Malam baru mulai memasuki sepertiga bagiannya yang terakhir,
seorang lelaki termenung di dalam khalwatnya kepada Allah Ta’ala, sebagian hati
dan pikirannya berkecamuk, ucapan tahmid tak henti-hentinya terlafadzkan oleh
lisannya, tak terasa ada butiran air yang hangat menetes dari matanya, sungguh
ini air mata bahagia.
Dipalingkannya wajahnya kesamping dan menatap wajah istrinya
yang sedang terlelap tidur, sungguh wajah yang damai dan paras terindah yang
pernah ia temui di dalam hidupnya, diperhatikannya dengan seksama dan pandangan
kagum terhadap istrinya, ada suatu hal yang seakan menyesakkan dadanya, suatu
ungkapan haru yang teramat dalam, dan berusaha ia untuk semampu mungkin menahan
linangan air mata bahagia itu, namun lelaki itu tak mampu dan ia memutuskan
untuk mengambil air wudhu demi menghadap ke hadapan Rabb-nya.
Di penghujung malam dalam dzikirnya terngiang kembali ucapan
tulus dari istrinya yang tak pernah ia duga sebelumnya, “Abi,…. kalau abi ingin
menikah lagi ana ridho demi mendapatkan ridho Allah Ta’ala!. Subhanallah, tidak
pernah terlintas sama sekali dalam hati lelaki itu untuk ingin menikah lagi,
juga tak pernah ia meminta istrinya untuk mau dimadu, selama ini pernikahannya
yang telah berjalan delapan tahun dipenuhi keindahan dan barokah dari Allah
Ta’ala.
Bagaimana tidak, ia telah menikahi wanita yang sholihah,
cantik, terpelihara nasabnya dan telah memberikannya keturunan yang sholihah
serta menghiasi pandangan matanya setiap hari di rumahnya. Tak pernah ia
merasakan ada yang kurang dalam rumah tangganya walaupun mereka tidak memiliki
harta yang melimpah, namun keluarganya adalah salah satu harta terbesar yang ia
miliki, cintanya selalu bersemi setiap ia memandang istrinya, karena itulah dia
tak ingin membagi keindahan itu, karena ia tidak yakin akan mampu berbuat adil.
Di dalam hatinya tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang akan mampu
menandingi cintanya kepada istrinya…
Hingga datangnya saat itu… kemarin hatinya begitu tersentuh
dan terharu demi mendengar ucapan tulus istrinya, “Selama ini engkau telah
memberikan kasing sayang yang banyak kepada kami, setiap apa yang aku inginkan,
maka engkau berusaha untuk memenuhinya dengan segala kemampuan yang engkau
miliki. Betapa aku telah merasakan keindahan yang besar dengan menjadi istrimu,
lalu kenapa aku harus berbuat egois untuk menguasai semuanya itu?”
“Allah Ta’ala Maha Pengasih, maka aku ridho karena Allah
Ta’ala jika engkau ingin menikah lagi sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’ala
tetapkan dalam firman-Nya.”
Selama ini pernikahannya memang merupakan keindahan yang
berkelanjutan, sehingga ia merasa bahwa rumahnya adalah surganya, ia hanya
terdiam demi mendengar perkataan istrinya, lidahnya tercekat dan hatinya
bergejolak, ia sangat terharu mengetahui sebuah keikhlasan yang jujur dan tulus
tanpa ada paksaan siapapun, didasari kecintaan kepada Allah Ta’ala, keinginan
untuk mendapatkan yang terbaik dalam rumah tangganya, dan juga didasari
kesadaran yang penuh akan kodratnya sebagai wanita yang sholihah.
Terlintas kembali ucapan istrinya, “Walaupun kelak aku hanya
menjadi satu-satunya istri dalam hidupmu, namun jika aku tidak menerima hukum
Allah Ta’ala bahwa engkau memiliki hak untuk menikahi wanita selain aku, maka
aku telah mengingkari Al-Qur’an dan durhaka kepada Allah Ta’ala, wahai suamiku,
seorang laki-laki diciptakan memiliki kelebihan dibanding wanita, maka aku
merelakan apa yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk kami kaum wanita, semoga
Allah Ta’ala ridho kepadaku.”
“Maka keputusannya ada di tanganmu, bukannya aku tidak
mencintaimu, sungguh engkau adalah lelaki terbaik yang pernah aku temui, engkau
selalu memenuhi kebutuhanku semampumu, jika engkau marah, hal itu semata karena
kesalahanku, tidaklah engkau pernah berbuat dholim kepada kami sitri dan
anakmu, jika engkau telah berbuat adil kepada kami, maka kenapa aku harus
menahan apa yang menjadi hak yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadamu? Jika
aku menahannya maka aku telah menolak keputusan Allah dan tidak adil kepadamu!”
