Tentang Rindu, Diantara Senja dan Hujan


Aku terdiam mendengar rintik hujan di malam hari, seperti melodi yang melantunkan sepi. Mengapa memejamkan mata, justru semakin membuat aku terbelalak. Bahwa aku tersesat dalam kabut, tak dapat menemukan dirinya yang entah siapa. Dan kau tau, rindu memang menguasai apapun.

Aku terdiam mendengar rintik hujan di malam hari. Mungkin, aku yang merasakan melodi sepi dan memejamkan mata, justru semakin membuat terbelalak. Aku merindu purnama dalam gelap, mimpi dalam tidur, senyap dalam lelap. Rindu. Ya, aku rindu. sedang merindu.

Hari ini hujan kembali berusaha mendekati bumi berjatuhan dengan dentuman lembut, menghempaskan diri sendiri kemudian hancur. Terkadang malu- malu bersembunyi dalam kelabu, tak berani terjun. Dan terkadang, ia turun tanpa pikir panjang melepaskan segalanya, tidak mengindahkan mentari yang masih bersinar.

Pernah juga datang dengan angin, menyapa dengan petir, namun hujan tidak pernah tiba. Ia terlalu gusar. apakah bumi enggan dengannya, atau butuh bantuannya? pernah juga datang dengan lembut, perlahan menyentuh titik horizon, dan dalam terangnya siang menyejukkan hati yang sedang ingin berteduh.

Mungkin aku seperti hujan yang berusaha mendekati bumi dengan segala kelemahan, dibalik kegagahannya. Sekalipun hujan, akan sulit turun ditengah gurun pasir. Kau tau, merindu dalam kesunyian itu seperti alam yang berteriak. Kita takkan pernah tahu sampai kita benar-benar memahami suara alam. Dan engkau, takkan pernah mengerti suara rindu. Ya, kau mendengar, hanya saja dalam frekuensi yang berbeda. Takkan pernah sama.

Langit temaram di ujung hari, dan dalam waktu yang berlari, aku meneriakkan namamu, hingga rindu mengering dalam lautan kalbu. Hening dalam nyata malam, gegap gempita dalam hati temaram, tentang namamu yang kuucap berulang kali. Dan kau yang tak tergapai, biarkanlah aku singgah meski hanya sekedar mengucap rindu, meski hanya sekedar mimpi sembilu.

Malam dan hujan, berarak beriringan meninggalkan senja, dan kau tak juga bergeming, melihatku, tersenyum, tanpa tanda tanya. Ah, andai saja bisa kukatakan kalau aku merindumu, mungkin kelabu sudah berganti warna.

Berlalunya senja, kusadari bahwa merindumu seperti menanti sampan ditepian danau. Terlihat, namun tak pernah sampai, sebab engkau tak pernah memberi dayung.

Kesepian itu seperti berteriak, namun tak ada yang mendengarkan. Seperti halnya tatkala hati teramat merindukanmu, namun jauhnya jarak yang memisahkan membuatmu tak mampu mendengar jeritanku, apalagi sekedar melihat bulir bening yang menetes dari bola mataku.

Kali ini langit bercerita, tentang rindu yang kian tipis, tentang mimpi yang makin terkikis, tentang pilu yang sembilu. Sejauh mata memandang, hanya ilalang mewarnai, padang hati yang sunyi, menantimu menuai rinduku. Ingin kuucap namamu dalam setiap nafasku, tanpa jeda, tanpa henti, dan tanpa takut kehilanganmu.

Adalah malam tanpa rembulan, senja tanpa mentari, hujan tanpa kelabu dan tentang aku tanpamu. Kau tau, aku masih saja berharap melihat senja walau gelap telah melaluinya.


::: Soraya Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb :::