"Kuanggap
itu takdir. Aku tak bisa tafsirkan lebih dari itu. Aku bahkan tak mampu berlama-lama
memandangnya," bisikku dalam hati saat kulihat Pak Sarmin terusir dari
lapak korannya beberapa bulan lalu. Dia berjalan tertatih-tatih sambil
menggendong barang dagangannya.
Sewa
bulanannya menunggak 5 bulan hingga membuatnya terusir. Tiap hari dikejar-kejar
penagih hutang. Dua cucunya kini tak lagi mempunyai ayah. Sehingga kakek
berusia 62 tahun ini harus bekerja keras menghidupi anak dan cucunya.
Penderitaannya seolah tiada akhir. Belum genap tiga bulan istrinya meninggal,
anak lelaki harapan satu-satunya pun meninggal karena kecelakaan.
Siang
itu, kulihat Pak Sarmin duduk di pinggir jalan, lemas terkulai lesu. Tumpukan
koran, majalah, buku, dan barang-barang bekas seperti baju, sepatu, dan mainan
anak semuanya basah diguyur hujan. Pak Sarmin kalah cepat daripada hujan deras
yang turun tiba-tiba siang itu. Aku lihat dia sedang bingung, sebab kini tempat
jualan barunya itu tak ada atap, tiada dinding, hanya beralaskan meja reot
miring bergoyang di tepi jalan yang bising dan tak ramah.
Aku
tak berani keluar dari dalam mobil. Aku tak punya nyali untuk sekadar,
"Say hello" kepadanya. Aku tak sanggup menemuinya dalam keadaan
seperti itu. Hingga akhirnya di sore hari, kuusahakan untuk menemuinya dengan
mengendarai motor bututku.
"Nggak
perlu kasih hadiah buku dulu. Nanti saja! Saya belum punya tempat," sambut
Pak Sarmin sambil tertawa menghampiriku.
Seperti
biasa, dia menyambut kedatanganku dengan gembira, menutupi derita yang selama
ini datang mendera.
Biasanya,
aku datang membawa buku-buku, pakaian dan barang-barang bekas sebagai hadiah
untuknya. Namun kali ini, aku tak membawa barang-barang seperti itu, aku hanya
rindu obrolan dan nasehatnya sambil mencari cara agar kakek ini punya tempat
yang layak untuk berjualan.
Pak
Sarmin selalu berusaha menutupi kesedihannya. Padahal, tiga jam sebelumnya,
saat aku melewati jalan itu, mengintip dirinya dari balik kaca mobil, jelas
sekali kulihat dia sedang melamun di belakang meja dengan sorot mata kosong.
Tetapi, kali ini kulihat wajahnya dibuat seolah lagi senang.
Setelah
kupesan kopi hitam dari warung sebelah, aku berusaha untuk mengajaknya mencari
kios yang disewakan. Tapi, jawabannya sungguh mengejutkan.
"Sudahlah,
Pak. Biarkan ini berjalan alami saja. Saya bisa bertahan hidup seperti ini.
Nanti kalau sudah waktunya, pasti saya bisa sewa kios lagi," ucapnya
dengan nada menolak.
Aku
bersedia membantunya untuk mencari modal awal dari sejumlah kawan. Lalu aku
juga berusaha menjelaskan tentang beberapa model bisnis yang mudah buat orang
seusianya, namun berkali-kali dia berusaha untuk menolak dengan caranya.
"Saya
tahu, Bapak lagi banyak kebutuhan. Bapak punya anak-anak kecil, perlu banyak
biaya sekolah dan makan harian. Itu amanat lebih besar. Amanat saya lebih kecil
daripada amanat di pundak Bapak," kata Pak Sarmin pelan.
Aku
diam. Bingung harus bilang apa. Orang ini sangat tegar. Ini di luar nalar
sehatku. Apa yang kuanggap sebagai penderitaan besar, tapi bagi dia hal sepele.
"Bapak
nggak usah lihat keadaan saya seperti ini. Saya ikhlas. Masalah saya
biasa-biasa saja. Kehujanan ya basah. Di bawah terik matahari ya panas. Nggak
bayar sewa ya diusir. Hahaha. Itu kan hukum alam. Sunnatullah," katanya
sambil tertawa-tawa kecil.
"Ini
nggak akan lama. Insya Allah, pasti nanti ada jalan. Allah bisa saja bagi saya
kios besok, minggu depan atau bulan depan," katanya lagi. Seolah-olah posisi
dialog menjadi terbalik. Aku yang diberi nasehat dan aku yang seolah lebih
menderita dari dirinya. Sejak tadi, Pak Sarmin menutup peluangku untuk
menjelaskan rencana bantuan.
Nasib
ternyata bukan melulu urusan takdir. Sebab, takdir adalah takaran, ukuran atau
kadar penerimaan kita terhadap ketentuan Allah. Nasib bisa berubah tergantung
kadar penerimaan kita dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Pak Sarmin
selalu punya harapan dan harapan. Dia tak mau menyerah pada keadaan yang sedang
dihadapinya.
Selamat
berjuang Pak Sarmin. Semoga kau cepat dapat kios baru. Aku akan cari cara lain
untuk membantumu. Terima kasih atas nasehatmu.
Semoga
bermanfaat.
Ciputat,
20 Oktober 2016
Halim
Ambiya