Jejak Sang Syuhada di Bumi Tareem, Hadhramaut


Sederhana, mungkin itulah ungkapan yang pas mendekripsikan bagaimana Tarim. Anda jangan pernah membayangkan Tarim sebagai sebuah kota metropolitan yang jalanannya macet, lalu lintasnya ramai dengan klakson kendaraan, gedung pencakar langit di sana-sini, serta jenis kemewahan lainnya. Tarim tidak seperti Kairo, Dhoha, atau Sana’a. Ia hanyalah kota mungil, berpenduduk sekitar seratus ribu jiwa.

Di kota asal muasal kakek moyang Wali Songo ini, pemukiman penduduk masih didominasi oleh rumah-rumah yang terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Banyak rumah yang jika dilihat dari luar, konstruksi bangunannya nyaris seperti tembok lapuk yang hampir roboh.Suasananya klasik, dan diantara rumah tanah itu ada yang berusia tiga abad.

Tarim bercurah hujan rendah, tapi beraura teduh. Kebutuhan air tercukupi dengan banyak pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Mata pencaharian penduduknya didominasi dengan bercocom tanam di kebun kurma, menggembala ternak, dan perajin pengeringan tanah bangunan.Tarim relatif aman, meski Arab Spring melanda dan meruntuhkan rezim Ali Abdullah Shaleh tahun 2011.

Jalan di TarimTarim pernah dinobatkan ISISCO sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam 2010 lantaranmenyimpan jutaan sejarah. Mulai dari masjid-masjid tua, madrasah, ulama, aktivitas ilmiah, dan situs-situs peradaban Islam. Diantaranya situs bersejarah yang tak pernah dilewatkan oleh para peziarah adalah ; pemakaman para wali dan shalihin, serta jejak-jejak peninggalan sahabat Nabi Saw.
Berziarah ke Pemakaman Zanbal

Bisa menempuh perkuliahan di Tarim, adalah salah satu anugerah besar yang saya rasakan. Selain bisa menggali ilmu dari para ulama dan habaib di bangku kuliah dan halaqah-halaqah keilmuan, kota ini juga memberikan saya kesempatan untuk menambah wawasan dengan khazanah dan objek wisata bersejarahnya.

Menurut catatan sejarah, Rasulullah mengutus sahabatnya Ziyad bin Labid al-Anshori sebagai gubernur di Hadhramaut, sekitar tahun 10 Hijriah. Saat itu, Ziyad memusatkan pemerintahannya di Kota Tarim dan Syibam. Termasuk aktivitasnya menyebarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat.

Selepas wafatnya Rasul, Khalifah pertama umat Islam, Abu Bakar as-Shiddiq memberikan instruksi kepada seluruh wilayah kekuasaan Islam, tak terkecuali Hadhramaut, untuk melaksanakan baiat atas kepemimpinannya. Namun tak sedikit yang membangkang instruksi sang khalifah. Fenomena pemurtadan (riddah) juga terjadi di Hadhramaut. Namun saat itu, rakyat Tarim justru termasuk diantara yang pertama menyatakan kesetiaannya terhadap khalifah Abu Bakar, bahkan turut berjuang memberantas para pembangkang.

Para sahabat Nabi yang gugur sebagai syuhada’ dalam peperangan tersebut dimakamkan di dalam area pemakaman Zanbal – yang merupakan pemakaman para Saadah al-Asyraf dari Bani Alawiyyin, Ulama, dan Auliya’ Shalihin. Area makam Sahabat berdekatan dengan Qubah Syaikh Abu Bakar Ba Syumailah. Kini, area pemakaman sahabat tersebut hanya dipagari dengan pagar besi dengan tanpa pernak-pernik ornament apapun.

Data lengkap nama para Sahabat, dituliskan secara detail oleh al-Imam Sayyid Salim bin Jindan dalam kitabnya yang berjudul “Naqsyu at-Tabut fii Man Dufinuu Min as-Shohabah bi Wadhi Hadhramaut”. Sayangnya, kitab tersebut hingga kini masih berupa manuskrip, sehingga sulit untuk didapat.

