Ketika itu, hari cukup cerah. Di atas bangku taman,
sahabatku bercerita kepadaku tentang angka 7.
Bersamanya aku merancang sebuah kehidupan indah di sana,”
katanya. Dia tak menatapku, tetapi menatap kosong ke depan.
“Di mana?” Aku menatap wajahnya heran, kemudian mengikuti ke
mana arah pandangnya.
Kehidupan di masa mendatang yang masih dalam catatan mimpi
kami berdua,” katanya. Aku menghela napas ‘Hhhh’ dan dia melanjutkan ceritanya.
Sebelum berbicara mengenai rencana hidup ke depan,
bersamanya pula aku membicarakan warna gaunku dan jas yang akan dia kenakan di
hari bahagia itu. Warna dasar krem dipadu dengan batik cokelat tua. Paduan
warna itu yang menjadi pilihan kami. Menurutku, paduan warna itu cocok untuk
dua manusia dengan gender berbeda. Pas untuk wanita, juga pas untuk pria karena
aku tak terlalu suka melihat laki-laki menggunakan warna cerah, seperti pink,
ungu, atau hijau menyala.”
“Hmmm, selera kalian bagus juga. Bang, beli ice cream dong.”
Aku tahu ceritanya masih panjang dan pasti aku akan bosan jika tak memakan apa
pun.
Tak lama, hanya 7 tahun aku bersamanya. Menuang teh
bersama-sama setiap sore di kafe yang sama. Memesan tiket nonton dan mengunyah
pop corn berdua. Mengumpulkan uang untuk bersenang-senang saat liburan. Entah
berapa banyak tempat wisata yang sudah kami kunjungi, mungkin hampir semua kota
wisata di Indonesia sudah kami jejaki bersama. Menurutmu, menyenangkan bukan
hidup sepertiku? Menikmati hidup bersama orang yang kau cintai.
Bersenang-senang bersama di usia muda,” lanjutnya.
“Menyenangkan sih, tapii …. Ah, sudahlah. Lanjutkan saja
ceritamu.”
Tak cukup sampai pada kesenangan itu saja. Kami pun sudah
memiliki harapan yang dia sebut sebagai mimpi di masa depan. Aku diajaknya
menuliskan cita-cita manis untuk kehidupan mendatang. Satu kehidupan di masa
depan yang dia katakan padaku ‘Ini pasti akan menyenangkan jika terjadi’.”
“Coba katakan, apa tadi dia bilang? Jika terjadi? Itu
artinya belum pasti?” Sahabatku ini pura-pura tak peduli pada ekspresi
spontanku.
Aku tersenyum menatap tawa riangnya kala itu sambil
mengabaikan kata jika yang terucap dari bibirnya. Aku terus berharap padanya
dan menuliskan semua cita dan cinta kami besama. Tak terasa, ternyata untuk
menuliskan cita-cita saja memerlukan waktu 7 tahun, ya? Kuharap tidak akan
lebih lama lagi dari itu karena aku sudah mulai lelah menuliskannya. Aku ingin
benar-benar merasakannya.”
“Merasakan apa?”
Merasakan kehidupan yang sesungguhnya, hubungan sah yang
tercatat oleh hukum bumi, terutama langit.”
“Oh, menikah maksudmu? Kupikir apa,” jawabku.
“Coba jauhkan pikiran kotormu. Aku sedang serius bercerita.”
“Ya, baiklah. Ngomong-ngomong, berapa lama lagi ceritanya
selesai? Ice cream-ku sebentar lagi habis. Apa aku perlu memesan lagi?”
Tak perlu, sebentar lagi ceritanya selesai.”
“Tapi, apa benar kau sudah bersamanya selama 7 tahun? Tak
lebih dan tak kurang?” tanyaku.
Yup, 7 tahun. Waktu yang cukup lama, ya?”
Aku mengangkat bahuku, berusaha pasif agar dia menilai
sendiri kejadian ini. Aku tak perlu ikut memberi pendapat karena dia sudah tahu
apa pendapatku. Tanpa perlu mengatakannya, dia sudah paham bahwa aku tak setuju
dengan kisah cintanya sejak dulu. Kadang-kadang membuat seseorang tersadar tak
perlu dengan omelan atau nasihat panjang, jawab saja dengan diam dan buatlah
dia berpikir sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Suatu saat, hati
kecilnya sendiri yang akan menuntun pada kebaikan. Aku yakin dia tidak akan
bisa menolak keinginan hati kecilnya.
Ups… Sabar-sabar. Tujuh tahun bukan waktu yang lama. Baru 7
tahun, belum puluhan tahun. Aku percaya dia akan memenuhi janjinya, aku hanya
perlu bersabar kan? Sampai dia benar-benar mampu membuktikan semua yang
dikatakannya. Aku tak akan ragu padanya. Katanya, ‘Untuk apa bilang cinta bila
tak saling percaya’.”
“Dia bilang begitu?”
Iya.”
“Memang kamu mengatakan kamu mencintainya?”
