Habib
Ali Al-jufri berkisah tentang Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW
Wafatnya
Adalah Kehidupan Sejatinya
Wahai,bagaimana
hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW?
Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan beliau ? Bagaimana kita tidak dapat
melupakan perintah untuk mencintai beliau? Bagaimana hati kita tidak terikat
untuk senantiasa merindukan beliau? Bagaimana hati kita tidak tesentuh kala
pribadi beliau diperdengarkan?
Dalam haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah
SAW berkhutbah di hadapan sekitar 120.000 orang, “Wahai manusia,dengar dan
perhatikanlah,sesungguhnya aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas
tahun ini.”
Semuanya
terdiam, sambil terus mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah SAW.
Beliau menasehati dan berwasiat kapada mereka tentang keterikatan mereka dengan
Tuhan dan agama mereka.Ketika itu Allah menurunkan ayat.”Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian,Aku sempurnakan nikmat-Ku atas
kalian,dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”
Allah
menghidupkan makna kehidupan yang dahsyat di tengah-tengah mereka,dalam suasana
perpisahan dengan Rasulullah SAW.Saat itu, perpisahan dengan beliau adalah
sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu.Kemudian Rasulullah SAW pun
pulang ke kota Madinah.
Bulan
Rabi’ul Awwal tiba.
Di
awal bulan itu,tubuh Rasulullah SAW terasa lemah.Beliau terserang sakit
demam.Tubuhnya pun disirami air sejuk.Beliau bersabda, “Siramilah aku denagn
air supaya aku dapat keluar untuk mengucapkan salam perpisahan dengan para
sahabatku.” Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih
segar.
Sahabat Teragung
Kemudian
beliau keluar rumah,melangkahkan kakinya dengan diiringi kedua sepupunya,Ali
bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas,radhiyallahu’anhuma.
Beliau
menemui para sahabat.
Saat
melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka,tampak betapa
kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat.Kemudian Rasulullah SAW duduk
di atas mimbarnya.
Para
sahabat terdiam,bersiap untuk mendengarkan segala apa yang akan diucapkan
Rasulullah SAW.
Rasulullah
SAW pun berkhutbah,khutbah perpisahan.Beliau bersabda,”Seseorang telah diberi
pilihan,antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la (“Sahabat
Teragung”,Allah SWT).”
Rasulullah
SAW pun kemudian mengulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul A’la,Ar-Rafiqul
A’la,Ar-Rafiqul A’la…” Wahai orang yang berakal,adakah kehidupan Allah akan
berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan
dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan
Rasulullah SAW itu menandakan bahwa ia memilih kehidupan yang sejati.
Hati
sahabat Abubakar RA tersentuh.Ia pun berkata kepada Rasulullah SAW,”Ya
Rasulullah,demi ayah dan ibuku,biarlah ruh-ruh kami, anak-anak kami,dan sanak
keluarga kami,serta harta-harta kami,sebagai tebusan bagimu.” Melihat Abubakar
RA mengatakan itu,sahabat Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, “Ada apa dengan orang
tua ini? Apakah ia (Abubakar) sudah pikun?”
Rasulullah
SAW telah menceritakan ihwal lelaki ini (Abubakar RA), yaitu seorang yang telah
meyakini penuh bahwa diri beliau sebagai utusan Allah SWT (saat yang lain
banyak yang mengingkarinya).Kelak Abu Sa’id mengatakan, “selepas wafatnya
Rasulullah SAW, Aku baru tahu,perkataan Abubakar itu perkataan yang tepat.”
Rasulullah
SAW memandang Abubakar RA. Pandangan yang penuh makna.Kemudian beliau berkata,
“Biarkanlah sahabatku berkata kepadaku, Orang yang paling percaya kepadaku
adalah Abubakar. Sekiranya aku memilih kawan dekat,niscaya aku akan memilih
Abubakar. Tutuplah pintu rumah kalian yang menuju masjidku,kecuali pintu rumah
Abubakar.”
Wasiat-wasiat
Rasulullah SAW
“Ya
Rasulullah, berwasiatlah kepada kami,”ujar para sahabat.
Kala
itu, di antara yang diwasiatkan Rasulullah SAW, ”Berwasiatlah kalian terhadap
para wanita dengan kebaikan.’
