelilingnya. Kenangan itu masih tersisa dipelupuk
matanya. Ia berteriak memecah malam bersama rintik hujan yang turun dengan
derasnya. Dan Ia merintih dalam kesendiriannya.
“ Ya
Allah, Aku tak pernah lari dari kenyataanmu. Ya Allah, Aku tak pernah lalai
dalam menjalankan perintah-Mu. Aku tak pernah lalai dalam menjalankan tugas-Mu.
Tak pernah mengeluh dalam cobaan-Mu. Sedikitpun tak pernah. Aku mencoba tegar,
Ya Allah. Tapi apakah ini balasan yang …………………!!!!!!!!!!”
“Allahu
Akbar Allahu Akbar.”
Sayup
sayup terdengar Adzan shubuh menyapanya. Mengingatkannya tentang sebuah keputus
asaan. Menyadarkan pertengakaran hebat
mulut dan hatinya. Matanya kembali meneteskan air mata bersama nasihat
nasihat emas Abi dan Umminya. Hatinya bergetar bersama keteguhan keduanya dalam berjuang di jalan-Nya. Mengingatkan kembali
dalam kenangannya. Petuah petuah keduanya yang terus ter ngiang di pelupuk
matanya. Tangisnya makin menjadi jadi. Ia menyesal, telah menyalahkan Allah
dalam setiap cobaannya. Ia sadar panggilan itu mengingatkannya. Ia menangis
dalam hujan shubuh itu.
Ia susuri
setapak demi setapak jalanan yang basah dihadapannya. Menenteng tas ransel yang
tak tahu apa isinya. Ia memenuhi panggilan-Nya. Ketika banyak manusia yang
tertidur oleh kenikmatan dunianya. Ia berjalan bersama istigfar-Nya. Mereguk iman
bersama cinta-Nya.
Hujan
diluar masih turun dengan lembutnya. Shubuh itu ia lepaskan gundah dalam setiap
munajatnya. Shubuh itu ia menangis bersama kalam kalam Allah yang menyertainya.
Shubuh itu mengajarinya, bahwa sabar dan tawakkal adalah kuncinya. Dan shubuh
itu setitik cahaya bersinar dipelupuk matanya. Membuat ia lebih kuat dalam
mengarungi bahtera kehidupannya. Menjaga jiwanya agar tetap terjaga di dalam
sujud malam-Nya. Mengokohkan jiwanya agar tetap gagah dan pantang menyerah dalam
setiap langkahnya. Ia sadar. Ia tak harus menyalahkan Allah dalam setiap
urusannya. Ia harus tangguh dan kuat berada dalam jalan-Nya. Dan Allah-lah yang
akan menyelamatkannya.
Dalam
sujud terakhirnya, ia menangis. Seketika terngiang ayat terakhir yang dibaca
Abinya dalam tahajud terakhir bersamanya. “faidza Azzamta fatawakkal Alallah,
innallaha yuhibbul mutawakkilin.” Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang
bertawakkal. Dalam sujud terakhirnya . ia belajar tentang keteguhan dan
kesabaran dengan jejak air mata
yang masih tersisa.