Petir sesekali terdengar menggelegar. Pemakaman itu sepi
nyenyat, tak ada seorangpun yang berminat melangkah ke kuburan di masa-masa
hujan seperti ini, kecuali sepasang suami istri yang sengaja datang karena satu
keperluan. Bunga-bunga kamboja nampak bermekaran dengan indahnya, menjadi
pemanis diantara timbunan tanah berisi jasad tak bernyawa. Beberapa burung
gagak terlihat bertengger pada pagar pemakaman. Mungkin mendoakan para penghuni
di sana. Perlahan tangan kanan Ragil membimbing tangan istrinya melewati satu
demi satu batu nisan yang ada di sana. Sedangkan tangan kirinya kokoh memegang
payung untuk melindungi mereka dari kuyup. Sebentar-sebentar mereka berhenti.
Tanah yang basah itu kerap menjebak kaki mereka, melesakkannya kedalam, memaksa
mereka untuk mengangkat kaki tinggi-tinggi demi terbebas dari jebakan tanah.
Beberapa tanah yang meliat ikut menempel di sol sepatu, membuat langkah
sepasang suami istri itu menjadi lebih berat.
Akhirnya sampailah
mereka pada nisan yang dituju. Wanita itu menatap suaminya, seolah memastikan.
Suaminya mengangguk sambil menyeka air matanya yang mulai luruh bersama hujan.
Dengan tanpa kata-kata wanita itu membungkuk, yang langsung disusul oleh Ragil.
Mereka tak peduli baju panjangnya terpercik noda-noda lumpur. Kini sepasang
suami istri itu bersimpuh di depan sebuah makam. Mereka berdua menangis haru.
Berterimakasih tak henti-henti atas apa yang telah dilakukan si jasad tak
bernyawa yang sekarang mungkin sedang memetik buah-buah kebaikan yang
ditanamnya semasa hidup.
*****
Jogjakarta 2007
Ragil berjalan sambil sedikit berlari menuju arah kamar Tyo,
setelah menyapa tante Ami mama Tyo di ruang tamu. Saat membuka pintu kamar, Tyo
sedang nampak serius membaca sebuah buku. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi
malas yang melintang di balik jendela kamarnya yang lebar. Dari situ ia bisa
melihat taman belakang rumahnya yang begitu asri. Mamanya sangat rajin
berkebun. Selain itu kursi malas itu memang spot favoritnya untuk membaca buku
karena cahaya matahari sempurna menerangi huruf demi huruf yang dibacanya.
Tanpa permisi Ragil masuk begitu saja mengambil gitar yang tergantung di dekat
meja komputer. Lalu duduk di atas kasur dan memainkan “Loving you, it’s easy
cause you’re beautiful”. Tyo bergidik menatap sahabatnya yang barusan datang. “Gil,
masih normal kan?”. “Absolutely brother” katanya sambil tersenyum dan
mengedipkan sebelah matanya. Tyo geleng-geleng dan melanjutkan membaca buku.
“Yo, aku jatuh cinta”
kata Ragil seketika..
Kini tiba-tiba buku di tangannya tak menarik lagi bagi Tyo.
Ia menutup bukunya dan meletakkannya di rak. Lalu beringsut turun dari kursi
malas dan menarik kursi di meja komputernya. Ia memajukan kursi dengan roda di
bawahnya mendekati ranjang. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Membuka
lebar-lebar pendengarnya.
“Siapa wanita
beruntung itu?”
Itulah yang Ragil suka dari Tyo. Sahabatnya ini sungguh
perhatian. Tak pernah sekalipun hal sepele yang disampaikannya diremehkan.
Urusan cinta adalah perkara besar, maka bisa dibayangkan sebesar apa perhatian
yang dicurahkan oleh Tyo.
“Perempuan biasa,
penyuka langit fajar”
Mata Tyo membulat “persis sepertimu”
“Itulah kenapa aku menyukainya Tyo”, “Wanita ini unik, tiap
pagi masih dengan mukenanya ia selalu duduk pada tangga pintu masuk masjid
kampus kita”
Tyo sedikit mengernyitkan dahi. “Itu juga tempat favoritku
menghabiskan waktu menikmati pergantian fajar ke pagi”. Ah Tyo mulai paham.
“Cinta lokasi?” tatap Tyo penuh selidik. Ragil diam sebentar, berfikir “Ya,
bisa jadi”. “Lalu?” lagi-lagi Ragil diam, pertanyaan Tyo yang hanya sekata itu
seolah menantangnya lebih. “Aku akan mendekatinya” kata Ragil mantap. Kali ini
Tyo tergelak, “sebagai lelaki kamu hanya berani mendekatinya? Ya Tuhan”. Ragil
gamang, hatinya diliputi getar-getar, ledekan Tyo walau menyentil ada benarnya.
Lelaki macam apa yang hanya mendekati wanita, menebar harapan tanpa memberi
kepastian. “Aku akan mempersuntingnya”. “Nah, ini baru Ragil sahabatku yang
kukenal!” sambung Tyo sambil menepuk bahu sahabatnya.
“Tapi” tatapan Ragil mendadak lesu, gitarnya dimainkan dengan
sekenanya. Fals. “Tapi apa?” tantang Tyo. “Bantu aku mengenalnya lebih dekat,
kumohon”. Wajah Ragil tak segarang tadi. Malah dengan sekejap beralih pucat
seperti ikan yang lama terdampar di darat dan kehabisan oksigen. Walaupun
dengan berat hati Tyo meng-iyakan permohonan Ragil.
***
Subuh ini subuh yang berbeda. Sengaja malamnya Ragil
menginap di rumah Tyo untuk mengatur rencana mendekati gadis si penikmat fajar.
Entah berapa kali Ragil menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Ia sengaja memakai
baju koko andalan, hadiah Ibunya untuk lebaran tahun kemarin. Dikenakannya pula
sarung terbaik, yang diiklankan di televisi. Ah peci jangan lupa peci. Peci
hitam yang bentuknya mirip dengan peci Bung Karno ini sempurna sudah menutupi
dahinya yang lebar bagai lapangan terbang.
“Sudah?” Tyo sudah berdiri di ambang pintu kamar dan bersiap
pergi saat Ragil masih memeriksa kebersihan giginya di depan kaca. Tak lama ia
menyusul “Sudah komandan, bagaimana?” Ragil meminta pendapat sahabatnya atas
penampilannya hari ini. “Kau akan dikira imam sholat kami” jawab Tyo ringan.
Tyo memang sangat terbiasa memuji, tak pernah sekalipun dari mulutnya keluar
kata-kata yang tidak bermanfaat apalagi menyakitkan. Yang dipuji tersenyum
bangga.
Subuh ini subuh yang berbeda. Lonjakan perasaan yang amat
sangat membuat Ragil bergairah. Yang pada akhirnya membuatnya tidak khusyu.
Lancang. Ia mencurangi Tuhan kini. Tubuhnya memang ruku dan sujud, tapi
pikirannya berlari ke arah tangga tempat si penikmat fajar tersenyum sambil
menatap gradasi warna langit yang memukau. “Maafkan aku ya Allah” gumamnya
dalam hati. Saat khotib menyampaikan khutbah lepas Subuh, kaki Ragil sudah
sangat gatal ingin keluar. Ia takut gadis penikmat fajar itu keburu pergi.
Melihat sahabatnya kasak kusuk gelisah Tyo menenangkan. “Sabar, tunggu
sebentar. Gadis itu tidak akan kemana-mana”. Ragil menjadi lebih tenang kini.