Wasiat
ini menyinpan makna yang luar biasa yang beliau katakan di saat beliau hendak
mengucapkan salam perpisahan kepada sekalian umatnya. Maknanya agar kita
mewujudkan hubungan yang baik sesama kita sepeninggal beliau, yang dengannya
kehidupan akan berjalan harmonis. Beliau mewasiatkan ini agar kita dapat
menggapai kehidupan yang sebenarnya, yaitu tatkala kita menjalani kehidupan ini
penuh dengan kebaikan.
Beliau
juga berwasiat, “ Dan berwasiatlah kalian dengan baik terhadap keluargaku.”
Beliau ingin kita dapat terus hidup berkesinambungan dengan beliau.
Kenapa
beliau mengatakan “ keluarga” yang dinisbahkan sebagai keluaga beliau,
“keluargaku”. Hal itu disebabkan beliau ingin mengajarkan kepada kita
bahwasanya perpindahan beliau dari alam dunia tidak dimaksudkan sebagai
terputusnya hubungan umat dengan beliau. Seakan beliau mengatakan,”Hubungan
kalian denganku tak akan terputus sekali kalian berhubungan dengan keluargaku.”
Wasiat beliau lainnya,”Janganlah kalian menjadi kafir selepas kepergianku dan
janganlah kalian berperang satu sama lain.” Beliaupun terus berwasiat kepada
para sahabat dengan wasiat-wasiat lain yang beliau berikan kepada mereka.
Sebagian diantara mereka mengatakan,” Ya Rasullullah,jika engkau wafat,siapakah
yang akan memandikanmu?” Beliau menjawab, “Seseorang di antara ahlul baytku.”
Hati
merka amat tersentuh dengan perpisahan yang akan mereka lalui,perpisahan antara
mereka dengan Rasulullah SAW. Kemudian mereka berkata lagi, “Dengan apa engkau
kami kafankan?”
Saat
melihat rasa gundah melanda hati para sahabatnya,air mata Rasulullah SAW pun
berlinang.Beliau menjawab,” (Bahan) dalam pakaianku ini,atau kain dari Yaman,
atau jubah dari Syam,atau kapas dari Mesir.” Abubakar Mengimami Shalat
Mereka
terus bertanya kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan lainnya.Setelah
benyaknya pertanyaan sebagai persiapan bagi para sahabat bila sewaktu-waktu
Rasulullah SAW wafat dan meninggalkan mereka,Rasulullah SAW pun menangis. Lalu
beliau bersabda,”Berlaku lembutlah kepada nabi kalian.”Kemudian beliau berdiri,
melangkah pulang, dan memasuki rumah beliau.Beliau pun merebahkan diri di
pembaringan.
Di
saat yang sama, rasa bimbang semakin menggelayuti hati para sahabat. Kemudian
mereka meninggalkan pekerjaan dan urusan mereka dan berkeliling di sekitar
rumah Rasulullah SAW dan masjid beliau. Mereka ingin mengetahui perkembangan
berita tentang Rasulullah SAW. Sampai tiba pada waktu shalat,sedangkan imam
mereka (Rasulullah SAW) tidak kunjung keluar untuk shalat bersama mereka. Para
sahabatpun semakin bertambah bimbang.
Kemudian
Rasulullah SAW berkata kepada Aisyah RA, “Perintahkan Abubakar untuk mengimami
shalat.” Aisyah RA (putri Abubakar RA) berkata kepada beliau, “Ayahku seorang
yang kurus dan aku khawatir ia akan menangis dan tak sanggup berdiri. Mintalah
dari umar, ya Rasulullah.”
Rasulullah
SAW menjawab, “Kalian seperti sahabat Nabi Yusuf AS. Perintahkanlah Abubakar
untuk mengimami shalat.” Abubakar RA pun bangkit mengimami jama’ah shalat
fardhu yang pertama dan shalat-shalat berjama’ah berikutnya.
