Sayyidina Ali Zainal Abidin "Waliyullah Yang Senantiasa Bersujud"

Ia adalah cicit Rasulullah SAW yang
selamat dari pembantaian dalam
tragedi Karbala. Setelah dewasa ia
menjadi wali yang setiap saat
bersujud kepada Allah SWT.
Setelah dua cucu tersayang
Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan
Husien, wafat, sementara sisa-sisa
keturunan beliau yang lain terbunuh
di padang Karbala, yang masih hidup
ialah Ali Zainal Abidin, satu-satunya
putra Sayyidina Husien bin Ali bin
Abi Thalib. Cicit Rasulullah SAW ini
lahir di Madinah pada 33 H / 613 M.
sementara riwayat lain
mengungkapkan ia lahir pada 38 H /
618 M. ketika pecah Tragedi Karbala
pada abad ke-6 H (abad ke-12 M), ia
baru berusia 11 tahun.
Termasuk generasi tabi`in, Ali Zainal
Abidin banyak meriwayatkan hadits
dari ayahnya, Husien dan pamannya,
Hasan, juga dari para Sahabat,
seperti Jabir, Ibnu Abbas, Al-
Musawir bin Makhramah, Abu
Hurairah, Shafiyah, Aisyah, Ummu
Kultsum, dan para istri Rasulullah
SAW yang lazin disebut ummahatul
mukminin , ibunda kaum Muslimin.
Ketika ayahandanya, Sayyidina
Husien, berjuang melawan prajurit
Khalifah Yazid bin Muawiyah, ia
tengah sakit dan berada di dalam
kemah bersama kaum wanita. Ia
menyaksikan dengan mata kepala
sendiri ketika semua anggota
keluarganya berguguran mati syahid
sehingga kenangan getir tak pernah
lepas dari benaknya. Ia bahkan
menyaksikan bagaimana
ayahandanya dipancung.
Setelah perang usai, sisa anggota
keluarga Sayyidina Husien yang
masih hidup ditawan di Kufah, Irak.
Bahkan Ali Zainal Abidin yang ketika
masih berusia 11 tahun, hampir saja
dibunuh. Tetapi nyawanya selamat,
berkat kegigihan Sayyidah Zainab,
bibinya, yang memeluknya dengan
erat dan mencegah para prajurit
mendekat. Tak lama kemudia para
tawanan dipindah ke Damaskus,
Syria, dipertemukan dengan Khalifah
Yazid bin Muawiyah, tapi kemudian
dibebaskan, bahkan diantar pulang
ke Madinah.
Di Madinah itulah Ali Zainal Abidin
tumbuh dewasa sebagai seorang
yang sangat alim, ia tekun
beribadah. Sementara ketinggian
ilmu agamanya menjadikannya
sebagai rujukan para ulama,
terutama dalam hal ilmu hadits.
Lebih dari itu ia sangat terkenal
sebagai ahli ibadah yang luar biasa.
Muhammad Al-Baqir, anak lelakinya,
bercerita, “Setiap kali mendapat
nikmat Allah SWT, Imam Ali Zainal
Abidin langsung bersujud, setiap
kali membaca ayat Sajadah dalam Al-
Qur`an ia selalu bersujud, setiap
kali selesai shalat fardu, ia selalu
bersujud, dan setiap kali berhasil
mendamaikan orang berselisih, ia
selalu bersujud. Karena sering
bersujud itulah, tampak bekas sujud
dikeningnya, dan karena itu pula ia
disebut As-Sajjad , orang yang suka
bersujud.”
Ali Zainal Abidin benar-benar
mewarisi sikap dan sifat
ayahandanya dalam hal keilmuan
dan kezuhudan. “Diantara Bani
Hasyim, saya kira dialah yang paling
mulia,” kata Yahya Al-Anshari, salah
seorang ulama terkemuka di
masanya. Kemuliaan itu antara lain,
karena ia selalu dalam keadaan suci,
selalu berwudlu, dan tidak pernah
absen menunaikan qiyamul lail alias
shalat Tahajud, baik di rumah
maupun dalam perjalanan.
Suatu hari, ketika keluar dari masjid,
seorang lelaki mencaci Ali Zainal
Abidin. Spontan oranag-orang di
sekitarnya berusaha memukul lelaki
tersebut, tetapi Ali Zainal Abidin
mencegahnya. Lalu katanya, “Apa
yang engkau belum ketahui tentang
diriku? Apakah engkau
membutuhkan sesuatu?”
Mendengar ucapan lemah lembut
itu, laki-laki tersebut merasa malu,
lalu Ali Zainal Abidin memberinya
uang 1000 dirham. Maka kata lelaki
itu, “Saya bersaksi, engkau benar-
benar cicit Rasulullah SAW.”
