Seorang laki-laki bersandal jepit tampak berlari-lari di
tengah hujan rintik. Langkahnya tegas dan cepat. Nafasnya terengah, kadang
langkahnya memelan, kadang cepat. Ia membawa plastik kresek hitam yang
sederhana di atas kepalanya. Tujuannya jelas: untuk melindungi kepalanya agar
tidak terkena hujan.
Seorang pengendara BMW lewat di sampingnya. Ia memelankan
laju mobilnya, kemudian memperhatikan lelaki bersandal jepit itu. Heran, ia
memutuskan untuk meminggirkan mobilnya dan berhenti. Untunglah saat itu hujan
rintik sehingga lalu lintas tampak lengang. Tampaknya lelaki bersandal jepit
itu paham bahwa BMW hitam mengkilat itu berhenti karena dirinya. Maka, ia pun
ikut berhenti.
Lelaki pengendara BMW membuka jendela mobil mewahnya dan
bertanya kepada lelaki bersandal jepit,
“Pak, Anda mau ke mana? Mari saya antarkan dengan mobil
saya!”, ia berteriak pelan.
Lelaki bersandal jepit itu bersyukur ada seorang yang begitu
baik padanya, pada dirinya yang hanya memakai sandal jepit itu. Namun, ia tidak
bisa menerimanya.
“Terima kasih banyak, pak. Tidak perlu. Saya ingin ke warteg
itu, ingin membeli makanan untuk istri saya yang tengah hamil. Wartegnya pun
sudah dekat, jadi saya tidak perlu menumpang”, tolak lelaki bersandal jepit
sambil tersenyum terengah.
Lelaki pengendara BMW terdiam mendengar penuturan tersebut.
Apa boleh buat, pertolongannya ditolak. Ia tidak bisa memaksa.
Maka, dengan perasaan menyesal ia pun pamit untuk pergi. Dan
sesaat kemudian, tempat pertemuan mereka berdua kembali sunyi, hanya ada rintik
hujan yang turun membasahi bumi. Sementara itu, lelaki bersandal jepit tadi
melanjutkan perjalanannya yang tidak seberapa jauhnya lagi.
Akhirnya, ia pun sampai ke warteg. Ia membuka sandal
jepitnya. Ah, tidak enak rasanya mengotori warteg yang bersih ini dengan sandal
kepitnya yang kotor terkena comberan air.
“Wah, hujan-hujanan pak? Mau beli apa?”, tukas petugas
warteg itu dengan tangkas, bersiap-siap mengambil bungkus nasi dan mulai
mengisinya dengan nasi.
“Nasi dua porsi ya, mas. Tambah dengan tempe orek dan telur
goreng. Ah, yang satu tolong telur goreng nya dua ya. Untuk istri, hehe..Dia
sedang hamil, mas”, lelaki bersandal jepit tadi tersenyum girang,
terkekeh-kekeh.
“Wah, selamat mas! Siap mas, tunggu sebentar”, kata petugas
warteg tadi. Tidak lama kemudian, pesanan tersebut jadi. “Ini pesanannya, mas.
Nggak mau berteduh dulu? Di luar masih hujan, mas”
“Terima kasih, mas. Tidak perlu, ini hanya gerimis, kok.
Istri saya menunggu di rumah, hehe”, lelaki bersandal jepit itu bersemangat
kembali. Ia memakai sandal jepit nya dan mulai menapaki bekas comberan-comberan
air yang ada di jalanan. Sekali lagi, ia menyusuri jalanan dengan
berjingkat-jingkat. Kali ini, plastik kresek hitam yang ada di kepalanya sudah
tidak ada. Plastik itu ia gunakan untuk membungkus makanan yang ia beli dari
warteg.
Ia takut membasahi makanan istrinya. Ia tidak sudi dengan
hal itu. Biarlah kepalanya terkena air hujan sedikit asalkan air hujan tidak
menembus makanan sederhana yang dibeli untuk istrinya.
Tak lama, ia kembali ke rumah. Ia mengetuk pintu dan
mengucapkan salam. Sang istri yang kita bicarakan di kisah ini akhirnya muncul.
Kandungannya sudah membesar, membuatnya sulit berjalan. Matanya tampak berbinar
melihat suaminya telah datang. Kepala dan wajah lelaki bersandal jepit itu
basah, kaus putih tipisnya pun lembab karena terkena hujan. Nafasnya sedikit
terengah-engah. Apalagi ia melihat ada dua bungkusan di tangan suaminya,
matanya kian berbinar.
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, selamat datang, mas. Saya
bikinkan mas teh hangat ya, mas pasti kedinginan”. Sang istri pun memeluk
suaminya.
Tubuh lelaki bersandal jepit bergetar, darahnya berdesir.
Lelahnya tiba-tiba hilang, berganti api semangat yang tak bisa ia jelaskan. Ia
pun masuk rumah setelah menanggalkan sandal jepitnya di depan pintu. Dari
mulutnya bergumam rasa syukur kepada Allah telah menganugerahinya istri yang
solehah. Ia telah berusaha mengamalkan ajaran nafkah dalam Islam.
Untuk lelaki seperti inilah, Abi dan Ummi, Allah akan
memberikan rahmat-Nya yang begitu besar.
Untuk lelaki yang bekerja keras menafkahi istri dan
anak-anaknya inilah, wahai Abi dan Ummi, Allah akan memberikan pahala yang
besar.
Bukan masalah sandal jepitnya. Bukan masalah apa
pekerjaannya. Yang penting adalah semangatnya dalam mencari nafkah dan
ikhtiarnya dalam menafkahi istri dan anaknya. Itulah yang penting, yang dinilai
oleh Allah. Inilah ajaran yang begitu unik dan agung, ajaran nafkah dalam Islam
yang dibebankan kepada para suami.
Bagi dia lah sabda Rasulullah berikut, ‘’Dan mereka (para
istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas
kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
Dan bagi mereka para suami yang telah bekerja keras, untuk
mereka lah pahala yang dijanjikan Rasulullah dalam hadis berikut,
“Sesungguhnya, sebesar apapun nafkah yang engkau keluarkan atas keluargamu,
maka engkau diberi pahala (atas hal itu), sekali pun sesuap yang engkau sodorkan
ke mulut isterimu.” (HR.al-Bukhari).
Demi Allah, bagi mereka yang berusaha memenuhi ajaran nafkah
dalam Islam, adalah pahala tanpa batas!
“Sesungguhnya hanya orang –orang yang bersabarlah yang di
cukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)