Nenek Itu Ternyata Seorang Wali


Konon ada seorang wali kekasih Allah, sebut saja namanya Syeikh Habiburrahman. Beliau termasuk wali yang diberi keistimewaan dapat mengetahui derajat kewalian yang diberikan oleh Allah kepada orang lain. Anehnya salah satu cara kemampuan Syeikh Habiburrahman dalam mendeteksi kewalian orang lain itu dengan ketajaman penciumannya.

Syeikh Habiburrahman ini juaga mempunyai kebiasaan senang keliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Beliau melakukannya itu dengan tujuan untuk bertafakkur, memikir-mikir tentang lika-liku alam semesta ciptaan Allah SWT. Sebagaimana hal itu diperintahkan, tafakkaru fi aalaaillaahi walaa tatafakkaruu fii dzaatillaahi (Berfikir/pelajarilah tentang alam semesta ciptaan Allah itu, dan jangan kalian berpikir tentang hakikat Dzat Allah).

Orang yang rajin mempelajari alam semesta, maka akan menimbulkan daya keimanan yang sangat dalam kepada Allah, sebaliknya orang yang selalu memikirkan hakikat Dzat Allah, jika tidak pandai mengatur pikirannya dengan ilmu Tauhid yang memadai, maka rawan terjerumus ke dalam kesesatan beraqidah.

Dalam sebuah perjalanan, Syeikh Habiburrahman melewati sebuah pasar tradisional di suatu dusun yang cukup ramai. Syeikh Habiburrahman pun berusaha memperhatikan kehidupan masyarakat yang komplek dengan segala aktifitasnya di pasar itu. tentunya ada yang positif namun ada juga yang negatif.

Maklumlah kehidupan di pasar, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW : Khairu biqaa’il ardli masaajiduha wa syarru biqaa’il ardli aswaaquha (sebaik-baik tempat di muka bumi itu adalah masjid dan seburuk-buruk tempat di muka bumi itu adalah pasar). Namun, dalam hiruk-pikuk keramaian pasar yang dicermati oleh Syeikh Habiburrahman, ternyata ada satu kejanggalan yang saat itu hanya beliau saja yang dapat mengetahuinya.

Konon Syeikh Habiburrahman mencium aroma harumnya kewalian yang terpancar dari tengah-tengah pasar itu. Tentu saja hati beliau tak kuat menahan keingintahuannya, kira-kira berasal dari mana bau harum kewalian yang terus menggelitik penciuman tajam beliau itu.

Maka beliau memutuskan untuk mencari sumber keharuman tersebut, hingga beliau memasuki pasar dengan penuh selidik. Semakin beliau masuk ke dalam pasar, semakin jelas saja bau harum kewalian yang menusuk hidungnya, hal itu mendorong semakin besar keingintahuannya itu.

Hingga sampailah beliau ke sebuah toko kecil berada tepat di tengah-tengah pasar yang benar-benar menjadi sentral kehidupan pasar itu. Toko yang beliau temui itu menjual bumbu masak mentah, semacam merica, garam, gula, bawang, terasi, petis, jahe, kunyit dan sejumlah bumbu dapur lainnya.

Sedangkan pemiliknya adalah seorang ibu tua yang layak disebut nenek-nenek. Kondisi toko milik si nenek itupun tidak bisa dikatakan laris, namun tidak dapat pula dikatakan tidak laku. Tapi yang terjadi adalah terkadang ada pembeli yang datang, dan sesaat kemudian kosong tanpa pembeli. Demikian dan seterusnya.

Syeikh Habiburrahman terus memperhatikan situasi toko ini dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati, mengapa beliau justru mencium bau harum kewalian yang menusuk penciumannya itu bersumber dari toko milik nenek ini?

Maka Syeikh Habiburrahman berusaha mendekati toko itu dengan mencari posisi sekira nenek pemilik toko itu tidak memperhatikan keberadaan dirinya. Hingga akhirnya Syeikh Habiburrahman mengetahui bahwa di tangan nenek ini tergenggam sebuah tasbih kecil. Di saat tokonya luang tidak ada pembeli, maka lisan nenek ini terus membaca sesuatu dan memutar tasbihnya, dan tatkala ada pembeli datang, maka tasbih pun diletakkan pada paku gantungan yang menempel di dinding toko. Rupanya demikianlan yang selalu dilakukan oleh nenek pemilik toko bumbu masak ini.

Setelah itu, Syeikh Habiburrahman memberanikan diri mendatangi nenek itu, hingga beliau berhasil menanyakan bacaan apa yang selalu menghiasi lisan nenek itu tatkala menunggu pembeli datang. Maka terkuaklah bahwa nenek ini sudah sejak masa mudanya berjualan di pasar, dan sejak menjaga toko itu pula selalu bershalawat kepada Nabi SAW sambil menunggu pelanggan yang datang.

Katanya, konon nenek ini di masa mudanya pernah mengikuti pengajian yang diasuh seorang ulama, dan ia mendapatkan motifasi agar di saat-saat luang, dimana saja berada, hendaklah selalu membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai ungkapan rasa cinta kepada beliau SAW.

Maka sejak itu pula nenek ini tidak pernah meluangkan waktu kecuali selalu bershalawat kepada Nabi SAW, tanpa pernah mengetahui apa yang hakikatnya sedang terjadi pada dirinya.

Syeikh Habiburrahman pun memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan dengan nenek ini, dan tidak ingin mengusik kehidupan nenek pemilik toko dengan memberitakan aroma harumnya kewalian yang beliau dapati bersumber dari nenek tersebut.

Tentunya kearifan Syeikh Habiburrahman ini juga termasuk yang menjadikan salah satu pelestari kebersihan hati nenek, yang mana nenek ini dengan ikhlasnya selalu membaca shalawat di waktu-waktu luang hanya karena termotifasi oleh sebuah pengajian yang pernah dihadirinya, tanpa pernah berpikir apa yang akan dan sedang terjadi pada dirinya.


Wallahu a'lam