Tidak langsung seperti itu, tetapi aku menerimanya dan
menunjukkan aku bahagia jalan bersamanya.”
“Jalan ke mana?”
Itulah masalahnya, kami berjalan tanpa ada tujuan.”
“Emmmm.. pantas saja.”
Ah, aku mulai bosan hanya bisa berangan-angan. Aku pun sudah
bosan jika harus bertanya lagi kapan dia mampu memenuhi janjinya.”
“Nah kaaan, sudah kuduga …. Mengapa bosan bertanya? Bukankah
yang kamu butuhkan adalah kepastian?”
Aku tahu saat ini dia belum benar-benar mampu. Namun, dia
bilang cinta dan aku pun menerima cintanya. Padahal, jelas-jelas aku tahu dia
belum mampu dan kami sudah berjalan bersama selama 7 tahun. Dia mengatakan
padaku ‘Sudahlah jalani saja,’ lalu aku menuruti katanya.”
“Kamu mau tanggapan apa dariku?”
Tak perlu, dengarkan saja.”
“Baiklah.”
Dulu, tak terpikirkan olehku bahwa aku akan berpikir seperti
hari ini. Angan-angan itu, janji-janji manis itu, apakah tidak sayang jika aku
tinggalkan begitu saja? Seperti inikah rasanya lelah dalam posisi diam.
Diam-diam mengharapkan sesuatu yang tak tahu kapan akan terjadi, diam-diam
mendambakan sesuatu yang tak jelas juntrungannya.”
“Diam-diam kamu lelah karena raga tak digunakan untuk
berjalan pada satu tujuan yang pasti. Tubuhmu terasa pegal karena terlalu lama
duduk hanya untuk menanti sebuah harapan?”
Yap. Begitulah. Selama 7 tahun dia terus menawarkan
angan-angan. Sial, mengapa aku baru berpikir tentang ini sekarang, kawan?”
“Apa?”
Iya. Meski sesungguhnya aku terlena dengan angan-angan yang
kami buat bersama, tetap saja aku adalah seorang wanita yang hidup di dunia
nyata. Aku seorang wanita yang ingin menimang tubuh bayi mungil dengan
tanganku. Aku seorang anak yang diminta secepatnya memberi kebahagiaan kepada kedua
orang tuaku dengan menghadirkan jagoan kecil atau putri cantik yang akan mereka
panggil dengan sebutan cucu.”
“Sejak tadi aku tak memengaruhimu apa pun, ya. Aku hanya
mendengarkan. Kau sendiri yang mengubah pemikiranmu. Aku hanya bersyukur kamu
masih waras. Lalu, apa rencanamu?”
Minta kepastian.” Jawabnya santai
“Apa? Coba katakan lagi?”
Minta kepastian kawanku sayang. . .”
“Kalau dia tak sanggup memberi kepastian?”
Ya, tinggalkan. Kau mau sahabatmu tua hanya bersama
angan-angan?”
“Lucu juga.” Dia
menoleh ke arahku dan menjejalkan semua ice cream ke dalam mulutku.
Begitu akhir ceritaku di bangku taman. Adakah dari kalian
merasakan hal yang sama?
Hai wanita, kusarankan padamu untuk jangan terlalu percaya
pada janji manusia, percaya pada janji Tuhan saja.
Dan, kau laki-laki. Maafkan aku harus mengatakan ini.
Sebaikanya, kamu katakan janjimu dalam hati saja. Berjanjilah pada diri sendiri
dan biarkan Tuhan yang mencatatnya. Hidupmu akan lebih tenang karena tak ada
satu pun manusia yang terus-terusan menagih janji padamu, kecuali dirimu
sendiri. Selain itu, ketika tak terpenuhi, kamu tidak akan merugikan siapa pun,
kecuali dirimu sendiri.
Hidup adalah kenyataan yang harus kita jalani dengan
sebaik-baiknya cara, bukan sekadar angan-angan yang kita biarkan tanpa upaya
dan dengan sok pasrah kita katakana, “Sudahlah, jalani saja.”
Jika tak mau saling melepaskan, coba katakan satu kepastian.
Bukan impian, bukan harapan, bukan alasan. Satu kepastian, coba katakan.
Sanggupkah?
Jika tak mau memberi kepastian, aku sarankan kepadamu untuk
terluka hari ini saja dan nikmati kehidupan lebih baik di masa yang akan
datang.
Tiba-tiba, sahabatku mengirimkan pesan singkat ke ponselku.
Lalu, bagaimana dengan angka 7 yang sudah kami lewati
bersama?”
“Apa? Kamu masih peduli dengan waktu 7 tahun yang sudah
lalu? Kamu tidak peduli dengan puluhan tahun yang akan datang? Atau, kamu juga
tak peduli pada masa lain yang tak lagi bisa kamu perbaiki, seperti mati
contohnya?”
Dia tak membalas. Semoga dia memang benar-benar sudah
mengerti.
Co_Past
Based on: Coba katakan—Maliq D’Essentials