Entah kenapa ia selslu percaya setiap Tyo mengatakan sesuatu. “Ya, dia tidak
akan kemana-mana”
Semua jamaah bubar tak terkecuali Ragil dan Tyo, mereka
segera mengambil sandal dan berlari ke arah tangga. Sebenarnya hanya Ragil saja
yang berlari, Tyo tetap santai berjalan sambil sesekali menyapa jamaah yang
lain. Diam-diam Ragil gemas, “Ayo Tyo, cepat”
Tepat. Begitu mereka sampai di tangga teratas, gadis
penikmat fajar itu sudah duduk di undakan ke tiga. Masih dengan mukena bagian
atasnya, yang membuat keanggunannya tak terkalahkan oleh dewi-dewi yang bahkan
diturunkan dari kahyangan.
Ada sesuatu yang berbeda di hati Tyo saat memandang gadis
itu. Ada perasaan entah apa yang menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Getar itu menyelusup menebarkan kenyamanan yang dalam. Wajah gadis itu teduh
bersahaja, tidak bisa dibilang cantik, tapi menyenangkan. Ia memandang Ragil
yang menatap gadis itu sangat dalam. Ah iya Tyo tersadar, ia kesini untuk
membantu Ragil sahabatnya.
Kini mereka berdua saling tatap. Tyo sudah siap menjalankan
misinya. Perlahan ia berjalan mendekati gadis itu, membawa sepucuk surat yang
semalaman ditulis oleh Ragil sampai dahinya membanjir. Ya, sepucuk surat
sajalah senjatanya. Terdengar kuno di jaman sekarang, tapi keromantisan surat
tak pernah bisa dikalahkan oleh apapun. Tyo menuruni undakan-demi undakan,
harus diakui hatinya juga turut berdebar. Kini ia coba duduk santai persis di
sebelah gadis penikmat fajar itu. Nampaknya gadis itu tidak terusik. Ia tetep
khusyuk memandangi langit.
Tyo berdehem ringan basa basi khas yang dikeluarkan tiap
seseorang akan memulai percakapan.
“Sendiri saja?” tanyanya sopan pada gadis itu. Tak ada
jawaban. Gadis itu tetap asik dengan langit fajarnya. “Maaf mbak, sendiri
saja?” ulang Tyo. Gadis itu kini berpaling ke arah suara. “Oh mas tanya saya?
Maaf saya kira sedang ngobrol dengan orang lain”. Saat itulah, saat gadis itu
menatap langsung kearahnya. Jantung Tyo terasa bagai ditikam. Nafasnya sesak.
Bukan karena kelainan jantungnya kumat. Tapi ia merasa sulit bernafas saja,
entah kenapa.Ya Tuhan, gadis ini. Matanya indah sekali. Bulat coklat berpendar.
Membawa energi yang meluluhkan hati siapapun yang memandangnya. Dosa apa aku
higga harus bertemu gadis seindah ini. Tiba-tiba Tyo disergap perasaan
bersalah, ia tahu sejak pertama gadis itu buka suara, hatinya telah jatuh
berkeping-keping lebur dalam satu rasa bernama cinta. Maafkan aku Ragil. Tyo
menelan ludah. Ia bukan pengkhianat. Ia cepat –cepat menuntaskan misinya dan
menahan rasa cinta yang berujung perih itu sendiri.
“Kalau boleh saya ingin menyampaikan sesuatu”, gadis itu
diam tetap menatap lurus kearah Tyo yang mulai rikuh. Jari jemarinya bergetar
hebat, basah oleh keringat. Ia mengambil sepucuk surat dari sakunya. “Ada surat
untukmu”. Tyo mengulurkan surat berbau harum itu ke arah gadis penikmat fajar,
tapi gadis itu tidak beraksi. Tidak menerima maupun menolak. “Bisa tolong
dibacakan?”, kata gadis itu lembut. Tyo sedikit terperangah. Gadis itu tau
permintaannya terdengar aneh. Sambil tersenyum ia menyambung kalimatnya. “Saya
tidak bisa membaca, saya buta” kata-kata itu meluncur begitu saja. Ringan,
seringan kapas yang terbang ditiup angin. Reflek Tyo menoleh ke arah Ragil yang
dengan cemas menunggu. Dia, gadis penikmat fajar itu, adalah seorang yang tak
bisa melihat. Lalu untuk apa dia disini? Bukankah ia tidak bisa melihat
indahnya gradasi langit di subuh hari? Ragu-ragu Tyo menyanggupi permintaan si
gadis penikmat fajar. Sekali lagi maafkan aku Ragil.
