“Hendaklah
engkau menunaikan dengan baik hak dirimu dan orang lain secara sempurna tanpa
kurang sedikitpun dan tanpa mengulur-ulur waktu dan menundanya,”
(Hasan Al-Banna)
Saudaraku ...
Cobalah
perhatikan lebih seksama salah satu doa yang diajarkan Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam berikut ini
“Ya
Alloh rahmatMu lah yang aku harapkan. Maka janganlah Engkau serahkan diriku
kepada diriku sendiri, sekejap mata pun. Perbaikilah semua keadaanku. Tidak ada
Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Daud)
Tampak
jelas sekali sebagaimana Rasulullah shollallahu alaihi wasallam figur dan guru
paling baik untuk kita dalam kebersihan dan kesucian jiwa itu, memohon dengan
segala kesungguhan. Ia bermunajat dengan potongan-potongan kata yang begitu
merajuk memohon kasih sayang Alloh subhana wata’ala. Rasul yang ma’shum itu,
meminta, agar Alloh tidak membiarkannya sendirian menjalani hidup. Begitu
kuatnya permintaan Rasulullah agar Alloh tidak membiarkannya hanyut terbawa
oleh keinginan nafsu. Meski hanya tharfata’ain atau dalam sekejap mata. Sekali
lagi, meski hanya dalam sekejap mata.
Saudaraku ...
Penegasan
kata ‘sekejap mata’ dalam doa Rasul itu menandakan bahwa hidup ini memang
seharusnya tak boleh sedikitpun tergelincir dalam kedurhakaan. Hidup ini, satu
detik pun tidak boleh jatuh pada kemurkaanNya. Tidak boleh sejenah pun terbawa
dalam arus kemaksiatan. Kita sangat membutuhkan pertolongan Alloh di sini.
Seperti yang diungkapkan dalam bait-bait doa Rasulullah yang lain, “Wahai Yang
Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agamaMu.”
Saudaraku ...
Begitu
panjang rentang waktu yang harus kita lewati dalam hidup ini. Melangkahkan
kaki, satu langkah demi satu langkah. Menata dan menyusun amal-amal dari waktu
ke waktu. Melihat ke belakang, berapa jauh jarak yang telah ditinggalkan.
Sejauh dan sepanjang itul kewaspadaan kita untuk tidak ‘cenderung’ pada bisikan
yang mengajak pada kemaksiatan. Sejauh dan sepanjang itulah kita harus
senantiasa memohon dan menghiba kepada Alloh agar benar-benar memelihara dan
melindungi kita dari kesesatan yang membawa kesengsaraan.
Semoga
kita termasuk orang-orang yang mendapat kasih saya Alloh.
Saudaraku ...
Nafsu
keburukan itu tak pernah mati. Setiap kita berhasil mematahkannya, maka ia akan
muncul kembali dalam bentuk yang lain. Hal ini disebutkan dalam perkataan Ibnu
Atha-illah, “Setiap kali nafsu itu mati, maka Alloh akan menghidupkan nafsu
yang lain hingga ia mati dan pedangmu meneteskan darah mujahadah.” Begitulah.
Tuntutan nafsu manusia akan terus menerus merengek pada manusia untuk dipenuhi.
Ia bisa saja dipatahkan, tapi akarnya akan tetap ada dan suatu saat akan tumbuh
dan hidup kembali dalam bentuknya yang berbeda.
Karena
itu, kita memerlukan dua bekal kesabaran. Shabr badaniy dan shabr nafsaniy.
“Kesabaran itu mempunyai dua bentuk. Pertama disebut shabr badaniy, seperti
menanggung beban secara fisik saat melakukan pekerjaan berat yang terkait
urusan agama atau dunia. Kedua, shabr nafsaniy, seperti sabar dari menahan diri
dari keinginan hawa nafsu yang merongrong terus menerus,” begitulah kata Ibnu
Quddamah dalam Minhajul Qashidin.
Saudaraku ...
