Hari begitu indah berjalan beriringan dengan masa yang terus
patuh pada titah TuhanNya, tak pernah ada kata protes atau sesal atasNya. Jauh
sangat berbeda dari kebanyakan diri-diri yang terkadang sok mulia, sok angkuh.
Iyalah makhluk bernama manusia, tidak banyak darinya yang ikhlas bersujut
hingga jidatnya menghitam, bertahiyat sampai matakakipun memiliki warna yang
berbeda dengan warna kulit disekitarnya, menebal dan menghitam, mengajarkan
ilmu di langgar-langgar, mendirikan masjid-masjid besar nan megah, serta
berjihad dan berjuhud di jalanNya. Tapi yang demikian itu hanya secuil dari
makhluk bernama manusia, Namun Dia tetap menyayangi segala ciptaanNya.
Detik
melangkah gagah di bawah komandoNya, membentuk Menit, jam, hari, minggu, bulan,
dan tahun. Iya tak pernah lelah terus melangkah gagah dalam keistiqamahan
terhadap TuhanNya. Lalu apakah mahaluk yang bernama manusia itu mampu melakukan
yang demikian?, lagi-lagi hanya seujung kuku. Hanya satu diantara seribu, atau
bahkan satu diantara satu juta manusia yang istiqamah melangkahkan diri dengan
gagah di bawah PerintahNya. Namun Dia tak pernah pilih kasih dalam menyayangi
ciptaanNya.
Lalu aku
sendiri dibanding Si Menit dan Sang masa?
Seberapa
patuh diriku di jalanNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
Seberapa
takut atasNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
Seberapa
khauf kepadaNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
Seberapa
besar roja’ku terhadapNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
Sebarapa hubku teruntukNya dibanding Si
Menit dan Sang masa?
Seberapa
aku hanya bergantung kepadaNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
Seberapa
syukurku untukNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
“Huft”
Bunyi nafas yang dia hembuskan di tengah perenungan. ditengah hilir mudik
kisah-kisah yang dia lalui di usianya yang sudah di awali angka dua. Usia yang
bisa dikatakan acuan dikatakan dewasa.
“Tuk tuk
tuk” bunyi pena yang diadu dengan meja kayu yang menyanggah kedua suku dan
dagunya, matanya manap lurus kedepan kearah kebiruan tembok kamar dihadapannya
yang mulai menua dan menunjukkan warna kusam.
“Cinta,
Khauf, dan Roja’ terhadapMu, apakah aku sudah memliki kata itu?” Gumamnya.
Cinta
yang aku jalani terlampau tinggi mengalahkan kecintaanku terhadapMu, itu yang
aku rasa. Hal itu terbukti saat aku terbangun dan sebelum tidur wajah itu yang
mengisi imaji serta relung hatiku. Bagaimana tidak, dia begitu menentramkan
jiwaku, menyejukkan hatiku, mengokohkan langkahku. Lalu dimana aku posisikan
cinta terhadapMu jika demikian adanya?. aku ingin memilikinya, memiliki
cintaMu, cinta dimana kecintaan terhadapnya adalah refleksi dari kecintaan
terhadapMU. Karena walau bagaimanapun cinta itu adalah hak milikMu, yang jika
aku menggunakan tanpa izin dariMu itu sama saja aku adalah Flagiator, pengguna
tanpa izin Pemilik. Dan aku tau rasa cinta tanpa cintaMu pastilah berujung
perih, sesak, lara, gundah, gersang meskipun diawal begitu menentramkan dan
menyejukkan.
Aku Tau
takdirku atasMu, bahkan bertemu atau tidaknya aku nanti dengannya adalah
rahasiaMu. Lalu bagaimana jika benar yang aku takutkan selama ini terjadi?,
ketika orang lain yang Engkau takdirkan bersamanya. Tentu jika tanpa CintaMu,
aku terjatuh dalam lara yang teramat mendalam, dalam sesak yang merongrong
secuil imanku, dalam gersang yang menggerogoti takqwaku yang tak seberapa, dan
dalam gundah yang bisa saja aku melenakanMu?
Darimana
dan bagaimana cintaMu bisa aku raih?
Bisakah
CintaMu aku miliki?
Seberapa
susah syarat kepemilikan itu?
Bolehkah
aku memiliki cintaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
Sudikah
kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?
Khauf,
khaufku selama ini akan kematian, Ketika saat dua serambi dan dua bilik serasa
terbakar dan tertusuk jarum. Jelas tak menjadi bukti khaufanku terhadapMu,
terhadap takdir dan kuasaMu. hanya mata yang menunjukkan rasa panik, serta diri
yang terus tercekam ketakutan, ketakutan atas usia, atas diri yang belum saja
mampu mengkhaufkan diri kepadaMu.
Darimana
dan bagaimana khauf terhadapMu bisa aku raih?
Bisakah
Khauf terhadapMu aku miliki?
Seberapa
susah syarat kepemilikan itu?
Bolehkah
aku memiliki khauf kepadaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
Sudikah
kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?
Saat senja itu datang, saat harapku tertuju pada sesuatu
yang fana’, saat roja’ku terhadap ketidak abadian. sehingga segalanya begitu
mengerikan, ketakutan akan kefana’an begitu buas mencabik-cabik segala bentuk
keberanian yang ada dalam diri, melumat habis tak tersisa. Hingga harapan itu
menjadi boomerang bagi diriku sendiri bahkan iya aysik mengejekku saat tubuhku
lemah tiada berdaya. Yah, tanpa roja’ku terhadapMu harapan itu hanya sebatas
harapan palsu, semu bahkan hina.
Darimana dan bagaimana roja’ terhadapMu bisa aku raih?
Bisakah
roja’ terhadapMu aku miliki?
Seberapa
susah syarat kepemilikan itu?
Bolehkah
aku memiliki roja’ kepadaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
Sudikah
kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?
Wajahnya kini mulai beradu, keduamatanya bertemu dengan
lengan yang iya sokongkan diatas meja. Perenungan tiga kata yang belum
termiliki, termiliki olehnya. Oleh diri yang hakikatnya siapa saja
membutuhkanNya, siapa saja yang olehNya bisa tersenyum atau bahakn sebaliknya,
menangis.
Senyap, hanya terdengar ringkikan kecil yang dicipta olehnya,
oleh diri yang membutuhkan tiga kata, Hub, Khauf, dan Roja’. Semakin dalam,
dalam dan semakin larut dalam renung yang tak bisa lagi terdeskripsikan oleh
kata, kalimat atau syair sekaliapun. Terkecuali atas ridha dan kuasaNYA, Allah
SWT.
Wallahu A’lam Bishshowab
Fhaa_PrincessHaramain
::: Sorayaa Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb :::