Siang itu, tak seperti kebanyakan
wanita zaman sekarang yang dengan mudahnya berinteraksi dengan laki-laki tanpa
ikatan, Haura lebih memilih untuk duduk dibawah pohon sambil membaca buku.
Dakwah Islam, itu buku favorit yang selalu ikut mengisi waktunya
ditengah-tengah kosongnya jadwal kuliah.
Haura memang berbeda, di tengah
maraknya gaya hedonisme, pergaulan bebas, di mana kata “halal” atau “haram” tak
lagi penting, dimana “dosa” dan “pahala” hanya tinggal kata-kata tanpa makna,
namu Hauraa tetap memilih kokoh dengan prinsipnya.
Tak ada hubungan special sebelum ada
pernihakan. Haura yakin, tak ada hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
benar-benar tulus. Pada akhirnya aka nada perasaan yang berbeda dan itu yang
selalu dijaganya.
“Hey Ra, sendirian aja?” sapa Dini
mengagetkan Haura.
“Iya nih, tanggung bacanya. Dikit
lagi selesai,” jawab Haura sambil merubah posisi duduknya yang kini menghadap
Dini. Rasanya tak enak bila berbicara tapi tak melihat orangnya. Kesannya tak
sopan.
“Kamu nggak ada niat buat .. emm,
pacaran? Atau minimal punya teman dekat gitu? Usia kita kan udah nggak labih
lagi. Bentar lagi udah tamat, kamu berniat menikahkah?” tanya Dini
bertubi-tubi.
“Nggak sih Din. Jodoh kan nggak
kemana. Allah pasti mempertemukan kita dengan jodoh kita lewat cara yang paling
indah. Bahkan nggak bisa kita bayangkan sebelumnya,” jawab Haura dengan mantap.
“Tapi Ra, kalau nggak ada usaha
gimana mau dapat??”
“Ukhti Dini, apakah ketika Sayyidah
Aisyah menikah dengan Rasulullah lantas Aisyah kesana kemari mencari jodohnya?
Apakah ia menjalin hubungan sepesial dengan laki-laki lain? Tidak ukhti, yang
dilakukan Aisyah hanya memantaskan diri, menjadi wanita sholiha hingga akhirnya
Rasulullah melamarnya. Lalu knapa kita tak mengikuti Beliau? Memantaskan diri
terlebih dahulu! Ukhti, jodoh tak akan tertukar. Dan jodoh adalah cerminan
diri.”
“Jika hari ini kita di sini
mencoba-coba menjalin hubungn denga laki-laki, maka kemungkinan besar jodoh
kita yang sesungghnya juga melakukan hal yang sama. Memang ukhti mau? Apa ukhti
siap bila menikah nanti lalu ukhti tau bahwa jodoh uhkti mungkin sudah berpuluh
kali mencoba dekat dengan wanita lain? Apa ukhti siap bila ternyata ukhti bukan
wanita pertama dalam hidupnya?”
“Atau yang lebih parah lagi,
wanita-wanita terdahulu yang sempat mampir dalam hidupnya justru masih
meninggalkan kesan medalam dalam hatinya? Ukhti siap untuk itu? Jika siap maka
lakukanlah ukhti. Jalinlah hubungan dengan laki-laki lain. Tapi ukhti, ingat,
dia juga mungkin sedang melakukan hal sama diluar sana” kata Haura bijak.
Muka Dni mulai memerah. Entah malu atau
mungkin saja merenungkan kata demi kata yang baru saja keluar dari lisan Haura.
“Kamu benar Raa. Aku tak siap untuk
itu,” kata Dini diam-diam membenarkan ucapan Haura.
*****
Di lain waktu yang begitu terik,
Haura bersusah payah berjalan langkah demi langkah untuk halaqah rutin. Sebagai
aktivis dakwah yang sedang berproses untuk maksimal dalam dakwah, Haura
terlihat begitu menikmati setiap langkah dalam kesusahan tersebut. Tak ada raut
lelah apalagi menyesal telah menempuh langkah ini. Justru Haura merasakan cinta
yang tiada tara di dalamnya.
“Assalamu’alaikum Ukhti. Afwan Haura
terlambat. Tadi sedikit nyasar dulu” ucap Haura menjelaskan alasan
keterlambatannya pada Musyrifahnya.
“Oh iya tidak apa-apa. Silahkan
masuk. Belum mulai juga halaqahnya. Ana yang harusnya minta maaf karena
memindahkan tempat halaqah secara mendadak. Begini ukhti Haura, mendadak fauzan
sakit. Jadi kasihan jika harus meninggalkan fauzan di rumah. Membawa ke tempat
halaqah pun rasanya kurang bijak. Takut Fauzan malah terlalu capek nantinya. Afwan
ya ukhti,” jelas Wulan.