Salam
Perpisahan
Senin
waktu shalat Subuh,12 Rabi’ul Awwal. Rasulullah SAW menyingkap tabir kain dari
pintu rumah beliau. Pandangannya mengarah kepada para sahabat. Tampak mereka
tengah shalat dengan khusyu’ dan tunduk di hadapan Allah SWT, di bawah pimpinan
Abubakar RA. Segala puji bagi Allah, saat Rasulullah SAW memperhatikan para
sahabatnya itu, masjid pun bercahaya dengan kemunculan beliau. Sampai sebagian
sahabat mengatakan, “ Hampir saja kami terlalaikan dari shalat kami ketika
Rasulullah muncul.” Abubakar RA hampir saja mundur dari pengimaman, sementara
para sahabat yang lainnya hampir saja memalingkan pandangannya kepada
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menunjuk dengan tangan beliau,”Tetaplah di
tempat kalian.” Kemudian beliau menutup kembali tirai di pintu masuk rumah
beliau itu.
Para
sahabat mengatakan, “Itulah saat terakhir Rasulullah SAW memandangi para
sahabatnya.” Abdullah bin Mas’ud RA, pembantu Rasulullah SAW, mengatakan,ketika
Rasulullah SAW melihat mereka, beliau mengatakan, “Allah memelihara
kalian,Allah memberkati kalian,Allah menguatkan kalian,Allah menolong
kalian,Allah membantu kalian.” Inilah salam perpisahan dari seorang yang
merindukan para sahabatnya.Para sahabatpun memberi salam kepada Rasulullah SAW
dan keluar dari masjid.
Dikatakan,para
sahabat bergembira saat mendapati Rasulullah SAW memperhatikan mereka dari
pintu rumah beliau. Mereka menyangka kondisi kesehatan Rasulullah SAW telah
berangsur pulih.Karenanya, sebagian dari mereka kemudian beraktivitas lagi
seperti sedia kala,dan mereka menyangka bahwa itu adalah rahmat Allah SWT
terhadap mereka. Berita Kematian yang Menggembirakan
Aisyah
RA berkata, “Rasulullah SAW meminta izin dari sekalian istri beliau untuk dirawat
di rumahku,lalu mereka mengizinkan. Saat hari Senin itu,hari wafatnya
Rasulullah SAW,tiba,ruh beliau diambil di rumahku sedangkan beliau ada dalam
dekapanku.” Ia berkisah, “Ketika kami semua sedang duduk,datanglah Fathimah
sambil menangis. Caara berjalannya mirip cara berjalan ayahandanya, Rasulullah
SAW. Kemudian beliau mendekap dan mengacupnya. Lalu beliau SAW membisikkan
sesuatu di telinganya. Sesaat kemudian Fathimah mengangkat kepalanya . Ia
menangis
Kemudian
Rasulullah SAW memberi isyarat kepadanya, beliau ingin membisikkan lagi sesuatu
kepada Fathimah. Fathimah mendekati ayahnya dan kemudian Rasulullahberbisik
kepadanya. Sesaat setelah itu Fathimah kembali mengangkat kepalanya dengan
penuh rasa gembira yang merona di wajahnya. Aku tidak pernah melihat tangisan
yang kemudian disusul dengan tertawa seperti itu.: Aisyah RA pun bertanya
kepada Fathimah RA, “Apa yang dibisikkan ayahandamu kepadamu?” Fathimah RA
menjawab, “Jangan engkau hiraukan hal itu,karena aku tak mau membuka rahasia
ini selagi beliau masih hidup.”
Kelak
setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah bertanya lagi tentang hal itu. Fathimah
mengatakan, “Ya, ketika aku mendekati ayahku, beliau berbisik kepadaku, ‘Wahai
Fathimah,sekali dalam setahun Jibril mendatangiku untuk membacakan Al-Qur’an
kepadaku dan pada tahun ini ia telah mendatangiku dua kali. Dan Allah telah
memberikan pilihan kepada ayahmu, antara dunia dan Ar-Rafiqul A’la.’Ayahku
memilih Ar-Rafiqul A’la. Dan aku diberi tahu bahwa nyawanya akan dicabut pada
hari itu. Lalu aku pun menangis. Kemudian beliau memanggilku lagi dan
membisikan kepadaku, ‘Apakah engkau suka bahwa engkau menjadi penghulu wanita
sekalian alam dan menjadi orang yang pertama kali akan menyusulku?’ Aku pun
bergembira dengan berita dari ayahku itu.”
Kematian
adalah sesuatu yang menyedihkan. Bagaimana dengan kabar kematianmu ini, wahai
Zahra? Fathimah mengatakan, “Berita kematianku ini mempercepat pertemuanku
dengan orang yang aku kasihi, dan inilah kehidupan yang sesungguhnya bagiku.”
Dialog
dengan Malaikat Maut
Aisyah
melanjutkan kisahnya, “Sebelum itu kami mendengar ada sesuatu yang bergerak di
balik pintu. Dan itu adalah Jibril. Jibril meminta izin Rasulullah untuk masuk.
Beliau mengizinkannya.
Kemudian
aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya, ‘Wahai Jibril, Ar-Rafiqul A’la…,
Ar-Rafiqul A’la… Kami tahu bahwa sangkaan kami adalah tepat.’
Kemudian
aku bertanya kepada Rasulullah SAW, Apa yang telah terjadi, wahai Rasulullah?’
Rasulullah menjawab, ‘ Itulah Jibril yang datang dan berkata: Malaikat maut
telah berada di depan pintu dan meminta izin. Dan tidaklah malaikat maut
meminta izin kepada seorang pun baik sebelum dan sesudahmu.
Dan
ia (jibril) mengatakan: Allah menyampaikan salam kepadamu dan Dia telah
merindukanmu,” Maka, wahai orang-orang yang berakal,apakah perpindahan kepada
Tuhan yang merindukannya merupakan suatu kematian? Bukan. Kehidupan yang
sebenarnya adalah perpindahan kepada Allah, Yang Mahahidup.
Kemudian
malaikat maut mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Jikalau engkau berkenan, aku
akan mencabut ruhmu untuk menemui Ar-Rafiqul A’la. Namun jika engkau tak
berkenan, aku akan biarkan mengikuti berlalunya masa sampai tempo waktu yang
engkau inginkan.”
Rasulullah
memilih Allah Ta’ala. Ya, beliau memilih Sahabat Yang Teragung. Kemudian
malaikat maut pun masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Ia berkata
lagi, “Wahai Rasulullah, apakah kau mengizinkanku?” Rasulullah SAW menjawab,
“Terserah apa yang akan kau lakukan, Wahai malaikat maut. Dan berlaku lembutlah
sewaktu mencabut ruhku.” “Hhhhhhhhhh……….” (Desis suara Rasulullah SAW menahan
rasa sakit).
Rasulullah
SAW kembali mengatakan kepada malaikat maut, “Berlaku lembutlah kepadaku, wahai
malaikat maut.” Perhatikanlah (meski dicabut dengan selembut-lembutnya
pencabutan ruh yang pernah dilakukan malaikat maut), Rasulullah SAW pun
merasakan sakitnya sakaratul maut. Maka bagaimana (yang akan dirasakan) oleh
orang yang lalai dengan kematian dalam kehidupan mereka? Mereka tidak merenungi
saat-saat ketika nyawa dicabut pada saat sakaratul maut. “Beratkan
bagiku,Ringankan bagi umatku”
Maka
menanjak naiklah ruh mulia Baginda Rasulullah SAW, yang ditandai dengan
sentakan kedua kaki beliau. Peluh pun bercucuran dari dahi Baginda.Peluh yang
bagaikan butiran permata berbau kesturi. Rasulullah SAW menyapu peluhnya itu
dengan tangannya dan kemudian meletakkan tangannya pada sebuah wadah di tepinya
untuk menyejukan tubuhnya.
Kembali
suara berdesis dari lisan suci beliau.”Hhhhhhhh……” Lantaran rasa sakit yang ia
alami pada saat sakaratul maut. Beliau pun mengatakan, “Sesungguhnya maut itu
amatlah berat, YA Allah,ringankan beratnya maut terhadapku” Maka para malaikat
dari langit pun turun kepada beliau. Mereka berkata, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah menyampaikan salam atasmu dan Dia menyatakan bahwa sesungguhnya
perihnya sakaratul maut 20 kali lipat (dalam riwayat lain 70 kali lipat) dari
rasa sakit akibat padang yang menusuk tubuh.”
Rasulullah
SAW pun menangis dengan tangisan yang tiada tangisan lain yang lebih
menyedihkan bagi kalian semua. Beliau berdoa, “Ya Allah, beratkanlah (sakaratul
maut) ini atasku, tapi ringankanlah atas umatku.”
Wahai,bagaimana
hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW?
Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan Rasulullah SAW? Bagaiman kita dapat
melupakan perintah untuk mencintai beliau? Bagaimana hati kita tidak terikat
untuk senantiasa merindukan beliau? Bagimana hati kita tidak tersentuh kala
pribadi beliau diperdengarkan?
Pesan
Terakhir
Aisyah
RA berkata, “Saudaraku,Abdurrahman bin Abubakar, masuk dan ia sedang membawa
sebatang kayu siwak yang ujungnya belum dilembutkan. Aku lihat Rasulullah
memandang kearahnya dan adalah Rasulullah SAW menyukai siwak.”
Maka,
apakah kalian menyukai apa yang beliau suka dari sunnah-sunnah beliau? Adalah
Rasulullah SAW menyukai siwak. Aisyah menyatakan,”Aku bertanya kepada
Rasulullah,’Ya Rasulullah, apakah engkau menginginkannya (siwak)?’ Rasulullah,
di saat beliau sudah tak dapat lagi berkata-kata dan kami pun tak dapat
mendengar sesuatu pun darinya, memberi isyarat dengan menganggukkan kepala
beliau, pertanda beliau menginginkan untuk bersiwak. Dan perkara yang terakhir
beliau katakana adalah, ‘Ash-shalah….ash-shalah….ash-shalah…’-‘Shalat….
Shalat…. Shalat…..’
Maka,apakah
yang kalian lakukan terhadap wasiat Nabi kalian di saat-saat akhir dari
kehidupannya di dunia ini? Shalat adalah hubungan kalian dengan Tuhan, agar
terjalin hubungan yang hakiki dengan-Nya.
Wahai
orang yang mendahulukan perkerjaan dunianya dan hawa nafsunya sebelum
shalat,yang mendahulukan keterlenaannya disbanding shalatnya,ingatlah, wasiat
yang terakhir dituturkan oleh kekasih kalian di akhir usianya
adalah,’Ash-shalah…. Ash-shalah… ash-shalah….’, di samping ‘Berwasiatlah dengan
kebaikan terhadap para wanita’, dan juga,’Aku berwasiat kepadamu dengan
kebaikan terhadap keluargaku.’
Sesaat
kemudian,lidah Rasulullah SAW tampak kaku. Tapi, ruh beliau belum tercabut.
Beliau masih berkata-kata.” Dan majelis ini, kata Habib Ali, adalah salah satu
kenyataan yang menggambarkan keadaan ruh Rasulullah SAW. Kalaulah tidak karena
kehidupan Rasulullah SAW yang wujud dalam diri kita,niscaya kita tidak
tersentak saat disebut perihal kisah wafatnya Rasulullah SAW. Bergetarnya hati
kalian saat disebutkan perihal kejadian-kejadian pada saat wafatnya Rasulullah
SAW adalah sebagiam dari petunjuk yang nyata bahwa kematian beliau adalah
sebuah kehidupan.Adakah kematian yang dapat menggerakkan banyak hati?
Sejahteralah
Jasad Beliau
Kemudian,
Aisyah melanjutkan, “Rasulullah SAW memberikam isyarat lewat anggukan
kepalanya, sebagai pertanda keinginannya. Maka aku berikan kepada beliau kayu
siwak yang belum dilembutkan itu. Tapi kemudian aku mengambilnya dari tangan
beliau ketika kulihat itu tak dapat beliau gunakan karena keras,belum
dilembutkan. Lalu aku melembutkannya dengan mulutku. Aku bangga,karena,di
kalangan para sahabat, benda terakhir yang masuk ke mulut beliau adalah air
liurku. Lalu aku meletakkannya dalam mulut beliau. Beliau pun memegangnya
dengan tangan beliau sendiri,”
Sakaratul
maut yang dialami Rasulullah semakin mendalam. Cahaya memancar dari wajah
beliau, dan cahaya itu meliputi keluarganya. Waktu terus berjalan.
Ruh
mulia Rasulullah SAW telah sampai pada kerongkongannya. Beliau membuka kedua
kelopak bola matanya. Kemudian beliau menunjukkan isyarat dengan jari
telunjuknya sebagai kesaksian atas keesaan Sang Pencipta, yaitu isyarat
ketauhidannya. Tak lama kemudian, beliau pun mengembuskan napas terakhir.
Sejahteralah
jasad beliau yang agung setelah melalui hari-hari yang melelahkan, lantaran segala
hal ia baktikan demi keselamtan kita.
Sejahteralah
jasad beliau setelah perutnya kerap kali diikat dan diganjal batu karena
kelaparan, demi pengorbanannya kepada kita.
Sejahterakanlah
jasad beliau, yang pernah dilempari batu hingga melukai beliau,demi dakwahnya
kepada kita.
Sejahteralah
jasad beliau,yang gerahamnya pernah dipatahkan, lantaran kesungguhan beliau
dalam membela agama yang akan menyelamatkan kita.
Sejahteralah
jasad beliau, yang dahinya pernah dilukai sampai mengalir darah dari dahinya
yang mulia itu, lalu beliau menahannya dengan tangan beliau agar darah suci
beliau tak sampai jatuh ke tanah, sebagai rahmat bagi mereka, kaum yang
memerangi beliau, dan bagi kita, dari kemurkaan Allah SWT.
Sejahteralah
jasad beliau, yang mata panah pernah menembus daging pipinya,demi kita.
Sejahteralah
jasad beliau,yang kakinya sampai bengkak disebabkan pengabdian beliau kepada
Allah SWT dan demi dakwah kepada kita.
Sejahteralah
jasad yang telah memikul kesukaran,keletihan, kesakitan,dan,kelaparan karena
kita.
Terhubung
tak Berujung.
Ketika
para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh
beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.
“wahai
Nabi Allah….! Wahai Rasulullah…! Wahai kekasih Allah….!”
Sesaat
kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru menyemburat di
wajah para sahabat yang ada di dalam masjid. Tak lama kemudian,berita wafatnya
Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.
Musibah Terberat
Kembali
lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada
detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh
mulia Rasulullh SAW.
Ketika
ia melihat guncangan ruh beliau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA menangis.
Maka kemudian ia mengangkat tubuh Rasulullah SAW dan meletakkannya di kamar
beliau. Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW
hampir terlepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak
kuasa untuk berdiri.
Maka
kemudian,tatkala suara tangisan memenuhi ruangan rumah itu,terdengarlah suara
yang tidak terlihat siapa yang menyatakannya. Mereka mendenga suara yang
mengatakan,”Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum.
Ishbiru wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah farathukum fil
jannah.”-Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepadaNya. Wahai
penghuni rumah,semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan
bermuhasabahlah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya
Rasulullah mendahuluimu sekalian di surga.”
Ketika
suara itu terdengar, merekapun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu
berhenti,mereka pun menangis lagi. Demi Allah, Dzat Yang Disembah,kalian tidak pernah
diberi musibah seperti musibah yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang
pernah merasakan kehilangan seperti yang mereka rasakan.
Kabar
itu tersiar cepat di kota Madinah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika
dikatakan kepada mereka “Wahai para sahabat, tidakkah kalian tahu, Rasulullah
SAW adalah manusia, dan sebagai manusia beliau pun pasti mengalami kematian?”,
mereka mengatakan,”Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri kami dan telah
menjadi cambuk dahsyat pada jiwa kami.” Hati para sahabat terus bergetar.
Kala
itu, Sayyidina Umar bin Khathab menghunuskan pedangnya sambil
mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia
berteriak,”Sekelompok dari golongan munafik berkata bahwa Rasulullah telah
mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi beliau menjumpai Tuhannya
sebagaimana perginya Musa AS. Dan beliau kembali kepada kita. Siapa yang
menyatakan Rasulullah telah mati akan kutebas dengan pedangku ini.” Setelah
sampai kabar kepada Abdullah bin Zaid RA, ia menangis,kemudian menengadahkan
tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ambillah penglihatanku ini,sehingga aku tak
dapat melihat seorang pun lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.” Maka,ia pun
kehilangan penglihatan pada saat itu juga.
