Ibu, Aku Rindu Kepadamu

Aku berlari, terbirit, mendengar suara adzan itu. Bukan karena aku ingin cepat- cepat sholat. Berlariku karena ingin bersembunyi dari pengurus pondok yang sedang gerilya memaksa para santri untuk segera berwudhu lalu sholat.
“Dul...!” panggil salah seorang pengurus kepadaku.
Ya!!! Itulah panggilanku. Sedangkan nama lengkapku adalah “Muhammad Abdullah”. Aku berlari lebih kencang lagi. Tapi pengurus itu lebih cepat. Nahas, aku tertangkap.

“Dul... Dul...! kamu ini setiap dengar adzan kok selalu melarikan diri.
Memangnya kamu ini manusia atau syetan?. Kok dengar adzan langsung lari” tegurnya.
“Mungkin saya ini syetan yang berwujud manusia kang” Jawabku enteng. Tiba-tiba kyai datang. Kami berdua membeku.
“Ada apa ini, ribut – ribut?” tanya kyai.
“Ini lho kyai. Dul itu kalau dengar adzan selalu bersembunyi, lari, tidak mau sholat!” sahut pengurus.
“oh... Mungkin dia belum tahu apa pentingnya sholat itu dan apa akibat dari tidak malakukan sholat itu. aku yakin suatu saat pasti dia akan sadar dengan sendirinya” kata kyai. “Ayo kita sholat” Ajak Kyai.

Pengurus pun langsung mengikuti kyai. Sedangkan aku bimbang. Kalimat kyai yang terakhir itu membekas dalam benakku. Aku pergi. Ajakan kyai tak ku hiraukan.
Dalam kesendirian lamun, tiba-tiba terbesit hasrat ingin pulang. Seperti ada yang memanggil-manggil dari kejauhan rumah di luar kota. Rasanya, seolah aku semakin didesak perasaan tak tentu, untuk benar-benar tidak bisa melawan rasa ingin pulangku. Mungkin karena peristiwa kemarin. Jelasnya aku kacau setelah kejadian kepergok kiaiku kemarin. Kupikir, dengan bertemu keluarga, mungkin aku bisa tenang.

*****

Aku sudah hampir sampai di rumah. Pikiranku tak menentu.
“Benarkah syetan sepertiku ini bisa sadar???” Batinku.
Sesampai di depan rumah, aku melihat bendera kuning berkibar di depan rumahku. Aku kaget. Aku berlari ke dalam rumah. Aku melihat kakak dan adikku berada di tengah kerumun orang-orang yang keras-keras membaca surat yasin. Aku merinding. Pikiranku kosong. Aku mendekati kakakku.
“Siapa yang meninggal kak?” Tanyaku gelisah. 
Jelasnya aku takut jika itu orang yang paling ku sayangi. Takut jika ibu yang memberiku kasih sayanglah yang meninggalkan dunia fana ini.
“Kamu yang sabar ya Dul!!! Ibu kita yang meninggal” kata kakakku terbata-bata.
Juueeddeerr!!! Seakan halilintar masuk ke dalam tubuhku.. 
Melemaskan sendi-sendiku. Menghancurkan hatiku. Membuat serasa kiamat lebih baik daripada mendengar berita ini. Tak terasa butiran-butiran air mata mengalir deras dari kedua mataku.
“Tenanglah Dul!!! Insya Allah ibu kita meninggal dalam keadaan mulia. Dia meninggal saat tahiyyat akhir ketika sholat. Insya Allah dia berada di surga menunggu kita” kata kakakku menenangkan. “Ibu juga berpesan, jangan kalian tinggalkan sholat karena sholat itu tiang agama” Tambahnya.
Rasa sedih, bangga, takut dan gembira bercampur menjadi satu dalam hatiku.

*****

Waktu berjalan seperti biasa. Nasihat ibuku yang terakhir sudah bisa membuatku sholat walaupun masih banyak yang bolong. Tubuh syetan mungkin masih berada dalam tubuhku. Sehingga hanya nasihat ibuku yang bisa mengetuk hatiku untuk sholat.
Ketika aku mendengar mimpi kakak dan adikku yang menceritakan pertemuan mereka dengan ibu kami. Aku iri kepada mereka.
“Mengapa hanya aku yang tidak bermimpi???” Batinku.
Aku semakin iri karena mereka bermimpi bertemu ibu setiap hari. “Mengapa aku tak bermimpi seperti kakak dan adikku, ya Allah???” ucapku saat berdoa setelah sholat maghrib.

Setalah sholat shubuh adikku menoleh kepadaku. “Kak, Dul, semalam aku bermimpi bertemu dengan ibu. Kata ibu sebenarnya ibu itu ingin bertemu dengan kak dul. Tapi seakan malaikat yang mengawal ibu selalu tak mengizinkannya. Kata malaikat itu, tidak mungkin orang sebersih ibu itu bertemu dengan orang sekotor Kak Dul.
Ibu juga berpesan supaya Kak Dul menjadi manusia yang mau membersihkan diri dari kotoran yang
ada pada diri Kak Dul” katanya polos.
DEG!!! Sekotor itukah aku di hadapanmu

Ya Allah?. Sampai tak kau izinkan orang tuaku menemuiku. Aku menangis. Hatiku dirundung rindu tiada tara pada ibuku. Aku ingin bertaubat. Aku ingin bertemu ibuku. Tapi apakah aku bisa membersihkan semua kotoran yang ada pada diriku.
“Tenanglah dik Dul. Turuti kehendak ibu. Bersihkan kotoran itu. kakak yakin kau bisa. Ingatlah bahwa Allah SWT itu maha luas pintu taubatnya. Selagi Pintu itu belum tertutup masuklah terlebih dahulu sebelum engkau menyesal di kemudian hari ” kata kakakku menguatkan.

