Selagi aku masih duduk di Daruzzahro, Guru Mulia Al Habib
Umar bin Hafidz pernah berkata kepada salah satu putri beliau:
“Darul Mustofa dan Daruzzahro ini bukanlah kepunyaan kita,
sekalipun ayah yang mendirikannya tetapi sejatinya adalah kepunyaan Kakek kita
Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam beserta putri
kecintaan beliau ibu kita Sayyidah Fatimah Azzahro Radhiyallohu ‘Anha, maka
sekali-sekali kamu jangan berbuat seenaknya di dalamnya, harus tunduk dengan
segala macam peraturannya, jangan memakan hak-hak tamu Azzahro sebelum mereka
semua telah habis makan kecuali sisa-sisa puing makanan dari mereka. Ingat !!
peran kita di sini hanya sebagai pembantu, khaddam, dan pelayan yang melayani
rumah ini beserta tamu-tamunya”.
Pada suatu hari, saat jam istirahat, aku hendak pergi ke
kamar kecil, tetapi aku melihat putri kecil putri bungsu Habib Umar bin Hafidz
duduk seorang diri di salah satu tangga Daruzzahro sambil memegang perut, maka
aku pun menghampirinya dan bertanya:
“Ada apa denganmu wahai putri mulia?“
Maka dengan polosnya ia menjawab bahwa ia dalam keadaan
lapar dari tadi, sebab sebelum pergi ke sekolah tidak sempat bersarapan
terlebih dahulu, khawatir terlambat ucapnya. Spontan aku membalas ucapannya dan
berujar:
“Mengapa yang mulia tidak mengambil sepotong roti di ruang
makan Darruzzahro saja?”.
Ia hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Atau pulang sebentar ke rumah mengambil sarapan?”, tawarku
kembali.
Ia pun tetap membalasnya dengan gelengan.
Aku semakin keheranan: “Bukankah engkau putri guru mulia
kami (Habib Umar bin Hafidz)? Pemilik Daruzzahro ini wahai yang mulia?”.
Maka ia pun menceritakan pesan sang ayah untuk putra putri
dan seluruh keluarga. Mendengarnya, aku tercengang dan terkejut, ku rasakan
sudut mataku mulai berembun, hatiku bergetar mendengar penuturannya. Tidak
hanya sampai di situ, putri kecil guru mulia mengejutkanku dengan perkara lain.
Merasa kasihan dan tak tega, aku pun merogoh saku baju dan mengambil selembar
uang di dalamnya:
“Jika begitu ku mohon ambilah ini sebagai hadiah dariku, dan
belilah sedikit makanan untuk mengganjal perut yang mulia”, ucapku penuh harap
sambil menyodorkan selembar uang itu ke hadapannya. Ia tersenyum ramah, mata
beningnya menatapku lembut dan ia menolak halus pemberianku dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya, namun aku terus merayu dan memohon agar dia
bersedia menerimanya, tetapi putri kecil guru mulia tetap bersikeras untuk
tidak menerimanya dan terus mengindahkan tangannya dari tanganku, melihat
usahaku tiada henti, dengan polosnya ia berkata:
“Maafkan aku saudaraku, bukannya menolak pemberianmu, dan
ingin melukai perasaanmu, akan tetapi ayah mengajarkan kami untuk tidak
memberatkan orang lain dan tidak berharap belas kasih manusia selain belas
kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, simpanlah uang itu, karena engkau lebih
memerlukannya ketimbang aku, lagi pula kalau ayahanda mengetahui pasti beliau
tidak akan menyetujuinya”.
Tes tes… ku rasakan air mataku mulai berjatuhan di pipiku,
aku memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ku lihat kerudungnya
nampak kumal, pakaiannya pun terlihat lusuh, ia hanya menggunakan keresek putih
untuk alat-alat sekolahnya, kakinya penuh debu tanpa mengenakan sandal, aku
terdiam terpaku tak mampu berkata sekalimat pun sampai putri guru mulia berlalu
dari hadapanku sambil berlari-lari kecil dengan wajah yang tetap riang. Aku
menelan ludah susah payah, gemetar jiwaku menatap bayangnya yang perlahan
menghilang dari pandanganku, hatiku bergetar hebat, pendidikan macam apa ini
yang membuat anak sebelia dia memiliki hati sedemikian mulia. Sambil berderai
air mata ku segerakan langkahku menuju kamar. Sesampainya di kamar ku
membenamkan kepalaku di bantal dan pecah tangisku seketika, bagaimana tidak?
Jiwaku hancur lembur dihantam akhlak mulia sebegitu luhur,
benar benar kami ini murid yang tak tau diri, jauh kami merantau dari negara
kami hanya demi menimba ilmu serta mengambil keberkahan dari Guru Mulia beserta
Sang Istri, malam-malam kami tidur dengan nyenyak, tidak pernah sedikitpun
kekurangan air dan makanan, bahkan kami menganggap tempat ini seperti rumah
kami sendiri, terkadang kami berbuat semaunya, makan dengan kenyang dan
menggunakan kipas angin dan AC sepuasnya, tetapi guru mulia yang mendirikan
tempat ini pun merasa tidak memilikinya dan tidak berlaku seenaknya.
Hatiku benar-benar serasa dicambuk rasa malu yang begitu
dalam, teramat malu atas ketidaktahuan kami, atas sedikitnya perhatian dan
kepedulian kami. Guru mulia beserta keluarga begitu memuliakan para pelajarnya
melebihi penghormatan kami kepada beliau. Huhuhu… aku terus saja menangis.
Sampai akhirnya terdengar suara peringatan waktu istirahat
segera berakhir. Aku pun menghentikan tangisanku dan menyeka air mata. Masih
dengan mata yang sembab aku bangkit berdiri dan berniat mengambil air wudhu.
Saat ku lewati ruang makan Daruzzahro, sungguh ku menyaksikan pemandangan yang
kembali sangat membuat hatiku miris. Ku lihat tangan mungil putri mulia
memunguti beberapa pecahan roti yang tersisa dari bekas sarapan sebagian
pelajar tadi pagi. Melihatnya aku membuang pandangan karena tak sanggup
menyaksikannya. Kejadian tersebut sangat membekas di hatiku sehingga aku
merenungkannya selama berhari-hari. Semenjak itu aku jadi jarang ikut makan
bersama dengan teman-teman lainnya, kecuali menunggu mereka telah usai semua, dan
aku mulai bermujahadah melunturkan kesombongan yang ada di diriku. Terkadang
aku sengaja memakan roti yang sudah kering dan keras yang sudah ku hancurkan
sebelumnya, atau memakan bekas-bekas nasi yang akan dibuang, atau makan bersama
kawan tetapi dengan suapan yang terbatas, ketika kenyang hanya 3 suap, jika
memang dalam keadaan lapar hanya 9 suap, semua itu sengaja ku lakukan agar
diriku yang sangat payah ini dapat merasakan kerasnya menuntut ilmu tanpa
memanjakan diri sedikitpun, terlebih-lebih setiap mengingat kejadian di atas
hatiku sangat malu terhadap Sang Guru. Kami hanya seorang murid dan hanya
menumpang di tempat ini, harusnya kami yang menjadi pelayan bukannya memanjakan
diri terus menerus.
Wallohu A'lam Bisshowaab
(Diceritakann oleh seorang Alumni Darul Musthofa, Tarim,
Hadhromaut, Yaman, yang bersumber Mii AL Bein Yahya).