Surat Cinta Untukmu Ya Rasulallah


Duhai yang jauh dariku dan tempatnya di lubuk hati yang terdalam, duhai kekasihku ....
Perkenalkanlah, aku hanyalah salah satu dari ummatmu. Hanya setitik debu dari sekian banyak ummat yang begitu mencintaimu. Kerinduan yang semakin lama semakin membara, rindu yang semakin hari kian membelenggu, sesak dalam kalbu. Tatkala ada yang bertanya, cintakah aku padamu? Maka dengan cepat akan ku jawab,
“Tentu! Tentu aku sangat mencintaimu ya Rasulallah!” Jawaban yang sudah pasti kan sama bagi setiap jiwa yang mengaku sebagai ummatmu. Akan tetapi, tatkala pertanyaan berikutnya terlontar dari dinding hatiku,
“Mana bukti cintamu?,” aku kelu, kaku oleh pikiranku sendiri. Bukti? Mungkinkah yang engkau maksudkan adalah sejauh mana aku menjalani sunnah-sunnahmu? Menjaga amal ibadahku sesuai syari’atmu? Membiasakan indraku untuk terus berakrab ria dengan sirahmu, pun shalawat cinta untukmu?
Semoga Allah mengampuniku ya Rasulallah ....
Maafkan aku, jika sampai detik ini aku masih saja merangkak pelan seperti kura-kura untuk membuktikan semua itu. Terlalu sering berbelok arah, lantas sekuat tenaga berusaha lurus lagi-belok lagi-lurus lagi, begitu seterusnya. Hingga kerapkali aku tertegun, terpana, merasa malu jika melihat satu ummatmu yang berjalan secepat kilat, meluncur serupa pesawat, dan berlari seumpama kuda, berlomba-lomba mencintai Allah lewat lintasan sunnahmu. Aku bercermin pada diriku sendiri yang sampai detik ini masih saja merangkak pelan. Satu-satu menghitung langkah demi langkah yang kian tertatih. Terasa berat oleh beban yang sebagian besar berasal dari diriku sendiri. Kutengok cinta dalam genggaman hatiku, cinta yang ingin ku persembahkan pada Allah dan dirimu. Semoga Allah mengampuni betapa kerdilnya cinta yang kubawa ini, betapa compang-campingnya cintaku ini.
Sepanjang lintasanmu ya Rasulallah. Lintasan yang telah, sedang, juga akan dilalui oleh seluruh ummatmu hingga akhir zaman. Maafkan aku yang kerapkali tergoda. Menengok sana-sini. Hingga tak jarang, gang terlarang kumasuki dengan langkah yang begitu ringan. Betapa Allah dengan sifat terbaik-Nya, tak kenal lelah memberi peringatan. Dan atas izin-Nya, selalu kutemukan dirimu pada setiap gang itu. Menuntunku untuk kembali ke lintasanmu. Kurasakan, kau datang dengan kata-kata yang teramat menyejukkkan.
“Duhai hamba Allah, duhai ummatku .... Kau salah jalan. Ayo balik arah dan ikuti lagi tanda panah itu.”
Kudapati itu lewat firman Allah yang terwariskan olehmu, lewat sunnahmu yang dengan indah terukir dalam kitab-kitab perawimu, lewat sirahmu yang teruntai begitu menawan dari hati para pecintamu, lewat hatiku yang sontak tergetar tiap mendengar lantunan shalawat cinta untukmu.
            Ketika shalat, puasa, mengaji, dzikir, dan sekian amal ibadah lain membuatku merasa sudah utuh menjadi ahli takwa, wanita shalehah, bahkan pewaris Surga. Maka engkau dengan senyum manismu memanggilku, lantas menegurku, “Kebesaran adalah pakaian-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. −Allah SWT berfirman− Barangsiapa menyaingi Aku (Allah) pada keduanya pasti akan Ku adzab ia.”
            Ketika kumasuki gang terlarang bernama amarah, kau memberi satu rahasia indah, “Bukanlah orang yang kuat itu yang dapat membanting lawannya, akan tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya sewaktu ia marah.”
            Tatkala rasa iri, dengki, hasud, dan kroni-kroninya merayuku untuk memasuki gang mereka, kau kembali menasehatiku dengan penuh cinta. “Kamu sekalian satu sama lain, janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi, dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar oleh orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh mendhaliminya, menelantarkannya, mendustainya, dan menghinakannya.”
            Ketika gang membantah orang tua berkali-kali menarikku paksa masuk kedalamnya. Hingga tak jarang membuat mereka kesal. Nyaris marah. Aku tersungkur oleh teguranmu. Menghiba memohon ampun, “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan orang tua.”
            Seperti katamu ya Rasulallah. Salah satu gang yang paling banyak membuat wanita tergoda untuk memasukinya adalah keluh kesah. Maka ketika yang keseribu kalinya kata keluh keluar dari lisanku, kau kembali menegurku lewat hadits Qudsi dari-Nya, “Barangsiapa yang tak ridha terhadap ketentuan-Ku dan tak sabar atas musibah dari-Ku maka carilah Tuhan selain Aku.” Hatiku tertampar, jiwaku terbakar. Ampuni hamba ya Rabbi.
            Gang lainnya yang banyak membuat wanita tergoda adalah membicarakan aib orang lain. Firman Allah kau sampaikan dengan pelan, namun mampu membuat hatiku bergetar ketakutan.
“Dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
Aku beku. Menggigil ketakutan, membayangkan sudah berkilo-kilo bangkai manusia yang masuk ke dalam jiwaku. Menjadi santapan bagi ruhku. Ya Rabb, perkenankah Engkau membersihkannya kembali.
            Semua teguran itu hanya sedikit dari apa yang telah kau berikan untukku setiap waktu. Pun ketika kau menghiburku atas amal diri yang amat pas-pasan. “Amal yang paling dicintai Allah SWT adalah amalan yang konsisten walaupun itu sedikit.”
Juga rasa rendah diri yang lama menetap dalam hati sebab fisik yang tak rupawan. Kau membujukku pelan, amat membahagiakan. “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.”
            Ya Rasulallah, lewat sirahmu, kisah cintamu dengan para sahabat membuat hatiku menangis. Aku rindu, aku iri oleh cinta yang luar biasa. Aku ingin hidup di zaman itu, suatu zaman dimana aku dapat mendengar merdu suaramu, menatap teduh wajahmu. Menjadi makmum dalam barisan shalatmu, meski berada pada shaf yang paling akhir. Mendengar untaian nasehat yang terlantun langsung dari lisanmu. Membantu perjuangan para Mujahid dalam menegakkan aqidah, meski hanya sekedar seteguk air yang dapat kuberikan pada para pejuang. Meminta nasehat pada ummul mukminin yang mulia. Menyaksikan kesederhanaan hidup mereka. Mengenal lebih dekat para muslimah yang luar biasa, turut serta dalam barisan perjuangan mereka.
            Kubayangkan diriku berada tepat dibelakang Asma’ binti Yazid yang menanyakan perihal amalan wanita yang dapat mengimbangi amalan laki-laki. Lantas ikut bertahlil dan bertakbir mendengar kabar gembira darimu.
“Perlakuan baik salah seorang dari kalian kepada suaminya, usahanya mencari keredhaan suaminya, dan keta’atannya kepada suaminya dapat menyamai pahala dari amal laki-laki yang engkau sebutkan tadi (shalat berjama’ah, mengantar jenazah, dan berjihad di medan perang).”
            Kubayangkan pula dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan ketegaran al-Khansa, ibunda para Syuhada’. Hatiku turut bergetar saat mendengar kabar kematian keempat anak-anaknya. Ia berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan menjadikan anak-anakku sebagai Syuhada.”
            Ya Rasulallah .... Betapa indah kubayangkan hal itu. Lagi-lagi kau menjawab inginku dengan kata-kata sejuk serupa air dingin ditengah teriknya padang pasir. Kala itu engkau pulang sembari menangis. Maka para sahabat pun bertanya padamu :
“Apa yang membuat engkau menangis wahai Rasulullah?”
Lalu engkau menjawabnya, “Aku merindukan saudara-saudara seimanku.”
Para sahabat bertanya lagi, “Bukankah kami adalah saudaramu seiman wahai rasulullah?”
Dengan deraian air mata, kau menjawab : “Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudar-saudaraku seiman adalah suatu kaum yang datang setelahku. Mereka beriman kepadaku, sedang mereka belum pernah melihatku.”
Hatiku tercekat oleh rindu. Tak mampu kubendung air mata saat aku membaca kisah itu. Aku menangis tersedu. Tangisan kerinduan yang tak terperi. Satu kisah yang membuatku mengubah mimpiku tentangmu. Aku tidak akan pernah bisa menjadi sahabatmu, tapi sangat berharap dapat menjadi saudaramu. Mungkinkah ya Rasulallah? Aku tahu, jawabannya ada pada diriku sendiri.
            Untuk kesekian kali, dadaku tergetar oleh panggilanmu. Bolehkah aku merasa yakin bahwa itu juga ditujukan padaku? Tatkala detik-detik terakhir kau berada di dunia. Dengan nada khawatir kau memanggil, “Ummatku, ummatku, ummatku .....”
Malaikat Jibril pun bertanya kepadamu : “Wahai kekasih Allah, apa yang sebenarnya ingin engkau tanyakan?”
Dengan perkataan terbata-bata, kau pun menjawabnya, “Perihal kegelisahanku, apakah yang kelak kan diperoleh ummatku yang berpuasa pada bulan Ramadhan setelah kepergianku? Apakah yang akan diperoleh ummatku yang berziarah ke Masjidil Haram setelah ketiadaanku?”
Duhai pelipur laraku, betapa khawatirnya engkau terhadap ummatmu melibihi kawatirnya engkau terhadap dirimu sendiri.
            Ya Rasulallah .... Duhai kekasih Allah, aku disini. Meski masih saja terus merangkak dan kerapkali terjatuh. Sedang berusaha tuk dapat berdiri agar mampu berlari. Menjawab panggilanmu. Demi kecintaanku pada Allah, pula dirimu. Akan terus kulalui lintasan sunnahmu, menuju ridha-Nya. Meski nanti jika kesekian kali aku berbelok lagi. Aku yakin kau akan berada disana. Memapahku, menegurku dengan penuh cinta. “Duhai ummatku, kau salah jalan. Ayo balik arah dan ikuti lagi tanda panah itu.” Aku yakin akan hal itu, sangat yakin.
                                                            Dengan penuh cinta dan rindu yang membanjiri hati ....
                                                                                    Dariku, setitik debu dari semesta ummatmu

