Detik - Detik Kepulangan Ulama Ribuan Santri
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang - orang yang
gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) telah mati, bahkan (sebenarnya) mereka
itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (Q. S. Al - Baqoroh ayat 155).
Hari itu langit memuram, seolah ikut merasakan isakan
belasan ribu santri yang pucat pasi mengharap kiranya keajaiban datang sehingga
sebuah kenyataan yang begitu memilukan tidak perlu tejadi. Barisan ribuan
santri berkopyah putih duduk bersimpuh di masjid putra, tidak bergeser
sedikitpun dari pagi. Bibir mereka tidak
henti – hentinya melantunkan ya siin yang sudah mereka hafal sambil memeluk
erat mushaf suci. Sementara di masjid yang lain, ribuan santri bermukena duduk
bershaf menekuni barisan ayat – ayat suci al – Quran dengan mata merah berkaca
– kaca. Hari itu Jumat tanggal 12 November 2010. Tulang punggung belasan ribu
santri yang begitu kami cintai, memasuki hari ke delapan belas di Rumah Sakit
Mayapada Tangerang. Tatapan kosong beberapa dari kami seolah terkenang pada
catatan sejarah agung Rosulullah saw yang pulang ke rahmatullah pada hari Jumat
setelah sakit beliau memasuki hari yang ke delapan belas.
Abah di mata para santri adalah sosok yang sangat ‘alim,
arif dan bijak. Beliau sangat ramah kepada siapapun tak terkecuali kepada
mereka yang berkeyakinan lain. Beliau adalah sosok guru yang mendidik santrinya
bahkan dari hal yang paling kecil. Namun, semangatnya melambungkan cita – cita
besar kami hingga tak pernah mengenal batas. Di kalangan pemerintah dan
masyarakat luas Abah di pandang sebagai figur teladan penuh kharisma dan tak
jarang menjadi muara penyelesaian segala kesulitan. Beliau menerima siapapun
yang datang dengan aneka kepentingan. Beliau hanya mengatakan atas apa yang
beliau kerjakan dan beliau selalu mengerjakan apa yang beliau katakan. Maka,
tak ayal ketika beliau tiada, tak hanya santri yang merasa sedih namun juga
masyarakat Indonesia dan dunia pun ikut merasa kehilangan.
Beberapa hari sebelum Abah masuk ke rumah sakit, Beliau
kelihatan bugar dan masih menjalankan aktifitas sebagaimana biasanya. Hampir
tidak terlihat ada masalah pada kesehatannya. Kami tak tau persis, apakah
sebenarnya Abah memang sehat, atau sesungguhnya sedang menyembunyikan sakitnya
agar kelihatan sehat. Yah, karena memang itulah bagian dari kebiasaan mulianya
– harus selalu memikirkan orang banyak, tanpa mau menjadi pikiran orang banyak.
Sabtu, 25 Oktober 2010. Pagi itu Abah lupa tidak sarapan.
Menghadiri undangan memang beliau fahami sebagi salah satu sunnah rasul yag
utama. Beliau bergegas bertolak menuju tempat acara walimatussafar teman
baiknya. Menyampaikan taushiyyah dan melantunkan doa keberangkatan haji. Acara
bertempat di Hotel Hilton Jakarta.
Pakaian gamis putih yang dihiasi sorban hijau dipundaknya,
semakin menguatkan pancaran kharisma beliau saat pintu jaguar terbuka dan
beliau keluar dengan langkah mantap menuju ruang acara. Para hadirin sejenak
bangkit berdiri menyambut hangat kehadiran beliau yang sudah ditunggu. Beberapa
saat setelah Abah bersimpuh istirahat, Abah di perkenankan untuk memberikan
mau'idzoh hasanah dalam acara tersebut.
Dengan wajah berseri disempurnakan dengan senyum khas penuh
keteduhan, Abah berdiri dengan tenang menggambarkan kearifan pengalaman
hidupnya. Beliau menyampaikan muqoddimah dengan tahmid dan sholawat kemudian
baris demi baris hikmah mulai membius hadirin yang terlihat menyimak dengan
khusyu'.
Namun, Ketika hadirin mulai larut dalam lautan hikmah dari
baliau, hal yang tidak biasa tiba – tiba terjadi. Hanya dalam hitungan menit,
suara beliau mulai melemah. Hadirin mulai menangkap sebuah kekhawatiran saat
tubuhnya terlihat gemetar. Sejurus kemudian, Abah jatuh tersandar lemah dipandu
oleh beberapa hadirin. Abah tak sadarkandiri saat dengan cepat beliau dilarikan
ke Rumah Sakit MNC.
