Perbedaan Salik dan Majdzub


“Dia (Allah) menunjukkan wujud nama-Nya melalui keberadaan makhluk-Nya. Diam menunjukkan sifat-sifat-Nya melalui keberadaan nama-Nya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya melalui keberadaan sifat-sifat-Nya. Karena, tak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya.

Orang-orang yang ditarik dan didekatkan kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.

Adapun para salik, mereka mengalami keadaan (hal) sebaliknya. Akhir perjalanan para salik adalah awal perjalanan kaum majdzub. Sedangkan, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal tersebut tidak berarti bahwa keduanya sama. Boleh jadi keduanya bertemu di jalan, yang satu sedang naik, sedangkan yang lainnya sedang turun.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa Allah menunjukkan asma-Nya melalui keberadaan jejak-jejak ciptaan-ciptaan-Nya yang baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Dzat Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Berkehendak dan Maha Mengetahui.

Dia juga menunjukkan sifat-sifat-Nya seperti qudrah (Mahakuasa), iradah (Maha Berkehendak), dan ‘ilm (Maha Mengetahui) melalui keberadaan asma-Nya. Melalui sifat-sifat-Nya tersebut Dia menunjukkan wujud dzat-Nya, karena tak mungkin sifat itu ada dengan sendirinya, tanpa sosok yang memiliki sifat tersebut.

Inilah keadaan para salik. Hal pertama yang tampak bagi mereka adalah jejak-jejak Allah, yaitu berupa perbuatan-Nya (af’al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya asma Allah. Asma Allah tersebutmenunjukkan adanya sifat-sifat-Nya. Dengan sifat-sifat itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. Mereka yang berkata “Kamai tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya.”

Sedangkan orang-orang yang majdzub mengalami kejadian sebaliknya. Hal itu diisyaratkan oleh Syekh Ibnu Atha’illah melalui mutiara hikmahnya, “Orang-orang yang ditarik dan didekatkan kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya sendiri. “Kemudia mereka dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya,” bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya.

“Lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya,” misalnya dengan menyaksikan hubungan antara asma Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.

Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat sifat-sifat-Nya. Selanjutnya, mereka kembali untuk bergantung kepada asma-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk-makhluk-Nya. Mereka itulah yang berkata, “Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.”

Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk-makhluk Allah setelah melihat Allah, maka akhir perjalanan para salik berbeda. Di akhir perjalanannya, para salik menyaksikan Dzat suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.

Dengan demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzab, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan ketergantungannya kepada Allah. Itu merupakan akhir perjalan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki keteguhan dan ilmu tentang keadaan (hal) perjalananya, serta pengetahuan tentang hambatan jiwanya.

Mereka tak akan ditarik Allah, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki keteguhan kalbu. Maka, di awal perjalananya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran-kemungkaran syar’i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu, karena akal mereka, yang merupakan alasan taklif, sedang tertutup oleh cahaya.

Di awal perjalan para salik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan dzat, asma, dan sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzub, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma, dan sifat-Nya.

Para salik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan. Sedangkan, para majdzub dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian (baqa) dan jalan kesadaran. Jika demikian, dapat juga keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju khalik, sedangkan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk.

Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma dan sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma-Nya. Namun, seorang majdzub jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat-Nya. Tentu saja, salik lebih utama dari majdzub karena ia banyak mengalami manfaat dari perjalananya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar.

Masing-masing dari ilmu salik dan majdzub bersumber dari perasaan, walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud nama-Nya melalui keberadaan makhluk-Nya...”
Seorang majdzub, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar “Syekh” karena dia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, dia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupan kondisi lainnya.

Demikian juga dengan salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli, dia tidak layak mendapat gelar “Syekh” karena dia belum sempurna. Yang layak mendapat gelar “Syekh” hanyalah orang yang telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan suluk-nya lebih dahulu dari jadzab-nya, maupun sebaliknya.

Terkadang, seorang majdzub melewati berbagai maqam dengan cepat dan dia juga mengetahui berbagai petaka jiwa sehingga dia layak menjadi syekh, meski harus tetap dengan kondisi jadzab-nya. Namun, ini hanya terjadi pada beberapa orang majdzub saja, seperti sosok Sayyid Ahmad Al-Badawi, dan tidak terjadi pada setiap majdzub.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam juga mengatakan, “Kadar cahaya kalbu dan rahasia jiwa hanya diketahui dalam selubung malakut, sebagaimana cahaya langit hanya tampak di alam dunia ini.”


--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi