Berikut adalah pengalaman al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Kaf
yang tak terlupakan tentang Kisah Kemuliaan Guru Mulia al-Habib Umar bin
Hafidz. Beliau menuturkan:
“Waktu itu pertengahan April 1994 musim dingin di Tarim
Hadhramaut mulai menyapa kami yang memang kami belum terbiasa dengan dinginnya
cuaca Tarim ketika musim dingin. Al-Habib Umar pun telah menyiapkan untuk kami,
para santrinya dari Indonesia yang waktu itu sangatlah manja, sebuah selimut
tebal yang mahal. Masing-masing dari kami mendapatkan satu selimut.
Kisah pun bermula seperti biasa selepas Ashar kami dan
al-Habib Umar menuju kota Tarim untuk menghadiri rauhah dan maulid di kota
tersebut. Selepas acara kami pun kembali ke kediaman al-Habib Umar di kota
Aidid. Biasanya kami pulang larut malam. Dan karena pada waktu itu al-Habib
Umar hanya memiliki satu mobil maka kami pun selalu berebutan untuk menaiki
mobil tersebut. Terkadang mobil Nisan Patrol tersebut dimuat oleh 20 orang
lebih sehingga penuh di dalam dan di atas mobil.
Kami berebut karena memang jika kami tidak dapat tempat di
mobil tersebut terpaksa kami akan pulang dengan berjalan kaki yangg berjarak 5
km kurang lebih. Saya dan dua teman saya pada waktu itu kurang beruntung. Kami
bertiga berjalan kaki untuk pulang ke rumah al-Habib Umar.
Sesampainya kami di tempat al-Habib Umar kami mendapati
teman-teman kami yang lain telah mendapatkan selimut yang tebal yang baru saja
dibagikan oleh al-Habib Umar. Kami pun bergegas menemui al-Habib Umar. Tapi
lagi-lagi kami kurang beruntung karena selimutnya telah habis.
al-Habib Umar mengatakan bahwa toko penjual selimutnya
kehabisan stok dan berjanji akan memenuhi kekurangannya besok pagi. Kami pun
pamit kepada beliau untuk tidur.
Tapi sebelum kami pergi al-Habib Umar menyuruh kami untuk
menunggu. Kami pun menunggu al-Habib Umar yang masuk ke dalam rumahnya.
Beberapa saat kemudian al-Habib Umar pun keluar dengan
membawa beberapa selimut tipis dan lusuh dan membagikannya kepada kami bertiga.
Kami pun menerima selimut itu tanpa pikir panjang. Lalu kami pun pulang menuju
asrama yang berada tepat di belakang rumah al-Habib Umar. Kami pun
membagi-bagikan selimut tipis dan lusuh pemberian al-Habib Umar yang berjumlah
2 selimut besar dan 3 selimut kecil untuk kami bertiga.
Baru saja kami meluruskan badan untuk tidur terdengar
tangisan bayi yang tak henti-hentinya yang kami yakin itu adalah tangisan anak
al-Habib Umar yang masih bayi pada waktu itu. Kami pun sempat bertanya-tanya
dalam hati kenapa bayi itu menangis sepanjang malam, sambil tetap berusaha untuk
memejamkan mata.
Menjelang Shubuh suara tangisan bayi pun berhenti. Mungkin
karena kelelahan menangis sepanjang malam. Kami pun bergegas menuju ke masjid
Aidid yang terletak persis di depan rumah al-Habib Umar sambil membawa kitab
nahwu yang akan kami pelajari setelah shalat Shubuh di bawah bimbingan langsung
al-Habib Umar.
Setelah selesai belajar nahwu kami pun pulang ke asrama
kami. Di pertengahan jalan kami bertemu dengan al-Habib Salim anak dari
al-Habib Umar bin Hafidz yang waktu itu masih berusia 6 tahun, kami pun menyapa
dan bertanya: “Wahai Salim mengapa adik bayimu menangis tak henti-hentinya tadi
malam, apakah dia sakit?”
Habib Salim pun menjawab: “Tidak, adikku tidak sakit.”
“Lalu apa yangg membuatnya menangis?”
Dengan keluguannya Salim pun menjawab: “Mungkin karena
kedinginan, karena semalam kami sekeluarga tidur tanpa selimut.”
Bagai tersambar petir kami terkejut mendengar ucapan polos
tersebut. Kami pun berlari menuju asrama untuk mengambil selimut lusuh yang
ternyata milik keluarga al-Habib Umar yang beliau berikan kepada kami. Beliau
al-Habib Umar sekeluarga rela tidur tanpa selimut di dinginnya malam kota Tarim
demi anak-anak muridnya.
Kami kembalikan selimut tersebut kepada al-Habib Umar sambil
membendung air mata dan tanpa tahu harus berkata apa. Dengan senyum dan
seolah-olah tak terjadi apa-apa al-Habib Umar menerima selimut dari kami dan
menggantikan selimut tersebut dengan yang baru yang baru saja dikirim oleh
pemilik toko.
Kami pun kembali ke asrama tanpa dapat membendung lagi air
mata kami yang melihat kemuliaan yang beliau berikan kepada kami. Sambil
berkata di dalam hati: “Ya Allah ternyata di abad ini masih ada orang yang
berhati begitu mulia seperti beliau. Terimakasih ya Allah yang telah
mempertemukan aku dengan manusia mulia di kehidupanku ini