Mutiara Kalam Khalifatus Khalaf Wal Baqiyatus Salaf
Al Imam Al Quthb Al Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf
(Mufti Jeddah)
--------------------------------------
Dahulu para salafunasshalihin selalu menjaga adab dan
menularkannya kepada sang anak, mereka tidak meninggalkan anaknya di Hari
Jum’at kecuali setelah membaca surat al-Kahfi, setelah sang anak merantau ia
merasa tidak memiliki tanggung jawab, apalagi etika sudah jauh dihilangkan,
mereka yang telah menanggalkan adab para salaf sudah sepantasnya untuk
dishalati jenazah meski masih hidup.
Seorang penyair berkata: “Aku melewati etika dan ia sedang
menangis. Akupun bertanya kepadanya: ‘Kenapa seorang pemuda menangis?’ Ia
menjawab: ‘Bagaimana aku tidak menangis apabila keluargaku semuanya selain
makhluk Allah lainnya telah mati.”
Jangankan menjaga etika, memberi salam atau berjabat tangan
saja tidak kenal, apalagi mau menanyakan keadaan orang lain, hal semacam ini
merupakan kemerosotan moral. Apakah kita rela menjadi orang mati yang berjalan
di muka bumi sebelum di kubur, lihatlah misi pengutusan Nabi Muhammad SAW
adalah menghubungkan manusia dengan Allah SWT dan yang kedua membenahi hubungan
sesama manusia.
Anak-anak di masa lalu, kalau sedang bermain lalu ada
seorang alim yang lewat mereka merasa malu kelihatan olehnya, hingga
menyembunyikan diri mereka. Di masa kecil, apabila al-Habib Muhammad bin Hadi
lewat di jalan dan aku belum memakai jubah, jikalau tidak kelihatan aku
berusaha sembunyi, tetapi bila kelihatan aku hampiri beliau dan aku cium tangannya,
kalau sekarang bukan masalah pakaian, tetapi setidaknya mereka memiliki etika.
Jadi tidak cukup seseorang hanya membanggakan nasabnya tanpa mengikuti jejak
salafnya, kita bisa lihat akhlak mereka dalam Kitab Syarah al-’Ainiyah. Penulis
kitab ini adalah al-Imam al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi, murid dari al-Imam
al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad.
Sebelum kelahirannya sang ayah punya anak tiga, tetapi
semuanya meninggal dunia masih bayi, tentu saja hal ini membuat ayahnya
kepikiran, hingga suatu hari di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang
auliya’ yang memberitahunya, bahwa saat ini istrinya sedang hamil, setelah ia
menanyai istrinya ternyata memang terdapat tanda-tanda kehamilan. Setelah lahir
hingga usia remaja beliau hidup dalam kesederhanaan, bahkan dalam kemiskinan,
tetapi mendapat pendidikan agama yang begitu kuat, hingga beliau merasa haus
akan ilmu.
Untuk mengobati kehausannya ini beliau berangkat ke Tarim
(Hadhramaut – Yemen) untuk menimba ilmu, setelah belajar dari beberapa ulama’,
akhirnya ia pun menyandarkan kendalinya kepada al-Habib Abdullah bin Alawi
al-Haddad, beliau terus melaziminya hingga al-Habib Abdullah al-Haddad
meninggal dunia. Beliau di kenal akan ketakwaan dan keluasan ilmunya, sehingga
setiap fatwa ilmu jikalau berasal darinya, maka tidak ada kalangan ulama’ yang
menyangkalnya.
Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf mengatakan: “Tiada
rujukan lain bagi kami setelah al-Habib Ahmad bin Zein.” Bahkan para Habaib
kita mengatakan: “Kami menjawab semua pertanyaan, selain pertanyaan yang telah
dijawab oleh al-Habib Ahmad bin Zein.” Tetapi kalau untuk kita dimasa kini
setidaknya kita benahi kerusakan pribadi luar kita.