Sepucuk Surat dari Ibu


            Semilir angin dingin yang berhembus melewati jemariku menemani senja ini. Tatkala gundukan awan di atas lazuardi turut meramaikan nuansa sore hari. Putih mengepal di angkasa, menjelma menjadi lautan awan. Terkadang mereka seolah menjadi benda yang sering kulihat, hingga tak asing lagi bagiku. Langit sore memang menjadi favoritku, tuk mengadukan keseharian yang begitu padat atau hanya sekedar meletakkan kepenatan akibat rutinitas seharian yang sangat melelahkan. Ya, lewat bisik desis bibir ini aku kerap kali bercerita. Bukan berarti aku tak memiliki teman, melainkan karena aku lebih suka menyendiri. Kehidupan di pondok memang bukan perkara yang mudah, meski kebersamaan sangat dijunjung tinggi di sini. Akan tetapi adakalanya semua perkara yang terjadi lebih nikmat jikalau aku sandarkan pada mereka  --awan--. Meski tak terlihat masuk akal sekalipun. Ya, semua ini hanya sebatas opini konyolku.

            Rijjal Labib Mumtaz, itulah nama pemberian orang tuaku. Tiga tahun sudah aku menimba ilmu di pondok pesantren Daar al-Ulum ini. Tak kusangka tiga tahun berjalan lebih cepat daripada yang kubayangkan sebelumnya. Bahkan aku masih ingat untuk pertama kalinya kakiku menginjakkan tanah pondok ini. Dan masih ku ingat pula rerimbunan pohon di sekitar pondok yang amat mencekam. Tiga tahun seolah hanya tiga jam, dan tiga hari lagi aku akan resmi diwisuda. Ya, waktu memang cepat berlalu seperti apa yang dikatakan oleh Kyai Lukman “Ingatlah bahwa zaman akhir, keburukan akan semakin menjadi-jadi. Maka akan datang masalah yang belum kalian temukan sebelumnya. Dan seolah waktumu terasa sangat singkat. Seperti halnya sabda Rasulullah SAW : Tidak akan berdiri hari Kiamat hingga zaman berdekatan, maka akan ada (terjadi) setahun (terasa) bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sejum’at, sejum’at bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam, dan sejam bagaikan hangusnya bara dalam api (sekejap)”, tutur beliau. Beliau adalah pemilik sekaligus pengasuh pondok pesantren ini, keramahan dan akhlaqul karimah yang ada pada dirinya menjadikan beliau sebagai sosok yang dikagumi oleh para santrinya.

            Sepoi angin yang perlahan sirna kini meninggalkanku dalam kesendirian, sontak fikiran ini terhenti sejenak. “Hmmm liontin ini…”, ungkapku pelan. Tiba-tiba semua terasa hening, Mata ini terasa berat, pelupukku seketika dipenuhi air mata. Aku tak kuat membendungnya, butiran bening mulai mengalir lamban di pipiku. “Ibu” , gumamku dalam hati. Ingatanku mulai tumbuh satu persatu, memunculkan puluhan rekaman masa lalu. Otakku mulai memilah-milah tumpukan memori itu, mengungkap tiap ingatan tentang ibu. Tiga tahun ini aku sama sekali tak pernah melihat wajah beliau, atau hanya sekedar mendengarkan suaranya langsung. Bahkan selama tiga tahun ini ia baru mengirim surat kepadaku satu minggu yang lalu, yang isinya supaya aku segera pulang usai wisuda, serta permintaan ma’afnya karena tak bisa hadir menemaniku saat wisuda nanti. Ya, hanya itu. Aku terisak memikirkan ingatan-ingatan masa silam. Begitu banyak yang telah ia korbankan, dan cintanya pun teramat besar terhadap anak-anaknya. Zidan adikku, ia tiga tahun lebih kecil dariku, kepergiannya begitu memukul bagi kami, terutama bagi ibu. Karena saat itulah aku satu-satunya anak ibu yang tersisa. Penyakit malaria begitu sadis merenggut nyawa adikku, dan begitu kejam mengambil adikku dari keluarga kecil kami. Aku benar-benar marah waktu itu tepat di pemakamannya. “Ayahku telah dulu tiada dan kini kenapa kau malah mengambil adikku Tuhan? Kenapa? Kenapa?” kataku dengan nada bercampur isak tangis. Waktu itu umurku baru 8 tahun, dan kini 10 tahun kematian adikku telah berlalu. Pontang-panting ibu tak ada hasilnya, semuanya telah ibu korbankan, hingga rumah kami pun dijual untuk menebus keselamatan adikku. Tapi hasilnya, nihil. Semua itu sirna tanpa ada yang tersisa. Beruntung, majikan ibuku baik dan menawari kami untuk tinggal di rumahnya dan meminta ibu untuk ikut memebantu pekerjaan rumah, dari yang sebelumnya ibu menjadi pelayan di tokonya.

