Samudera dan Awan

Diam-diam, Samudera mengagumi Awan. Tak henti-hentinya ia memandang. Seharian kadang. Ia adalah secret admirer sejati sang Awan. Semenjak dulu, sebelum mereka bertemu. Bahkan mungkin sesaat setelah mereka berdua diciptakan. Dan sebelum kata secret admirer itu sendiri ditemukan. Hampir setiap hari mereka bertemu, namun tak pernah Samudera berani mendekati Awan. Selain tak berani, mana mampu? Ia sadar, Awan terlalu tinggi untuk ia dekati. Sedangkan ia? Hanya seseorang dengan derajat rendahan. Takut-takut ia dicaci di depan umum, dihina dina di depan seluruh umat manusia. Samudera hanya sanggup memandanginya, dari kejauhan, diam-diam.

Awan sendiri? tak peduli! Ia tegap saja penuh kesombongan. Padahal sebenarnya tidak.  Aku tahu persis tentang dia. Tampilannya saja memang seperti itu. Culas. Sesekali ia berjalan mendekati samudera. Melenggak-lenggok di hadapannya. Samudera tergoda, tapi tetap tak berani, dan tak mampu untuk mendekati dan menyapa. Awan makin culas saja. Entah  karena memang benar-benar tak tahu bahwa Samudera diam-diam mengaguminya atau sengaja mempermainkan Samudera? Hanya Awan dan Tuhan yang tahu.

Ah, andai saja Awan tahu betapa berdegup kencangnya jantung Samudera saat ia berjalan di hadapannya. Andai saja Awan  tahu betapa tersengalnya napas Samudera saat ia menatapnya. Dan andai saja Awan tahu betapa derasnya aliran darah Samudera saat ia menyapanya waktu itu. Sekali saja. Sebatas sapaan ‘Hai’.

Ternyata ketidakacuhan Awan itu yang membuat Samudera terpesona. Menurutnya, seperti itulah seharusnya wanita pada yang bukan siapa-siapanya. Bukan wanita yang tebar pesona seperti kebanyakan ia saksikan. SKSD pada setiap lelaki yang ia temui. Terlalu ramah pada lelaki yang bahkan baru dikenalnya. Samudera suka wanita seperti Awan: dingin, culas, tak acuh, tapi tetap berkharisma. Bersama itu pula hadir keyakinan bahwa Awan penuh dengan kebaikan.
Aku diam-diam memperhatikan mereka berdua. Menyaksikan ketidakcuhan Awan dan kekaguman Samudera pada ketidakacuhannya itu. Dan melalui pertolongan teman baikku dan teman baik mereka juga, Hujan,  kami pertemukan mereka berdua.

Mereka berdua bertemu seharian. Dari pagi hingga jelang senja. Setelah aku dan Hujan pergi. Mereka tak pernah lagi bertemu. Saat malam, bagi mereka -seperti halnya bagi jutaan pasang manusia yang saling mengagumi, selalu menjadi tempat saling mendoakan.

Hujan, adalah perantara pertemuan Samudera dan Awan. Jika pun terlalu lama ada, tak baik juga untuk mereka. Jika terlalu sering ia hadir, dapat membuat manusia murka. Aku paham itu. Maka kadang aku tak terlalu sering mengundangnya datang. Sekedarnya saja. Toh pada saatnya nanti Samudera dan Awan akan bertemu dan bersatu, selamanya. Tentang waktunya, hanya Tuhan yang tahu.

Yang memperhatikan Samudera dan Awan dari angkasa,

Matahari