Ya! Aku ingin bangkit, tunggu aku di surga, ibu. I miss you. Aku benar-benar bertaubat, akupun selalu berjamaah di masjid. Aku sekarang rajin dan saleh. Tapi aku belum juga bertemu dengan ibuku. “Apakah taubatku belum diterima?”, batinku suatu hari.

Sudah beberapa hari aku sakit. Entah sakit apa. Kata dokter, sakit di kepala bagian belakang. Namun saat aku bertanya apa jenis atau nama penyakit itu, dokter tidak memberitahu. Tapi aku tak menghiraukan itu. sakit, sakitlah. Ini nikmat. Bahkan mati, matilah aku. Agar aku lekas-lekas bertemu ibu.
Dokter melarangku beraktifitas di luar rumah. Agar kondisiku tidak memburuk.
Ah, aku semakin curiga bahwa aku berpenyakit gawat. Tapi aku sudah terlanjur mendawamkan jamaah ke masjid. Rasanya nggoheman kalau harus berhenti hanya karena aku takut jatuh sakit. Seolah sakit itu buatan dokter. Seolah Allahnya orang yang sakit dengan Allahnya orang yang berjamaah itu tidak sama?

Apapun terjadi, nyatanya rasa rindu kepada ibu mengalahkan segalanya. Aku tetap berjamaah di masjid. Meski kuakui sangat berat. Sering, rasanya kepalaku pusing sekali. Akupun tetap pergi ke masjid untuk jamaah sholat isya. Setelah salam, kepalaku bertambah pusing. Dan, tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku seperti di bawa ke negeri yang aku tak pernah melihatnya. Di sana indah sekali. Dan aku melihat ibu telah menunggu di sana. Aku bahagia sekali bisa bertemu ibuku kembali.

“Temani ibu di sini, dul. Ibu akan menunggumu”. Suara ibu terdengar samar, lalu perlahan menghilang. Lalu ketika kubuka mataku, tiba-tiba aku sudah berada di ruangan serba putih.
Aku melihat kakakku. “Aku di mana, kak?” tanyaku lirih.
“Kamu di rumah sakit, Dul?” balas kakakku.
“Sudah berapa lama aku di sini?” tanyaku lagi. aku takut meninggalkan sholat lagi.

Engkau baru semalam di sini. Engkau pingsan sejak setelah isya sampai jam delapan pagi baru sadar. “ Jawab kakakku.
“Apa? Kalau begitu aku belum sholat isya dan subuh?” tanyaku, mesti sebenarnya itu bukan pertanyaan.
“Iya. Nanti saja diqodho kalau kondisimusudah membaik, sudah sehat.” Bujuk kakakku.
“Nggak, kak. aku ingin sholat. Selagi aku masih bernyawa, aku tidak boleh menunda sholat. Tolong antarkan aku untuk berwudhu”. Pintaku kepada kakakku.

Kakak melarangku. Namun aku tetap bersikeras untuk sholat. “Aku ingin bertemu ibu”. Begitu, gertakku kepada kakak.
Kakak kalah. Suka atau tidak suka, sedih atau tidak sedih, dia menuruti kemauanku. Aku berwudhu, lalu sholat. Sebelum sholat kukatakan kepada semuanya, bahwa aku pasti bisa bertemu dengan ibuku. 

Mereka mengantarku ke rekaat pertama dengan air mata melinang yang mereka berusaha sembunyikan. Aku melihat itu, jelas. Aku sholat dalam keadaan duduk. Seperti biasa gerakan-gerakan, kutahapi satu persatu. Tentu dengan sangat berat.
Memang aku belum khusyu, sehingga rasa sakit di kepala dan sekujur tubuhku masih terasa. Aku belum bisa seperti sayyidina Umar yang ketika sholat ditusuk namun tidak terasa apa-apa.
Namun, apapun, aku sudah berusaha sholat, setidaknya. Aku menikmati sholat dalam lara, dalam nyeri. Hingga ketika tahiyyat akhir, nafasku tiba-tiba sesak. Kepalaku pusing. Badanku lemas. Aku melihat nyawaku perlahan-lahan keluar dari tubuhku. Hingga akhirnya tubuhku tergeletak begitu saja.

Inna Lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Orang-orang menangis. aku meninggal.
Di tahiyyat terakhir itu, seperti tahiyyat milik ibu.
Semoga engkau bahagia bersama dengan ibu wahai adikku. Kata kakakku lirih, di samping telinga mayitku, sebelum aku dimasukkan ke dalam keranda.
“Aku bangga padamu”, tambahnya.
Kata-kata terakhir itu, yang kuingat hingga saat ini, di sini.



::: Sorayaa Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb :::