Capung-Capung Senjakala


Di sore hari, ada capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang kegembiraan dalam kebisuan yang terhampar bersamaan dengan siklus cuaca.

Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, di antara susunan pematang dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.

Ketika merenungi dan memandangi mereka, aku berusaha mereka-reka dan memikirkan sejumlah tamsil: adakah mereka tengah melakukan ritual atau peribadatan tertentu? Ataukah sekedar merayakan perubahan iklim dan cuaca? Sekedar mengamini siklus dan rotasi gerak unsur-unsur dan hukum alam, di saat waktu sesungguhnya hanya ‘diam’.

Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah enggan menampakkan diri.

Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu, yang seolah menikahi ketabahan dan cuaca dingin, dingin yang merundung segala yang hidup dan bernyawa.

Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya memandangi capung-capung yang dapatlah kuumpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang di antara pohon-pohon kecil dan lalang-lalang liar.

Aku tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis dan bergerak dalam samar yang sunyi itu sebagai kiasan kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan.

Aku tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin.

Di sana ada banyak puisi dan perumpamaan yang tak dituliskan dengan kata-kata dan kalimat, namun dari merekalah kanak-kanak bahasa akan lahir untuk mereka yang menyukai menuliskan sajak dan nyanyian.

Ijinkan aku mendefinisikan apa itu membaca –yah berkenaan dengan alam dan segala yang hadir di hidup ini. Bagiku, membaca tak hanya melafalkan atau ‘membaca’ aksara-aksara dan tulisan-tulisan, tetapi juga mengakrabi, merenungi, dan mengintimi ‘kehadiran’ dalam hidup, yah seperti ketika aku memandangi dan merenungi para capung senjakala itu.

Karena itu, aku, tak hanya dapat belajar dari buku-buku yang kubaca, tetapi dari setiap yang hadir yang memunculkan minat dan rasa akrabku untuk merenunginya atau sekedar memandang dan memperhatikannya, seperti ketika aku berusaha memahami ‘waktu’ bersama mereka.

“Ketika redup matahari berkubang lembab cuaca
di senja yang sebentar lagi usai
aku tergoda untuk merenungkan para capung
yang menggetarkan sayap-sayap mereka
dengan gerakan lincah nan samar.

Betapa waktu sesungguhnya bercanda
bersama mereka. Kegembiraanmu untuk menafsir
yang tak dicatat lembar-lembar buku
di saat kau bosan atau jenuh. Sesungguhnya
kau dan aku acapkali saling menerka

di mana hati kita gerangan ingin singgah sebentar
dan menemu bahagia. Tahun-tahun,
yang kau sebut usia, barangkali cuma nama lain
untuk segala yang membuat kita lupa
bahwa ada anugerah dan berkat

yang luput kita baca. Sejenak, aku pun berpikir,
bagaimana bila kutulis puisi cinta
yang akan membuatmu tenteram selamanya
seperti juga ingatan yang paling berharga
yang terus kau kenang hingga maut pun tiba.”

 ::: Soraya Qurrotul’aiin SyifaaulgHalb :::