Makam Mukasyafah
Hampir setiap malam Ali Zainal
Abidin menggotong sekarung
gandum dan membaginya kepada
fakir miskin di Madinah.
“Sesungguhnya sedekah yang
disampaikan secara sembunyi-
sembunyi dapat memadamkan murka
Allah,” katanya. Ketika itu, sebagian
warga kota Madinah mendapat
nafkah tanpa mengetahui darimana
asal nafkahnya. Dan ketika Ali Zainal
Abidin meninggal, ternyata mereka
tidak lagi mendapat pembagian
gandum.
Setiap kali meminjamkan uang atau
pakaian, Ali Zainal Anidin tidak
pernah memintanya kembali. Jika
bernazar, tidak makan dan minum,
ia tetap berpuasa sampai dapat
memenuhi nazarnya.
Begitu
dermawan dan penuh kasih sayang,
bahkan kepada hewan yang
dikendarainya pun ia tidak pernah
mencambuknya.
Meskipun tragedi Karbala sangat
membekas di kalbunya, ia selalu
berusaha menyadarkan umat agar
bersabar menghadapi kekuasaan
yang represif. Dengan arif ia
mendidik dan memperbaiki nasib
umat. Salah satunya dengan
menyusun rangkaian doa berjudul
As-Sahifah As-Sajjadiyah – yang ia
maksudkan untuk mengobati
penyakit rohani yang merajalela,
sekaligus memanjatkan permohonan
kepada Allah SWT agar umat
terlepas dari situasi yang
mengimpit.
Sebagai Waliyullah, ia dinilai sudah
mencapai makam mukasyafah,
peringkat tertinggi, yang mampu
menyingkap tabir ketuhanan.
Salah
satu karomahnya ialah tentang surat
rahasia dari Khalifah Abdul Malik
bin Marwan kepada panglimanya,
Hajjaj bin Yusuf As-Saqafi. Surat itu
antara berbunyi, “Jauhkan aku dari
lumuran darah Bani Abdul Mutha;ib,
yang setelah bergelimang dalam
dosa tidak lagi mampu bertahan
kecuali dalam waktu yang tidak
lama.”
Pada saat yang bersamaan, Ali Zainal
Abidin juga menulis surat kepada
Khalifah Malik bin Marwan, yang
diantaranya berbunyi, “Anda telah
menulis surat kepada Hajjaj
mengenai keamanan kami, semoga
Allah memberi balasan yang sebaik-
baiknya kepada anda.” Tentu saja
Khalifah Abdul Malik bin Marwan
tercengang membacanya. Sebab
tanggal surat itu sama persis
dengan tangga surat Khalifah
kepada Hajjaj.
Dan ternyata saat keberangkatan
utusan Ali Zainal Abidin dari
Madinah juga sama dengan saat
keberangkatan utusan Khalifah yang
mengantarkan surat kepada Hajjaj.
Karena itu, Khalifah Abdul Malik pun
menyadari, , Allah telah membuka
mata batin Ali Zainal Abidin. Ia lalu
menulis surat dan menyampaikan
hadiah kepada Ali Zainal Abidin.
Cicit Rasulullah ini juga dikenal
sebagai pembela Hak Azasi Manusia.
Dalam risalahnya, Risalah Al-Huquq,
antara lain ia menulis, manusia
punya hak dan kewajiban kepada
Allah SWT, kepada diri sendiri,
kepada sesama manusia, dan kepada
sesama makhluk Allah.
Mengenai
hak dan kewajiban kepada sesama
manusia, ia memperinci hak dan
kewajiban rakyat kepada penguasa
dan sebaliknya. Risalah ini tentu
sangat istimewa, karena ditulis pada
abad ke 7 Masehi, sebelum lahirnya
Dokumen Magna Charta dalam
sejarah Inggris. Lima abad setelah
itu, yang kemudian berkembanag
menjadi Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia.
Pada zamannya, pengaruh Sayyidina
Ali Zainal Abidin sangat kuat, begitu
besar kharismanaya, sehingga
seorang khalifah pun
mengkhawatirkan tahtanya. Ketika
menggantikan ayahnya, Abdul Malik,
sebagai khalifah, Walid sempat
khawatir, jangan-jangan kharisma Ali
Zainal Abidin mampu menggoyang
tahtanya.
Pada 95 H / 675 M, Khalifah pun
berusaha mendekati sang Waliyullah
melalui seseorang yang kemudian
ternyata meracunnya sehingga Ali
Zainal Abidin meninggal dunia.
Untuk kesekian kalinya anak cucu
Rasulullah SAW berduka cita. Beliau
wafat di Madinah pada 18 Muharam
95 H / 875 M. meninggalkan 11
orang putra dan 4 orang putri.
Jenazahnya di kebumikan di
pemakaman Baqi` dekat makam
sang paman, Sayyidina Hasan.