“Wahai suamiku, wanita mana yang tidak memiliki kecemburuan
dalam hatinya, wanita mana yang tidak cemburu kepada lelaki sebaik engkau,
namun aku ridho kepada apa yang Allah Ta’ala ridho kepadanya, aku akan mengatur
kecemburuanku agar berbuah menjadi kebaikan di hadapan Allah Ta’ala dan kemudian
menjadi kebaikan di matamu, wahai suamiku, aku tidak memaksamu untuk menikah
lagi, namun ketahuilah bahwa aku telah ridho jika engkau ingin menikah lagi.”
Lelaki itu kembali tercenung… tetesan air mata telah mulai
mengering, hatinya berbunga-bunga demi mengetahui istrinya telah memahami semua
nasihat yang ia berikan selama ini, buah dari ketekunan dalam menuntut ilmu dan
meluangkan waktu untuk mendatangi ta’lim di mana diajarkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sama sekali tak pernah ia menyinggung hal itu
sebelumnya, namun ucapan istrinya telah menyadarkan hatinya, bahwa ia harus
semakin rajin untuk belajar ilmu agama sebaik-baiknya, melaksanakan perintah
Allah Ta’ala dan meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia
ingin selalu didampingi oleh istrinya hingga ke akhirnya, hingga ke jannah
kelak insya Allah.
Terucap pula oleh lisan istrinya ,”Wahai suamiku, sungguh
aku sangat merindukan jannah Allah Ta’ala, dan aku ingin meraihnya bersamamu,
aku pun ingin selalu bisa mendampingimu selama yang aku mampu, hingga ke jannah
kelak insya Allah, aku selalu ingin berada dalam lembutnya labuhan kasih
sayangmu. Wahai suamiku, engkau adalah pemimpinku, maka bimbinglah diri ini
untuk selalu berada di atas jalan yang benar yang diridhoi Allah Ta’ala dan
sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terpelesetnya dirimu
adalah bencana bagiku, maka aku selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala agar
memberikan kita jalan yang lurus!”
Lisan lelaki itu tercekat, ia berusaha untuk menahan
keharuan air matanya dan agar selalu tampak tegar di hadapan istri tercintanya
itu, sungguh Allah Ta’ala telah memberikan karunia yang demikian besar dengan
menjadikan ia suami dari seorang wanita yang bertaqwa, kembali ia memandang
wajah anak-anaknya, hatinya berguman, “Wahai anakku! Sungguh kalian beruntung
tumbuh dalam asuhan seorang ibu yang sholihah!”
Malam itu menjelang waktu subuh! Lelaki itu bangkit untuk
menunaikan kewajiban sholat subuh, di dalam hatinya ada tekad untuk menjadi
suami dan kepala rumah tangga yang terbaik bagi istri dan anak-anaknya, semoga
Allah Ta’ala memberikan kemampuan kepadanya, sungguh mengarungi kehidupan dunia
yang penuh cobaan ini tidaklah mudah, sebelum berangkat menuju masjid
dibelainya kepala istrinya, dalam hati ia berkata,”Wahai istriku, engkau telah
memiliki memahami agama ini semakin baik, aku tidak akan mau kalah darimu, aku
akan semakin rajin untuk menuntut ilmu agama lebih baik lagi. Engkau telah
ridho memberikan aku kesempatan untuk menikah lagi, namun ketahuilah, bahwa aku
merasa belum mampu untuk menduakan cintamu, entah kelak! Namun kini satu hal
yang aku tahu pasti, bahwa aku telah begitu beruntung memilikimu sebagai
istriku. Maafkan aku istriku, aku belum mampu mewujudkan keinginanmu!”
Adzan subuh telah memanggil, saatnya bagi kaum muslimin yang
beriman kepada Allah Ta’ala dan Hari Akhir untuk menunaikan sholat subuh dengan
berjamaah, wahai para suami, sibakkanlah selimut tebalmu dan bangunlah dari
buaian mimpi menuju perintah Rabb-mu, wahai para istri, sertai dan jagalah
suami kalian agar senantiasa selalu berada dalam keta’atan kepada Allah Ta’ala.
Aku berdo’a agar Allah Ta’ala mempertemukan aku, istriku, anak-anakku beserta
keluargaku bersama kalian para kaum muslimin kelak di jannah-Nya, Amiin.
Oleh Andi Abu Najwa