            Liontin yang berada di tangan kananku ini adalah satu-satunya benda peninggalan ayahku, pula menjadi pengingat tentang ibuku. Liontin ini aku dapatkan dari majikan ibu, sehari sebelum keberangkatanku ke pondok. Ibu menjualnya lantaran ingin membelikan beberapa buku untukku. Beruntunglah majikan ibu tahu dan mengerti keadaan kami, ia lantas memberikannya padaku untuk selalu menjaganya. Sebegitu besarnya cinta ibu terhadap anak-anaknya. Kulihat langit di atasku nampak rombongan awan putih kini telah berganti kemerah-merahan, pertanda hari akan berganti malam. Dan kini perlahan gelap telah mengusir terang, alunan jangkrik mulai bersahutan dengan riangnya dan lantunan tilawah dari surau ke surau pun mulai terdengar jelas di telingaku. “Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatun hasanah…”, Masha Allah lafadh itu, batinku. Entah, dadaku serasa sesak tiap kali mendengar lantunan ayat itu. “Ibuu”, seketika ku sebut nama itu. Ya, bagiku ibuku seperti halnya Rasulullah. Akhlaknya yang mulia, hatinya yang lembut, jiwanya yang tegar, serta mulutnya yang tak pernah mengeluh sedikitpun perihal kesulitan hidup yang beliau hadapi. Hiks… hiks… tak terasa air mataku menetes seketika itu juga. Sayup-sayup kudengar kumandang adzan maghrib di seberang sana. Aku segera beranjak pergi dari tempat ini. Dalam sayu ku melangkah dengan lelah, ku arahkan langkah kaki menuju rumah Allah. Ku adukan masalah hidup pada Sang Pemilik Kehidupan. Ku labuhkan segala resahku pada-Nya. Ku tambatkan keluh dari hati yang kian bergemuruh. Karena hanya Dia lah satu-satunya tempat sandaran yang takkan pernah ada kata bosan.

            Tiga hari bagaikan semilir angin sore, sekejap, tanpa dirasa. Dan kini tepat pukul 08.33 diriku telah resmi di wisuda, bahagia bercampur duka. Kulihat kawan-kawanku sedang tertawa ria bersama keluarga mereka masing-masing, sedang aku… Tak apalah aku dengan semua itu, aku telah membeli tiket bus dan tepat pukul 9 nanti tubuhku akan diantar kepada keluarga kecilku di Kudus. Segera ku bereskan barang-barang di kamarku, karena hari ini aku akan boyong dari sini. Setelah itu kuajak kaki ini berkeliling pondok sembari mengingat-ingat kenangan masa lalu dan goresan-goresan sejarah yang terjadi selama tiga tahun ini, dan aku akan sangat merindukan tempat ini nantinya. Perjalanan Banyuwangi-Kudus terasa sangat melelahkan, pukul 21. 55 kakiku telah berhasil menginjak di bumi kelahiranku dengan selamat. Tak banyak yang berubah dari tempat ini sebelum terakhir kali kakiku menginjak terminal ini. Kini aku beranjak melanjutkan langkah pulang dan segera kutininggalkan terminal. Meski sebenarnya aku tak punya rumah, karena rumah yang ibu tinggali adalah milik majikan ibu. Karangan bunga dan beberapa pohon hias kecil mulai Nampak terlihat. Ya, disanalah tempatku tinggal. Tapi, rasa-rasanya seperti ada yang mengganjal. Ada sesuatu hal yang Nampak membuat hatiku tak tenang. Ku percepat langkah kakiku. Dan aku menemukan bendera warna hijau disana. Seketika aku termenung tepat di depan pintu. Bu Rahma yang melihatku segera menyuruhku untuk masuk, beliau adalah majikan ibuku. “Yang sabar ya nak”, katanya pelan sembari meneteskan air mata. Seketika itu hatiku seolah tercabik-cabik oleh singa yang memangsa buruannnya. Aku mulai menyelami semuanya. Kurebahkan tubuhku di atas sofa dan Bu Rahma mulai menceritakan satu-persatu. Ibuku telah meninggal sewaktu ia pergi ke pasar. Sebuah sepeda motor kencang telah menabraknya tanpa belas kasihan. Susunan besi itu telah merenggut nyawanya, menjadi sebab kepergian ibu untuk selama-lamanya. Ya Rabb, cobaan apa lagi ini, kini Kau benar-benar mengambil semuanya dariku. Kenapa? Kenapa Kau tak sekalian mengakhiri hidupku saja. Astaghfirullah, hatiku kini sangat hancur, isak tangisku pun semakin menjadi-jadi. Selang beberapa saat Bu Rahma membawa sebuah kotak hitam kemudian menyodorkannya padaku. Kudapati beberapa lembar kertas dengan tumpukan tulisan di dalamnya. Surat untuk anakku, tulisan itulah yang mengawali lembaran-lembaran berikutnya.

Teruntuk Labib anakku,
Anakku sayang, ma’afkan ibu yang telah membohongimu, ma’afkan ibu karena telah menutup-nutupi kalau ayahmu telah meninggal, maafkan ibu. Semua ini ibu lakukan karena da alasannya. Dan sekarang kamu berhak tahu keutuhan keluargamu yang sebenarnya. Ibu berpisah dengan ayahmu lantaran kakekmu menyuruh ayahmu untuk mengurusi pondok milik kakekmu. Tapi ibu tak menyetujuinya, hingga kakekmu mengancam bahwa ibu dan ayahmu sebagai anak durhaka jika tidak menyetujui keinginan kakekmu. Ayahmu akhirnya menyetujuinya dan pergi kesana, sedangkan ibu masih ingin di Kudus. Daar al-Ulum itulah nama pondoknya dan Lukman Hakim itu adalah nama ayahmu. Ya, disanalah di tempat yang kau tinggali untuk menuntut ilmu itulah rumahmu yang sebenarnya. Kembalilah kesana, dan berikan surat-surat ini padanya. Ma’afkan ibu nak, sungguh.

Kyai Lukman, ayah, kakek, pondok, rumah. Semua semakin menyesakkan pikiranku. Jadi karena itu, ibu selalu menyuruhku mondok disana. Dan karena alasan itulah semua ini terjadi. Malam yang begitu kelam dengan sejuta pertanyaan mulai samar. Kini alunan dering jangkrik mulai sirna. Mentari pagi bergegas mengusir malam dan kini semilir angin dingin mulai meraba tubuhku. Aku pergi ke tempat makam ibuku, usai berdo’a aku berdialog dengan diriku sendiri. Bahwa hidup harus tetap berlanjut, bahwa hidup harus terus berjalan tak peduli seberapa besar aral yang melintang, dan aku akan segera kembali ke tempat itu.

Ibu …
Kutulis ungkapan kehormatan padamu yang kini tengah tertidur pulas menyaksikan ilham Allah merasuki tulang-tulang tuamu. Aku merenung menggores bayangan butiran air matamu yang terdorong keluar oleh kerinduan padaku. Aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku yang tak sanggup menahan keharuan menuntut jalan keluar, mungkin hendak berteman dengan air matamu dan selembar jilbab yang kuberi untuk kemuliaanmu.
Ibu, entah mengapa jemariku terasa rapuh untuk hanya sekedar menulis tentangmu, tentang rasa rindu yang ada untukmu.
Ibu, aku teramat rindu …
Rindu nasehatmu yang menjadikanku patuh, rindu senyummu yang menyejukkan kalbu, rindu kasihmu yang membuat hati ini serasa teduh.
Ibu …
Adakah sesuatu yang kini dapat kulakukan untukmu? Dimana ridha Allah mengalir dalam tiap-tiap denyut nadimu. Apakah ada kesempatanku untuk menjadi lelaki seperti yang engkau inginkan? Lelaki yang kuat namun berhati lembut, itu ‘kan yang ibu mau? Sungguh, aku lelah tersenyum palsu seolah-olah aku kuat tanpamu. Pada siapa lagi air mata ini mengadu, bu? Air mata yang di kala hening selalu mengalir deras, air mata yang menetes saat bayangmu hadir menyapaku dalam mimpi, air mata yang jatuh disaat hati teramat rapuh, air mata yang tumpah ruah kala hati sangat merindukanmu.
Ibu …
Nantikan aku di batas waktu, dimana ruh yang lemah ini tak lagi mau bersatu dengan tubuh, di kala jasad tak lagi dapat di basuh air wudlu. Ibu, adakah hari yang indah melebihi hari di kala tak lagi ada kata lelah dan luka yang terpahat disana? Hari dimana kita bertemu dengan Allah Azza Wajallaa, Dzat yang Indah-Nya tak sanggup dilukiskan oleh kata-kata cinta.
Ibu …
Sungguh, aku mencintaimu karena-Nya.

Soraya Qurrotul’aiin SyifaaulgHalb (Antologi Cerpen Soekarno _ Pena Dalwa)
Kudus, 11 Februari 2016