Assalamu’alaikum gadis penikmat fajar
Salam takzim untuk baginda Rasul...
Tyo berhenti sebentar, merasa sahabatnya salah menulis
surat. Ini bukan acara pembukaan pondok pesantren atau semacamya ini surat
cinta. Namun demi melihat gadis itu mendengar dengan saksama. Tyo melanjutkan
membaca.
Lama aku mengintipmu dari balik perdu
Mengagumi indahnya gradasi langit fajar yang tak
sebanding dengan satu garis senyummu
Merasakan bimbang dalam kecendirian yang mengganggu
Karena namamu pun aku tak tahu Hai gadis penikmat fajar
Kenapa kau berani singgah dalam hidupku?
Mengacaukan jadwal makan bahkan tidurku
Berlari-lari riang dalam bayang-bayang rindu
Hai gadis
penikmat fajar
Kemana harus ku cari tau tentangmu
Tentang nama yang diberikan oleh orangtuamu
Karna nama itulah yang kelak ku harap terucap dalam ijab
qabul antara ku dengan mu di depan penghulu
Hai gadis penikmat fajar
Ma..mau kah kau menikah denganku?
Kalimat terakhir dibacanya tersendat-sendat .Tyo yakin,
pipinya merona kini. Tanpa direncana ia melamar seseorang. Ia melamar anak
gadis orang. Kembali detak jantungya berdetak lebih cepat. Ada sensasi gemuruh
ombak yang berdebur menyemarakkanya. Lega. Namun ia kembali tersadar, surat ini
dari Ragil. Ia tak layak bahagia atas apa yang berhasil dilakukannya kini.
Melamar anak orang. Meskipun mungkin, hal ini adalah hal yang pertama dan
terakhir kali akan ia lakukan. Bukan untuknya tapi untuk sahabatnya. Gadis ini
milik sahabatnya.
Gadis penikmat fajar hanya menunduk. Surat yang dibacakan
tadi kaya pesona. Pipinya juga memerah, ada desir aneh yang menyelimuti
hatinya. Menghangatkan. Belum pernah ia merasa dibutuhkan sebesar ini. Lelaki
di sebelahnya . Baru sekali ditemui. Namun rasa percaya kadung bersemayam
menguasai jasad dan pikirannya. “Nama saya Rinai, nama mu?” , Tyo
tergagap-gagap menyebutkan namanya, sudah kepalang tanggung “Nama ku, Ragil”.
Perkenalan itu dimulai, berlanjut hingga entah bagaimana, Rinai begitu saja
menerima pinangan Tyo yang menjadi Ragil. “Rinai Anindya binti Ridwan Kamil
almarhum nama yang bisa disebutkan di ijab qobul” sambungnya malu-malu.Tyo tak
tau harus gembira atau sedih mendengar ini. Yang jelas misinya berhasil.
Mereka berpisah, Tyo beranjak meninggalkan gadis itu.
Berjanji akan datang lagi untuk menepati proses selanjutnya. Gadis itu menunduk
mengangguk malu-malu. Entah lah ia akan di sana sampai kapan. Yang jelas kini
hatinya telah terisi nama satu pria bernama... Ragil.
Sampai atas Ragil segera menarik lengan Tyo. Naik pitam.
Skenarionya tak begini. Seharusnya Tyo memberikan suratnya, lalu memanggil
Ragil untuk berbincang-bincang. Bukannya malah diembatnya sendiri seperti ini.