Sahabat
yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA,berteriak, “Ya
Allah,ambillah ruhku, dan tiada lagi kehidupan setelah wafatnya Rasulullh SAW.”
Tiba-tiba ia terjatuh.Allah mengambil nyawanya seketika itu juga. Sementara itu
Sayyidina Ustman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.
Hidup
dan Mati dalam Kebaikan
Ketika
pikiran mereka terganggu,mereka kebingungan, maka telah sampai berita kepada
Sayyidina Abubakar Ash Shidiq RA, dan ia pun berada dalam keadaan yang
menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan
memasukinya. Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah
dalam kebingungan.
Kemudian
ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari
penghuni rumah untuk dapat masuk ke rumah dna ia diizinkzn untuk masuk.
Periwayat kisah ini mengatakan,Sayyidina Abubakar RA masuk dalam keadaan
dadanya berdebaran dan tampak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun
akan dicabut pada saat itu. Ia menangis. Kemudian terdengar darinya suara
bagaikan bergolaknya air yang tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya,
sementara air matanya terus bercucuran. Saat itu,jasad mulia Rasulullah SAW
diselimuti kain. Lalu ia membuka kain selimut yang menutupi jasad mulia
Rasulullah SAW,demi menatap wajah paling mulia itu. Ia memandang wajah
Rasulullah SAW dna mendekatkan wajahnya. Dikecupnya kening dan pipi Rasulullah
SAW. Lalu, sambil menangis ia mengatakan,”Demi ayah dan ibuku, wahai
Rasulullah, betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan
menimpakan dua kali wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu,
niscaya kami akan biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat
mengadu selain Allah SWT.
Susungguhnya
kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita akan kembali.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau, ya
Muhammad, adalah utusan Allah. (Aku bersaksi bahwa) engkau telah menunaikan
risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau meninggalkan kami di atas yang
bersih.”
Sayyidina
Abubakar tenggelam dalam kesedihan. Napasnya pun tersengal-sengal. Ia pandangi
kembali wajah Rasulullah SAW seraya berkata,” Ingatlah kami di sisi Tuhanmu,
wahai Muhammad.”
Wahai
para sahabat yang mendapat didikan langsung dari RAsulullah SAW. (Dan untuk
Sayyidina Abubakar) wahai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi engkau
memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru
Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu,
wahai Muhammad.”
Makna
“siapa Menyembah Muhammad…”
Sayyidina
Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya.
Lalu ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW. Ia pun
kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan
mereka. Pada saat ia menangis dan mengatakan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau
hidup dan wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun
menangis. Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi
masjid berada dalam kepiluan. Kemudian ia menaiki mimbar kekasihnya, tuannya,
dan pemimpinnya, Rasulullah SAW. Langkah kakinya telah membawanya ke mimbar
itu. Maka, setelah memuji Allah SWT, bersalawat atas Nabi, ia pun mengutip
firman Allah SWT,”Setiap jiwa akan mendapatkan kematian.” Ia juga membacakan
ayat,”Dan tidaklah Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para
rasul sebelumnya.” Dan ayat,”Sesungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.”
Ia
berkata lagi,”Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat. Siapa yang
menyembah Allah,Allah itu hidup dan tidak mati.” Kalimat ini mengandung
pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil
pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad
telah wafat” sebagai putusnya hubungan dengan Nabi SAW. Demi Allah, Tuhan Yang
Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan
kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah
berakhir. Rasulullah telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya
dengan Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Mahahidup
dan tidak mati.
Jadi,
dengan pengertian bahwa hubungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah
berakhir. Karena, hubungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan
hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup
dan tidak pernah mati.
Kemudian
Sayyidina Abubakar berpaling kepada Sayyidina Umar, menghiburnya dari
kebimbangan yang ia rasakan.
Aroma
Kesturi
Di
rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lantaran
kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW.
Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah
dan fadhl. Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia
Rasulullah SAW dengan pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat
beliau sedikit pun. Sayyidina Ali mengatakan, “Kami memandikan beliau dan
beliau masih mengenakan pakaiannya. Saat kami hendak memiringkan beliau ke
kanan, beliau menghadap kekanan dengan sendirinya. Ketika kami hendak
memiringkan beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami
tidak mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan beliau, kecuali
jasad beliau sendiri yang berubah kedudukannya.”