Kuraslah
semua potensi terpendam dalam diri kita untuk kebenaran. Habiskanlah waktu yang
kita miliki untuk mempersembahkan amal-amal shalih yang banyak itu. Karena,
pasti, jika kebenaran menghabiskan potensi terpendam dalam diri kita, maka
kebatilan tak akan mendapat tempat untuk menggunakan potensi itu. Jika
kebenaran telah menguasai hati dan sanubari kita, sudah pasti tak ada tempat
lagi bagi kerisauan, main-main, bisikan dan menjelek-jelekkan orang. Otak kita
mustahil secara fokus memikirkan lebih dari satu hal pada waktu bersamaan.
Beginilah yang difirmankan Alloh subhana wata’ala,”Alloh sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.” (QS. Al Ahzâb: 4)
Sebagaimana
kita tidak bisa membayangkan dua masalah dalam waktu yang sama, maka kita juga
tidak bisa mengumpulkan dua perasaan yang saling bertentangan. Tidak mungkin
kita bersemangat dalam suatu pekerjaan dan pada waktu yang sama kita cemas.
Karena salah satu dari dua perasaan ini mengusir yang lainnya. Imam Syafii
rahimahullah mengatakan, “Idzâ lam tusyghil nafsaka bil haqq, syaghalatka bil
bathil.” Jika engkau tak menyibukkan diri dengan kebenaran, maka dirimu akan
disibukkan dengan yang bathil. Jika kita tidak menyesuaikan diri dengan selalu
mengisi waktu dan bergerak cepat melakukan kebaikan, berjuang dengan potensi
yang teratur, maka kita akan terbawa arus pikiran buruk, gegabah, kesia-siaan,
senda gurau, kebohongan dan sebagainya.
Saudaraku ...
Ini
mungkin termasuk alasan, mengapa para penggagas gerakan Islam yang
berkonsentrasi pada pembinaan, selalu menekankan target amal-amal tertentu
untuk mengisi hari-hari seorang muslim. Mereka menjadwal dan mengevalusi
kegiatan secara rinci, dari target tilawah Al-Qur’an satu hari minimal satu
juz, shalat berjemaah, puasa tiga hari dalam satu bulan, menjaga wirid harian
setiap pagi hari dan petang, qiyamul lail dua kali dalam sepekan, ziarah kubur
satu kali per bulan, dan lain-lainnya. Selain merujuk pada perintah Alloh dan
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, pencapaian target amal ibadah harian itu
juga akan minimalisir kekosongan waktu yang sangat rentan bagi stabilitas iman
seseorang. “Hendaklah engkau menunaikan dengan baik hak dirimu dan orang lain
secara sempurna tanpa kurang sedikitpun dan tanpa mengulur-ulur waktu dan
menundanya,” begitu nasihat Hasan Al Banna.
Saudaraku
Kita
memang tidak boleh bermain-bermain dengan waktu. Karena, “Waktu bagai pedang
yang sangat tajam. Jika kita tidak mampu mengendalikannya, diri kitalah yang
akan menjadi sasarannya.” Tentu bukan berarti kita setiap hari kita harus berada
dalam kondisi tegang dan pasang urat kencang. Kita hanya diperintahkan ekstra
waspada dan hati-hati dalam memanfaatkan waktu.
Saudaraku yang dikasihi Allah ...
Terakhir,
di sini. Mari menghitung, berapa banyak waktu-waktu yang tak kita lewati di
jalan ketaatan? Berapa panjang jarak kesempatan hidup yang tak terisi dengan
amal-amal shalih? “Sering terjadi pada umur yang panjang masanya, tapi sedikit
manfaatnya. Ada pula umur yang pendek waktunya, tapi panjang manfaatnya.” (Ibnu
Athaillah, Al Hikam)
Berdo’alah selalu wahai saudaraku, agar Allah tak
melepaskan kita tanpa perlindungan-Nya, tharfa ‘ain, meski hanya sekejap mata.