Ziarah Ke Makam Abbad bin Bisyir al-Anshori
Lokasi makam Abbad bin Bisyir tertelak di desa Lisiq, sekitar 30 km timur Tarim, ditempuh selama setengah jam perjalanan. Warga Tarim memiliki jadwal rutinmenziarahi makam Abbad bin Bisyir, yaitu di bulan Muharram. Di acara yang ramai peziarah tersebut, para masyayikh membacakan biografi beliau.

Abbad adalah salah seorang sahabat Anshor yang kisahnya cukup populer di literatur Kitab Siroh ketika melindungi Rasul yang berlindung di gua seusai perang Dzatur Riqa’. Diriwayatkan bahwa di tengah malam saat berjaga, Abbad melaksanakan shalat malam. Syahdan, seorang musyrik mengintai gerak-geriknya saat shalat dan berhasil meluncurkan beberapa busur panah di tubuh beliau. Ajaib, Abbad tetap kuat menahan dan melanjutkan shalatnya hingga usai.

Menuju ke lokasi makam Abbad bin Bisyir, hamparan pasir dan batu-batu terjal terhampar sejauh mata memandang. Di sepanjang jalan, banyak kami dapati penduduk asli Yaman sedang menuntun unta dan kambing ternak untuk dibawa ke tempat sumber-sumber air di tengah padang pasir. Terik matahari yang cukup menyilaukan mata serta situasi sepanjang jalan yang jarang dijumpai rumah penduduk kecuali hanya segelintir, ditambah kondisi jalan yang terjal serta meliuk-liuk, membuat kami harus semakin berhati-hati. Tak jarang sesekali kami istirahat untuk sekedar meneguk air mineral.

Setelah sampai di lokasi, ternyata kami belum bisa tersenyum lega. “Lokasi makamnya di atas bukit itu,” ujar seorang warga saat kami tanyai lokasi makam, sambil menunjuk ke arah bukit batu terjal yang meliputi desa Lisiq.

Ya, kawasan Hadramaut khususnya daerah Tarim, Seiwun dan sekitarnya memang kawasan lembah dataran rendah yang diliputi bukit serta gunung berbatu. Mau tidak mau kami pun harus mendaki bukit batu tersebut dengan berjalan kaki. Dan Alhamdulillah, setelah berjalan dengan sedikit ngos-ngosan mendaki bukit setinggi kurang lebih 400 meter, kami akhirnya sampai di makam tersebut.

Makam Abbad bin Bisyir sangat sederhana karena hanya dibangun dari nisan putih biasa. Yang membuat saya penasaran, mengapa letak makam yang berada di puncak bukit? Tetapi saya juga sedikit terhibur, karena dari puncak bukit itulah saya bisa menyaksikan panorama keindahan Kota Tarim dan sekitarnya yang bertabur menara khas arsitektur Timur Tengah dan gedung perumahan penduduk yang tertata rapi.

Selepas ziarah, kami menunaikan shalat Dzuhur di masjid Abbad bin Bisyir, yang dibangun di bawah bukit di pemukiman penduduk Desa Lasiq. Setelah itu, untuk melepas lelah setelah berziarah, berwisata kuliner di sejumlah bufiah (cafe) di kota ini juga menjadi pilihan mengasyikkan.

Untuk sekedar melepas dahaga, menu ashir musyakkal termasuk salah satu minuman khas favorit di negeri Yaman. Ashir musyakkal adalah sejenis minuman krim kental yang dijus, terbuat dari campuran sari mangga, susu, serta taburan gula rebus cair. Musyakkal biasa disajikan secara dingin, berdampingan dengan sepiring syibis, yaitu kentang goreng yang diiris kecil-kecil bertabur merica hitam. Segelas musyakkal dibanderol dengan harga 100 Riyal Yaman (sekitar 5 Ribu Rupiah), dan sepiring syibis seharga 50 Riyal. Atau jika Anda ingin minuman berselera rasa masam sejenis tape, dengan harga yang sama, bisa mencoba segelas ahshir Ref yang terbuat dari Yoghurt. Dengan menu-menu tadi, berkah ziarah semakin lebih terasa. Alhamdulillah 😀 (Dzul Fahmi/LiputanIslam.com)


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah wal Qanun, Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Rais Tanfidziyah PCINU Yaman.