Si fulanah A mulai memikirkan desain tempat untuk resepsi
pernikahannya beberapa bulan lagi. Fulanah B dengan berbinar-binar memilih baju
pengantinnya di toko busana muslimah. Fulanah C asik mendaftar orang-orang yang
akan diundang dalam resepsinya, fulanah D rajin baca buku-buku tentang
pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, pendidikan anak dalam Islam, juga
mendengarkan kajian, tanya ini dan itu ke ibu-ibu yang lebih senior, kemudian
Fulanah E hingga Z semua sibuk dengan segala serba-serbi persiapan menjelang
pernikahan.
Alhamdulillah…turut senang rasanya mendengar kabar fulanah A
hingga Z sebentar lagi melepas status gadis mereka menuju mahligai pernikahan.
Apalagi fulanah A berusaha mempersiapkan tempat resepsi dengan disain
sedemikian rupa sehingga aman dari ikhtilat dan pandangan lawan jenis. Fulanah
B memilih pakaian pengantin yang tetap sesuai dengan syarat-syarat pakaian
muslimah atau setidaknya meminimalisir riasan meski perlu usaha keras untuk
mendapat persetujuan baik dari orangtuanya maupun dari calon mertuanya. Fulanah
C mengundang semua kerabat dan teman-teman yang sekiranya dapat diundang tanpa
memilah-milih status sosial dan ekonomi mereka. Fulanah D berusaha keras
mempelajari hal-hal yang harus dimengerti dan akan dijalaninya esok, walaupun
selama ini tidak jarang dia mendapati pengetahuan tersebut baik melalui
buku-buku, ceramah para ustadz, maupun obrolan dengan teman-teman yang shalih,
tapi dia merasa perlu mengulang dan menggali kembali ilmu-ilmu tersebut.
Fulanah F hingga Z, semua memberi inspirasi, juga menjadi bahan evaluasi diri,
namun juga terkadang membuat hati jadi galau…
Termotivasi untuk menikah hingga kadar tertentu adalah suatu
anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Menyadari bahwa pernikahan antara
laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta’ala,
sebagaimana firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
Berbesar hati dengan syari’at menikah dan tidak membencinya
sebagai bentuk realisasi iman kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjadikan kita termasuk golongan yang berada di atas sunnahnya,
serta motivasi untuk meraih berbagai pahala dalam rumah tangga, diperolehnya
keturunan yang shalih dan mendo’akan orang tuanya, terwujudnya keluarga yang
menegakkan syari’at Islam dan lain sebagainya menjadikan seseorang yang masih
lajang berkeinginan untuk segera menikah. Waah..senangnya ya sudah dipinang,
senangnya proses menuju pernikahannya demikian mudah, senang ya demikian…dan
demikian. Keadaan seseorang yang tidak kunjung menikah, dan pikirannya terlalu
disibukkan dengan hal tersebut dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan
berpaling menjadi kegalauan. Sedih ya…kok belum ada juga jodoh yang datang,
sedih ya…teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan
indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap
orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut
mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang
dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الكِتَابَ، وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ
مَالًا، فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Tidak ada iri kecuali untuk dua
jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al
Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang
kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia
membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan
agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari
diri orang tersebut.
Lantas bagaimana jika ghibthah itu kita tujukan pada
pernikahan teman-teman kita? Maka mungkin perlu kita tinjau ulang hal apa yang
membuat kita iri, jangan-jangan hanya sekedar ingin ikut-ikutan agar senasib
dan sama statusnya dengan teman-teman yang telah menikah, atau iri ingin
mendapat suami yang kaya seperti Fulanah X supaya hidup enak, atau yang populer
supaya ikut populer, atau yang tampan, ningrat dan lain sebagainya tanpa
memperhatikan bagaimana agamanya, maka hal ini tentunya tidak akan membuahkan
kebaikan bagi diri kita.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli
hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang
bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi
supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan
kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi
wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun
menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan
sedikitpun untuknya.
Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua
saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga
ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i
dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi
rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas
niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat
kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan
Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Mungkin berbagai usaha dan sebab-sebab yang dituntunkan
syari’at untuk mempermudah perjodohan telah dilakukan, namun hambatan dan
kegagalan itu masih menghadang di depan mata, sehingga akhirnya hati pun merasa
sempit dan berputus asa. Dalam keadaan yang demikian ada baiknya kita tengok
kegagalan dari saudari-saudari kita dan renungi betapa apa yang kita alami
tidak seberapa, betapa nikmat Allah yang masih bisa kita rasakan demikian
besarnya dibanding kegagalan untuk segera menikah yang dianggap buruk dalam
pandangan sebagian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى
من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang lebih rendah
dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak
untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada
kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita
lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga
saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal
menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal
di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan
pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih
merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk
diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan
kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi
hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang
hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita
sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban
sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun
dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan
membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang
yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari
lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk
bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ( ) وَإِلَى
رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai
(dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan
hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).