“Sabar Gil. Dengarkan dulu penjelasanku”
Ragil coba meredam emosinya. Ia hanya takut kalau-kalau Tyo
tiba-tiba menyukai gadis penikmat fajarnya itu lalu merebutnya. Tapi diam-diam
dia juga yakin Tyo bukan sahabat yang seperti itu “Gadis itu bernama Rinai. Ia
bersedia menikah denganmu”, kata Tyo lesu. Ia coba menguatkan hatinya untuk
mengatakan ini. Gadis itu satu-satunya gadis yang berhasil mencuri hatinya.
Sebentar lagi akan menikah dengan sahabatnya.
Ragil kaget, tapi kaget bahagia. Ia merasa tiba-tiba langit
cerah seketika. Angin berkesiup lembut menerbangkan beberapa helai rambutnya
yang sudah tak berpeci. Kupu-kupu mendekat seolah memberi selamat. Hari ini
sempurna indah. “Lalu rencana selanjutnya?”, “Kita pikirkan dirumah” sahut Tyo
yang langsung melangkah pergi.
*****
“Keren Yo. Bagaimana bisa kau meyakinkannya untuk menikah
denganku?”, Aku juga mencintainya Gil. Itu kunci utama.
“Hm? Aku tidak meyakinkan apa-apa. Ia sendiri yang terpesona
dengan puisimu”, Ragil mengangguk paham. Tidak rugi rasanya membaca banyak
refrensi untuk menyusun kata bagai pujangga.
“Satu hal yang perlu kamu tau Gil”, “Apa?” tanyanya
antusias. Tyo melanjutkan kalimatnya ragu-ragu “Gadis penyuka fajar mu itu,
seorang tuna netra”. “Ha...ha...ha...” Ragil tertawa keras terbahak-bahak,
sampai perutnya kaku “Ah kamu bisa saja Yo” Ragil masih tak percaya. “Dengar
Gil, aku sungguh-sungguh. Ia tunanetra, untuk itu aku yang membacakan puisimu
untuknya. Aku yang berkenalan dengannya menjadi dirimu. Maafkan aku Gil. Aku
sungguh tak bermaksud”, ujarnya lemah. Tawa Ragil seketika lenyap. Ruang kamar
Tyo mendadak senyap. Hanya terdengar bunyi detak jarum yang berputar ke arah
kanan. “Jadi maksudmu. Dia menganggap bahwa kau itu aku?”, Tyo mengangguk
pasrah. “Katakan padaku apakah kau mencintainya juga?” desak Ragil. Tyo diam
tak bergeming. Bagaimana mungkin ada seorang lelaki normal yang tak mencintai
gadis seindah Rinai. Yang lembut tutur katanya, yang santun perangainya.
Tertutup pula auratnya. “Benar yang kutakutkan. Kamu mencintainya Yo!” Ragil
meninggalkan Tyo yang duduk diam di atas kasurnya. Ia beralih ke spot favorit
Tyo, kursi malas. Namun ia hanya berdiri saja, menyibak tirai putih yang
menghalanginya untuk melihat kebun mugil milik Tyo sacara langsung,
seoalah-olah disana ada penawar bagi dukanya. “Aku boleh saja mencintainya Gil.
Itu hakku. Tapi dia milikmu”, “Bagaimana bisa?!” mata Ragil nyalang menatap Tyo.
Serta merta Tyo mengeluarkan satu tiket pesawat dari laci di sebelah
ranjangnya. “Jantungku yang lemah ini sudah dua kali kumat dalam satu semester.
Sekali lagi kumat, aku bisa lewat” kata Tyo santai. “Aku harus mengajaknya
jalan-jalan ke Australi. Katanya di sana ada dokter kenalan Papa yang bisa
membuat jantungku lebih kuat. Kau lanjutkan hubunganmu dengan Rinai. Aku
berjanji kau akan datang esok hari di jam yang sama. Bersikaplah sewajarnya.
