Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan
kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya
ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ
أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadits
Riwayat Al-Bukhari no. 6416)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا
ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ
وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah oleh kalian,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta
berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di
akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan- Nya.
Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al-
Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut
maknanya… Setelahnya, apa yang kamu pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia
membuaimu? Masihkah angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah
engkau tertipu dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu
dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia
dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir
kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini
didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka
menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati
dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji
(pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.) yang ada di
hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan
dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang
beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah,
mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan
melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada
membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di
atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan
hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para
penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun
terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada
keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di
atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa
saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara
dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba
ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya
kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada
bekal yang dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal.
841)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang
ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil
atau terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut
seraya berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟
فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ
أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ
أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ
مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara kalian yang suka
memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka
menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang
dapat kami perbuat dengan bangkai ini?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi
milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup,
tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi
seonggok bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah,
sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini
bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah
bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ
اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di
sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak
akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no.
2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no.
686)
Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal
mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun
enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa
Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan
memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia
sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak-
banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang
melalaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan
kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya
ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ
أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR.
Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh
wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau
berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya
pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah
waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan
hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma
merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa
cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia
adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal.
3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat
isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil
perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari
apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin
di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke
tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan
penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan
engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah
terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia
kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia
ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada
keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah
An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika
bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau.
Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai
Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau
menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي
الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia?
Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari
teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR.
At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam
Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis
melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya
tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ
فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى
وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى
أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku
pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar
(raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan
Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia
sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no.
3676)
Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu berkata kepada Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ
فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ
يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ،
أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai Rasulullah
berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh
Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal
mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan
duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra
Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan
(kenikmatan hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3]
?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar
bagimu bagaimana orang- orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia
mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat
penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada
terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ
مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan
dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan
sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh
jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits
di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan
dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain
kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang
masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila
dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain
orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan
berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
[1] Mereka yang tertipu dengan dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
(no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ،
يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ
قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى،
وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ
وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
“Maka bercucuranlah air mataku.”
Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra
Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis,
aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada
isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam
limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal
engkau (jauh lebih mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan
manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan
apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا
عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ
بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي
اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ
“Dan ingatlah hari ketika
orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan
kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja
dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas
dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka
bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.”