Katanya
lagi, “Ketika kami memandikan beliau,angin yang sejuk dan nyaman bertiupan
kearah kami seakan-akan kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan
kami pada saat itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW. Tidaklah ada
air yang jatuh dari jasad mulia baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi
dari aroma kesturi. Kemudian, kami kafankan jasad beliau.”
Salah
Satu Taman Surga
Di
tempat lain, para sahabat saling bertanya,”Di manakah akan kita makamkan jasad
Rasulullah SAW?” Sebagian dari mereka ada yang mengatakan agar jasad Rasulullah
SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih nya menyatakan,
sebagian sahabat mengatakan agar beliau dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di
dalam Masjid Nabawi. Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi
dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud
mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di suatu masjid yang ada kuburnya
di dalamnya. Sebab, bila cara pandang seperti itu benar, niscaya para
sahabatlah yang terlebih dahulu memahami akan hal tersebut, sebagai buah dari
kehidupan mereka bersama Rasulullah SAW.
Sampai
kemudian Sayyidina Abubakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya,
“Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang
terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.” Maka
digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk
menyemayamkan jasad suci beliau. Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam
lubang kubur Rasulullah SAW, yang, demi Allah, tak lain merupakan salah satu
taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pembantu
Rasulullah SAW yang bernama Syaqran. Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas,
tempat yang pernah diduduki Rasulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus
meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya. Aku melihat ke atas tempat
duduk Rasulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata, “Ya Rasulullah, tiada
satu pun yang boleh duduk di atas tempat duduk ini selepasmu, wahai
Rasulullah!.” Sayyidina Ali pun memakamkan Rasulullah SAW dalam kubur beliau,
bersama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu. Sang Putri Menyusul
Ketika
mereka telah bubar usai pemakaman, datanglah Sayyidatina Fathimah Az-Zahra.
Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah
kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Rasulullah SAW ini.
Dalam keadaan menangis, Sayyidatina Fathimah melihat Anas bin Malik RA,
pembantu ayahandanya, yang besar dibawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat
didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemudian ia berkata kepada Anas,
“Ya Anas, engkau sanggup meletakkan tanah di atas tubuh Rasulullah?” Anas pun
menangis, sambil mengatakan, “Celakalah kami, celakalah kami, celakalah kami,
wahai Fathimah. Sesungguhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan.
Kalaulah kami telah mendengarkan terlebih dulu apa yang engkau katakan sekarang
ini, niscaya kami tidak akan sanggup mengebumikannya.”
Sayyidatina
Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada disitu.
Hatinya amat sedih karena musibah yang menimpanya. Ia kemudian berdiri di sisi
kubur ayahandanya dan mengambil segumpal tanah, lalu menciumnya. Dalam
tangisannya, ia berkata, “Apa yang dapat dirasakan si pencium tanah kubur Nabi
Muhammad ini…. Tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa. Aku ditimpa
musibah dengan musibah yang jika musibah selainnya menimpaku setiap hari pun
niscaya tidak mengapa.”
Tidak
sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah pun
wafat. Fathimah adalah seorang yang di gelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya
(Karena sejak meninggalnya Sayyidatina Khadijah, istri Rasulullah SAW,
Sayyidatina Fathimah-lah yang banyak mengurus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“ Wahai Rasulullah….”
Sekarang,
bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, selepas wafatnya
Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan
Rasulullah SAW? Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar
meleset. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari
jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih, Bilal
ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sahabat Nabi, datang berziarah ke makam
Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik tengah melanda,yaitu pada masa
pemerintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun berdiri di sisi makam mulia Rasulullah
SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….” Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi ini
mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara langsung,
atau sebagai orang kedua).
“Ya
Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk
umatmu.” Karena mereka memahami bahwa Rasulullah SAW hidup di dalam kuburnya.
Beliau mendengarkan shalawat yang diucapkan atas beliau, dan menjawab salam
yang diucapkan kepada beliau. Beliaulah yang telah bersabda,”Sesungguhnya para
nabi itu hidup dalam kubur mereka.”
Wallahu A'lam