Seusai diperiksa di Unit Gawat Darurat, pihak Rumah Sakit
MNC Jakarta merujuk beliau ke Rumah Sakit Mayapada Tangerang karena seriusnya
sakit beliau. Ambulance melaju kencang membelah keangkuhan kota dengan raungan
sirine yang seolah ingin mengabarkan berita duka ini ke seluruh kota.
Setelah menjalani pemeriksaan di ruang Unit Gawat Darurat
(UGD), dokter memutuskan untuk menjalani operasi bedah otak, karena ada
pendarahan di dalam kepala bagian belakang dan diperkirakan pembuluh darah di otak mengalami pendarahan. Dengan kondisi
yang mendesak Dokter meminta persetujuan dari wakil keluarga untuk menjalankan
operasi bedah otak.
Operasi dilangsungkan, keluarga dan kerabat sudah
berdatangan dengan penuh kepiluan. Sementara nun jauh disana, ribuan santri
yang biasa riuh ramai, menghentikan semua aktifitasnya. Diam begitu khidmat.
Rapih mengantri mengambil wudlu, tidak ada yang berani bertanya lebih jauh
apalagi berkomentar. Semua diam berjalan pelan menundukkan kepala. Duduk
bersimpuh, berdoa dan membaca al Quran.
Hati mereka menyimpan ribuan bahkan jutaan kekhawatiran, dengan sebuah hajat
yang sama, semoga Allah berkenan memberikan kesembuhan.
Operasi yang diprediksi akan memakan waktu paling sedikit
delapan jam, ternyata bisa diselesaikan dalam waktu empat jam. Setelah prosesi
operasi, Abah mejalani rawat inap di rumah sakit tersebut.
Selama beberapa hari Abah belum siuman. Keluarga menuggu dengan penuh
kecemasan, bibir mereka tidak henti – hentinya melantunkan doa.
Kekhawatiran kami memuncak saat Kami kembali diingatkan pada
sejarah agung Rosulullah. Saat menjelang keberangkatan beliau menghadap Illahi
Rabbi, kalimat yang dipilih adalah "Ummatii, Ummatii…, Umatku,
umatkuu…". Abah juga sempat siuman dan kalimat yang beliau pilih adalah
"Apakah anak-anak santri sudah makan?" Subhanallah !! sebuah
keteladanan yang begitu sempurna.
Untuk membantu kinerja ginjal, Abah harus menjalani cuci
darah secara continue. Saat itu organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik
adalah jantung. Hari demi hari telah Abah lalui dengan kondisi yang semakin
melemah. Sementara pesantren dirundung duka, langit selalu mendung seolah turut
merasakan ribuan kepiluan. Doa dan lantunan ayat suci al Quran menjadi satu –
satunya yang bisa dikerjakan oleh santri.
Hari itu sayyidul ayyam, hari jumat tanggal 12 November
2011. Hari ke delapan belas Abah berada di rumah sakit. Seperti jumat – jumat
yang lalu, ketakutan kami selalu mencapai puncaknya ketika kami memasuki hari
jumat. Karena Abah sendiri yang pernah mengatakan bahwa dirinya akan wafat pada
hari jumat. Benar hal itu terjadi. Takdir seolah ingin menjelaskan kepada kami
akan makna sebenarnya dari kata "sabar". Musibah seolah menghendaki
kami untuk terus belajar dan semakin paham bahwa Allah lah yang memiliki semua.
Kalimat "innalilahi wa inna ilaihi raaji’un…" membahana membelah
langit.
Potongan – potongan gambaran kenangan bersama Abah terlintas
begitu jelas di pikiran kami. Terlintas kenangan saat kali pertama kami masuk
pondok ini dan belajar menghafal nama panjang beliau. Saat kami berebut tangan
beliau untuk mencium dan mengharap doa tulus dari beliau. Saat beliau harus
marah karena kami melakukan kesalahan. Saat beliau tertawa akrab dalam untaian
ta'lim yang begitu menyenangkan. Saat beliau mengajarkan kami bagaimana cara
meludah dan membuka kran. Namun itu hanya kenangan. Hari ini nasib memaksa alam
untuk pucat pasi, sepucat hati kami yang sadar bahwa besok dan seterusnya kami
tak lagi bisa mencium hangat punggung tangan mulia Abah…
Namun, kami yakin sepenuhnya bahwa kepergian Abah adalah
bagian dari pendidikan Abah. Semangat beliau tidak akan bisa mati di hati kami.
Abah, sampai jumpa di surga…