“Duhai rabb, inilah cinta yang
selama ini selalu kurindukan. Cinta yang semata hanya karenaMu. Bahkan di saat
putranya sakit pun, dia tetap memikirkan bagaimana supaya halaqah tetap
berjalan tanpa mengabaikan kewajibannya sebagai ibu. Ya rabb, semoga kelak
hamba mampu seperti ukhti Wulan yang bisa memanajemen waktunya dengan begitu
baik. Tetap maksimal dalam dakwah walau kewajiban rumah tangga mungkin
menumpuk,” ucap Haura dalam hati.
Beberapa menit selanjutnya halaqah
pun dimulai. Haura dan teman sehalaqah mendengarnya penjelasan sang Musyrifah
dengan antusias. Diam-diam Haura membayangkan bagaimana seandainya nanti ketika
dia sudah layak untuk mengisi halaqah, ”aih pasti sangat nikmat saat bisa
membagikan ilmu yang tak seberapa ini ke orang lain. Semua karena cinta. Bahkan
hari ini aku memilih jalan dakwah pun karena aku mencintai saudariku. Aku
mencitaimu saudariku seperti aku mencintai diriku sendiri” lirih Haura pelan
sambil membayangkan wajah-wajah temannya yang akan menjadi target untuk di
sentuhnya dengan dakwah nantinya.
Pagi ini Haura sudah siap dengan
semangat dakwah yang luar biasa. Dia tak sabar untuk membagikan ilmu yang tak
seberapa itu ke teman-temannya. Haura tau pasti akan ada abaian atau mungkin
cacian yang akan ia terima ketika berdakwah.
Tapi itu tak mampu menyurutkan
sedikitpun semangat yang sudah dipupuknya. Bahkan itu ibarat cambukan
“Bismillah, ya rabb, luluhkanlah hati mereka sebagaiman dulu Engkau meluluhkan
hatiku, mudahkan lisan ini sebagaiman dulu Engkau memudahkan lisan Kak Wulan
dalam mendakwahiku” pinta Haura disertai tetasan air mata.
Tampak begitu tulus doa Haura hingga
air mata pun tak segan-segan untuk keluar. Haura ingat bagaimana dulu ia begitu
menentang dakwah bahkan sempat mencaci maki Wulan yang kini jadi musyrifahnya.
Tak sekadar jadi musyrifah, tapi jadi salah seorang yang paling dekat
dengannya.
“Kak Wulan, doakan Haura ya. Haura
mau mengikuti jejak kakak dalam berdakwah. Haura mau seperti kakak. Haura mau
mendapat syurga yang Allah janjinkan, Haura mau duduk di majelis syurga nanti
yang diisi langsung oleh Rasulullah,” tulis Haura lalu mengirimnya pada Wulan.
Sekejab kemudian handphone Haura
berbunyi ”Hamasah ya adikku. Dakwah adalah cinta maka sentuhlah mereka dengan
penuh cinta. Jangan menggunakan bahasan yang kasar karena Haura dan kakak
sendiri pun tersentuh dengan dakwah karena kelembutannya. Insha allah, jauh
didepan sana, ada syurga yang sedang menantimu dik. Ada rasulullah yang sedang
merindukanmu. Ingatkan dik, Rasulullah pernah bilang bahwa dia merindukan
umatnya di akhir zaman yang masih berpegang teguh dengan Al-Qur’an di saat banyak
yang justru melupakan Al-Qur’an. Itu adalah kita dik. InsyaAllah, kita akan
jadi umat yang dirindukan Rasulullah selama kita istiqomah dalam jalanNya.
Hamasah. Allah maha memudahkan” balas Wulan.
“Ah inilah yang membuatku semakin
mencintaimu karena Allah kak Wulan. Karena kata-kata mu yang begitu lembut dan
selalu ada cinta didalamnya.” []
Memang seperti itu dakwah.
Dakwah adalah cinta.
Dan cinta akan meminta semuanya dari
dirimu.
Sampai pikiranmu.
Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.
Bahkan di tengah lelapmu, isi
mimpimu pun tentang dakwah.
Tentang umat yg kau cintai.
Teruslah bergerak, hingga kelelahan
itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan
itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan
itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan
itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan
itu lesu menemanimu.
::: Sorayaa Qurrotul'aiin SyifaaulgHalb :::