Tak perlu menjadi aku dan tak perlu menceritakan tentang aku. Dia jatuh cinta
pada puisimu”
Ragil berbalik dan segera memeluk sahabatnya. Malaikat mana
yang merasuki tubuh mu Yo? “Terimakasih Yo. Kapan kau berangkat?”, “Besok
penerbangan pertama”. “Jantungmu pasti kuat”, “Tentu” jawabnya ragu.
*****
Ragil sedih tak bisa
melepas kepergian sahabatnya di bandara. Ia tidak diijinkan oleh Tyo. Pagi ini
Ragil harus menemui Rinai di masjid lepas Subuh. Tyo hanya berpesan agar
pernikahan cepat dilangsungkan. Maksimal satu bulan dari saat kenalan. Ragil
mengangguk matap. Toh menikah hanya tinggal mencari penghulu dan meminta restu
orangtua. Perkara mudah.
Satu hal yang membuatnya cemas adalah perkataan terakhir Tyo
yang bilang tidak bisa menghadiri pernikahan sahabatnya kelak. Alasannya ia
takut tidak kuat hati. Tapi Ragil tau itu bukan alasan sebenarnya.
*****
Hubungan Ragil dan Rina berjalan baik. Sempat ada canggung
di awal, tapi ternyata Rinai tidak curiga. Ia nampak bahagia saja. Ragil juga
tak mempermasalahkan Rinai yang tak bisa melihat. Toh tanpa melihat pun Rinai
tetap bisa melakukan apa saja yang dia suka. Rinai adalah tunanetra yang
mandiri. Kedua belah pihak setuju pernikahan digelar secepatnya. Tak ada pesta
pora hanya akad yang akan dilangsungkan tiga minggu lagi.
*****
Sore itu mendung begitu kelam. Ia tak menijinkan mentari
mengintip sedikit saja untuk membuat bumi lebih terang. Hujan disertai petir
membuat semua orang malas keluar. Ragil menutup jendela kamarnya. Ia sedang
mencatat beberapa hal yang akan ia perlukan untuk pernikahannya kelak. Selama
ini ia selalu berkonsultasi lewat skype dengan Tyo. Tapi sudah dua hari ini.
Tyo nampak tidak online. Padahal ada beberapa hal yang ingin Ragil tanyakan.
Bersamaan dengan suara petir handphone Ragil berbunyi, nama
Mama Ami tertera di sana. “Halo Ma?”, hening. Perasaan Ragil mulai tidak enak.
“Gil Mama bisa minta tolong?” katanya dengan suara yang agak serak. Ragil
menelan ludah. “A...ada apa Ma?”, “Tolong siapkan rumah ya, kita urus
kepulangan jenazah Tyo”, tangis Mama Ami pecah. Ia tak kuat lagi menahannya.
Ragil hanya diam, suara petir menggelegar itu tak didengarnya. Kalah nyaring
dibanding jeritan hatinya “Tyo? Innalillahiwainnailaihi ro jiun”
*****
Tanah pemakaman itu masih merah. Ragil menatapnya nanar.
Jadi ini yang menyebabkanmu tidak bisa hadir ke pernikahanku Yo? Bukan hatimu
yang tidak kuat, tapi ragamu Yo. Ayah dan Ibu Ragil pulang lebih dulu. Ragil
sengaja mampir ke rumah Tyo. Hendak menghibur Papa Mama nya. Rumah itu sepi
tanpa adanya Tyo. Kamarnya pun tiba-tiba nampak kaku. Ragil sudah minta ijin
untuk rebah di kamar Tyo. Mengenang kembali masa-masa persahabatan mereka dulu.
Ragil malah sengaja bersalin pakaian dengan baju Tyo yang menggantung di
hunger, ia rindu sahabatnya. Rindu nasihatnya, bahkan rindu baunya. Pintu kamar
di ketuk, Papa dan Mama Tyo masuk ke dalam kamar.
Entah mengapa melihat wajah Papa Tyo ia seperti melihat Tyo.
Tak kuasa iapun menghambur dalam pelukan Papa Tyo dan menangis sesenggukan,
layaknya anak kecil yang kehilangan mainannya. “Yang ikhlas Gil. Supaya Tyo
tidak berat di sana”. Mama Ami juga ikut membelai punggung sahabat anaknya itu.
“Gil ada surat wasiat untukmu dari Tyo”. Setelah sedikit berbincang mereka
membiarkan Ragil membaca surat itu sendiri.
Assalamu’alaikum
Ragil sahabatku. Ketika kau baca surat ini yang jelas aku
sudah tidak ada disampingmu lagi. Tapi kuharap kau belum menikah ya. Aku iri
padamu yang bisa menemukannya, menemukannya di antara gradasi langit fajar. Ya,
gadis penikmat fajarmu itu. Betapa aku juga sangat mencintainya. Tapi cintaku
pada sahabatku yang sedang membaca ini jauh lebih besar daripada cintaku
padanya yang mungkin hanya sebatas nafsu. Gil. Usiaku memang tak panjang. Tapi
bolehkah aku tetap hidup bersama kalian? Nikahilah Rinai dengan mataku. Ijinkan
kedua korneaku ini berlabuh di mata indahnya yang lebih berkilau dari
berlian.Biarkan Rinai tau setampan apa lelaki pilihannya. Gil, Ijinkan aku
melihat kalian bahagia bersama anak-anak kalian. Rajin-rajinlah mengajak Rinai
menjenguk kedua orangtuaku.Agar aku juga bisa melihat mereka menua bersama
dengan bahagia. Aku sudah mendaftarkan diri menjadi donor mata jauh sebelum aku
mengenal Rinai. Maka bisa kau urus saja mataku untuk Rinai, semoga bisa ya. Aku
sangat berharap. Dan kumphon jangan ceritakan tentang aku pada Rinai. Kecuali
jika suatu saat aku datang dalam mimpinya. Selamat menjalani hidup baru. Maaf
aku tidak di sisimu saat hari bahagiamu.
Tyo sahabatmu
Wassalamu’alaikum
Ragil menggigil demi membaca surat wasiat dari Tyo.
Tangisnya bukan reda malah semakin menjadi. Ia berteriak memanggil nama Tyo,
hingga orang tua Tyo harus turun tangan menenangkannya. Membaca surat wasiat
Tyo tidak membuat mereka kaget, waktu itu mereka sudah menyetujui permintaan
Tyo untuk menjadi donor mata. Dan kini semuanya menjadi nyata.
*****
Kali ini Rinai betul-betul tahu bahwa gradasi langit fajar
begitu indahnya. Dulu ia hanya mendengar cerita tentang langit fajar itu dari
neneknya. Ia lega neneknya tak berdusta. Setiap Rinai bertanya siapakah orang
yang mau mendonorkan mata untuknya. Ragil yang kini duduk disebelahnya sebagai
suami hanya menjawab. “Seseorang berjiwa malaikat, sayang”.
Sampai suatu ketika. Rinai bercerita bahwa akhir-akhir ini
ia sering di datangi lelaki tampan dengan bola mata yang luar biasa indah.
Lelaki itu hanya diam saja tapi ia tampak bahagia. Senyumnya selalu mengembang,
mengkonfirmasi perasaannya. Saat itulah ia tersentak karena melihat lelaki
dalam mimpinya itu pada selembar foto yang diberikan oleh Ragil.
“Namanya Tyo, kalian pernah bertemu. Waktu itu, saat dia
membacakan puisi untukmu”
Rinai terharu. Ia segera minta diantar ke makam Tyo. Tak ada
yang bisa mereka lakukan, kecuali
memeluk Tyo dalam doa.