Persepsi tentang mati memang
berbeda pada setiap orang. Ada yang merasa sudah mati ketika kehilangan
kekasihnya. Ada yang merasa mati ketika ludes harta bendanya. Dan, ada yang
menganggap hidupnya tak berarti saat dirundung kegagalan dan kedukaan akibat musibah.
Mati bukan hanya ketika
seseorang telah mengembuskan napas terakhir, matanya terpejam, detak jantung
terhenti, dan jasad tak bergerak. Itu semua hanya mati biologis. Kematiannya
masih bermanfaat karena menjadi pelajaran bagi yang hidup. Rasulullah SAW
bersabda, "Cukuplah kematian menjadi pelajaran, dan cukuplah keyakinan
sebagai kekayaan." (HR At-Thabrani dari Ammar RA).
Alangkah banyak manusia sudah
mati, tapi masih memberikan manfaat bagi yang hidup, yakni masjid atau madrasah
yang mereka bangun, buku yang mereka tulis, anak saleh yang ditinggalkan, dan
ilmu bermanfaat yang telah diajarkan. Meraka mati jasad, tapi pahala terus
hidup (lihat QS al-Baqarah [2]: 154).
Sesungguhnya yang perlu
diwaspadai adalah mati hakiki, yakni matinya hati pada orang yang masih hidup.
Tak ada yang bisa diharapkan dari manusia yang hatinya telah mati. Boleh jadi
dia hanya menambah jumlah bilangan penduduk dalam sensus. Hanya ikut membuat
macet jalanan dan mengurangi jatah hidup manusia lain. Itu pun kalau tak merugikan
orang lain. Bagaimana halnya dengan koruptor, orang yang merusak, dan menebar
kejahatan di muka bumi?
Tanda manusia yang hatinya
telah mati, antara lain, kurang berinteraksi dengan kebaikan, kurang kasih
sayang kepada orang lain, mendahulukan dunia daripada akhirat, tak mengingkari
kemungkaran, menuruti syahwat, lalai, dan senang berbuat maksiat.
Ada tiga hal yang bila kita
tinggalkan akan menyebabkan kematian hati. Pertama, bila shalat ditinggalkan,
itu akan membuat jiwa kalut. Kita akan terjerumus ke dalam perbuatan keji,
terseret ke lembah kemungkaran dan kesesatan (QS al-Ankabut [29]: 45 dan QS
Maryam [19]: 59), dan bisa menyusahkan serta merugikan orang lain.
Kedua, meninggalkan sedekah.
Itu berarti kita egois, individualis, dan enggan berbuat baik. Kepedulian
sosial seperti sedekah adalah bukti keimanan. Orang yang suka bersedekah
hatinya lapang dan dijauhkan dari penyakit, khususnya kekikiran, sedangkan para
dermawan selalu menebar kebajikan sehingga dekat dengan manusia, Allah, dan
surga.
Ketiga, meninggalkan
zikrullah adalah awal kematian hati. Hatinya akan membatu sehingga tak bisa
menerima nasihat dan ajaran agama. Zikir akan menimbulkan ketenangan hati (QS
Ar-Ra'd [13]: 28). Orang yang tenang hatinya akan berperilaku positif dan tak
mau berbuat jahat.
Mukmin yang selalu shalat,
senang bersedekah, dan memperbanyak zikrullah akan menjadi orang yang paling
baik, memiliki hati yang hidup, dan menebar kebaikan kepada sesama. Bila kita
merasa rajin shalat, sedekah, dan zikir, tetapi hatinya mati, kemungkinan besar
shalat, sedekah, dan zikirnya cenderung formalitas tanpa jiwa.