***

Aku menghela nafas panjang, menyekat air mata yang berdesakkan ingin keluar, ku pandangi lamat-lamat lembaran demi lembaran usangku. Aku menyudahi bacaanku, lembaran surat yang sanggup membuat pembacanya pilu. Hingga menyisakan sebuah kerinduan yang mencekik raga, menguras air mata.
Kini, waktu yang Engkau suguhkan begitu cepat, sehingga langkahku lebih sering berada di garda akhir. Namun, waktu yang Engkau hadiahkan begitu berhaga dalam masaku, dalam sejarah hidupku yang tanpa aku tau ending diriku sendiri, namun kuroja’kan segala harapan dalam Iradah-Mu, ku Khaufkan segala takutku dalam Iman taqwa terhadap-Mu, ku hubbkan hati dalam keridhaan-Mu lewat perantara kekasihmu, Rasulullah SAW.
Duhai kecintaanku, duhai Rasulullah ...
Tambahkanlah kepadaku rasa cinta pada setiap hembusan nafasku
Duhai pujaan hati orang yang kesepian, duhai pelipur laraku
Janjimu adalah sebuah pertemuan indah
Aku selalu menyebut namamu sehingga dikatakan;
Tidak mengenal benci
Aku selalu merindukan kedatanganmu sehingga dikatakan;
Ia tidak bersabar lagi
Sungguh hatiku berguncang kala mengingatmu
Ibarat hujan tatkala menghilangkan kotoran burung
Cinta itu hanyalah bila sekiranya hatiku
Dekat pada bara api aejarak lembing
Maka bara api itu akan membakarnya
Duhai Kekasihku ....
Nantikan aku, di Telaga Kautsar-mu
Terberkati mata yang menangis karena teringat Sang Rasul, dan terberkati hati yang tersulam dalam cinta-Nya. Karena jikalau bayi tak menangis, maka air susu tak mengalir dari dada seorang ibu. Dan selama awan tak meneteskan air hujan, maka dedaunan takkan menghijau. Dari tangisan awanlah, dedaunan menjadi hijau dan subur. Dan sebanyak lilin menangis, sebanyak itu pulalah bertambah cahayanya.


                                                                        Langit Kota Kretek, 14 September 2017

Oleh : Soraya Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb