Beberapa tahun silam, almarhum K.H. Ali Maksum -Pengasuh
Peantren Krapyak, Jogja – bercerita. Dulu di tanah Jawa ada seorang pemuda
mendapat surat dari kekasihnya. Sebelum surat itu dibuka, perangko nya dilepas,
lalu ia telan. Ia pun segera membalas surat itu dan menyatakan bahwa
perangkonya telah ia telan. Ia menelannya karena yakin bahwa waktu menempelkan
prangko itu, pasti memakai ludah kekasihnya walaupun sudah kering.
Tak lama berselang, ia mendapat surat balasan. Kekasihnya
menyatakan terima kasih atas kemurnian cintanya. Tapi maaf, katanya, yang
menempelkan perangko dulu bukan dia sendiri, melainkan tukang becak sebelah
rumah yang ia suruh untuk mengeposkan. Karuan saja pemuda itu nyengir kecut.
“Itulah ekspresi orang lagi mabuk cinta,” kata Pak Kiai menutup ceritanya.
Di tanah Arab, pecinta Layla disebut Majnun, si gila, karena
ia datang ke rumah Layla dan menciumi dinding rumah itu sepuas-puasnya.
Terhadap cemoohan itu, Majnun menjawabnya dengan puisi:
Kulalui depan rumah Layla
Kuciumi dinding dinding rumahnya
Tidaklah kulakukan itu karena cintaku kepada rumahnya
Namun karena cintaku kepada si penghuni rumah
Ya, cinta menurut psikolog muslim klasik Ibn Qayyim,
ditandai dengan perhatian yang aktif pada orang yang kita cintai dan ada
kenikmatan menyebut namanya. Ketika menyebut, atau mendengar orang lain
menyebut, nama kekasih kita, hati kita bergetar. Tiada yang lebih menyenangkan
hati daripada mengingatnya dan menghadirkan kebaikan kebaikannya. Jika ini
menguat dalam hati, lisan akan memuji dan menyanjungnya. Seperti itulah orang
orang yang mencintai Rasulullah saw.
Segera setelah Nabi saw wafat, Bilal tidak mau
mengumandangkan adzan. Akhirnya setelah didesak oleh para sahabat, Bilal mau
juga. Tapi, ketika sampai pada kata: “Wa asyhadu anna Muhammad …” ia berhenti.
Suaranya tersekat di tenggorokan. Ia menangis keras. Nama “Muhammad”, kekasih
yang baru saja kembali ke Rabbul Izzati, menggetarkan jantung Bilal. Bilal
bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah saw. Baginya, Muhammad adalah nama
insan yang paling indah. Justru karena cintanya kepada Rasulullah saw, nama
beliau sering diingat, disebut, dan dilantunkan.
Berbahagialah orang yang merasa nikmat saat bersholawat.
Karena menurut Rasulullah saw, orang yang paling dekat dengan beliau pada hari
kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat (H.R. Al-Tirmidzi). Ibnu
Athaillah berpesan: Betapa indahnya hidup ini jika engkau isi dengan taat
kepada Allâh. Yaitu, dengan cara berdzikir pada Allâh dan sibuk bersholawat
atas Rasulullah saw disetiap waktu disertai kalbu yang ikhlas, jiwa yang
bening, niat yang baik, dan perasaan cinta kepada Rasulullah saw. Sesungguhnya
Allâh beserta para malaikat Nya bersholawat atas Nabi saw, Wahai orang yang
beriman, ucapkanlah sholawat dan salam kepadanya (Al-Ahzab:56)
***
Sumber: Karunia bershalawat,