Seorang sahabat Nabi yang dimandikan malaikat saat wafatnya,
saat ia hendak bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
———————————————————————————————————————
Malam hari menyelimuti kota Madinah, bintang-bintang
bertaburan membawa keheningan dan ketenangan bagi seluruh alam yang lelah oleh
kesibukan siang dan letih oleh aktifitas di muka bumi. Nyanyian sore mengalun
meniup lirih kelopak mata untuk memasuki alam mimpi yang indah. Malam membawa
kita kepada sebuah perasaan khusus, seolah ala mini milik kita semata. Malam
membebaskan ruh seorang mukmin supaya jernih sedikit demi sedikit, sehingga ia
pun bisa menyatu dengan kekhusyuan yang mendalam merenungi penciptanya, bersuci
dan bersujud di hadapan-Nya.
Sore itu sama seperti sore-sore biasanya, tetapi tidak bagi
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu. Hari ini adalah hari impiannya, ia mempunyai janji
khusus pada sore itu, hari yang telah lama ia nantikan, hari dimana ia berjumpa
dengan istri tercinta, Jamilah. Hari ini adalah hari ketika mereka berdua
menjadi pengantin yang penuh bahagia.
Pertemuan Ataukah Perpisahan
Takdir Allah Ta’ala mengantarkan Hanzhalah kepada kebaikan,
menikah dengan kekasihnya Jamilah dimana pagi harinya Perang Uhud menawarkan
sesuatu antara benci dan cinta. Keengganan berpisah dari kekasihnya dan
kerinduan akan pahala syuhada dan gugur di medan jihad meninggikan kalimat
Allah. Hanzhalah pun bermalam bersama istrinya, ia tidak tahu pasti apakah ini
pertemuan atau perpisahan bersama sang kekasih.
Betapa manisnya hari itu, betapa indahnya pernikahan hari
itu. Aroma harum menghiasi detik demi detik, rahasia apa yang tersembunyi di
balik hari itu bagi Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dan istrinya yang dipenuhi
kerinduan. Air mata bahagia pun menetes tak terasa. Ia memeluk sang kekasih
seperti seorang tamu yang hendak pergi, seperti khayalan yang dilihatnya,
sementara ia tidak memilikinya. Hanzhalah radhiallahu ‘anhu terlihat seperti
langit, dekat tapi jauh.
Hanzhalah menyatukan cintanya yang kecil dengan cinta yang
besar, agar bisa memberinya kebesaran dan kehormatan. Dia memeluknya, agar
cinta dari langit yang kekal menyatu dengan cinta manusiawinya yang fana, maka
masuklah kekekalan dan keadabian. Hanzhalah radhiallahu ‘anhu mengaktifkan
perhitungan dan perbandingan emosional itu di hati dan pikirannya. Dia
mengambil keputusannya dengan cepat seiring hembusan fajar. Manakala dia
menyimak panggilan jihad, dia pun keluar dengan segera.
Dalam keadaan junub, tidak menunggu mandi, dia bangkit di
tengah air mata sang kekasih dan kerinduan hati yang haus akan pandangan istri
tercinta. Dia bangkit, sementara kerinduan masih berdenyut seiring detak
jantungnya. Rindu kepada saat-saat bertemu yang kemudian berlalu begitu saja
dan berubah menjadi angan-angan semata.
Hanzhalah berangkat. Dia telah menjadikan hawa nafsunya
seperti tanah yang terinjak oleh kakinya. Cinta yang besar mengalahkan
semuanya. Hanzhalah menang melawan dirinya, Hanzhalah menang atas Hanzhalah.
Cinta Adalah Air Mata… Cinta Adalah Emosi
Hanzhalah sang mujahid, sang pengantin satu malam telah
bangkit menenteng senjata menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun
barisan pasukan, menyusun barisan hati untuk dijual di jalan Allah. Hanzhalah
turun ke pasar surga dan peperangan pun mulai berkecamuk.
Di awal perang, kemenangan pun sudah tampak dalam genggaman.
Akan tetapi manakala para pemanah beranjak dari pos mereka, manakala penjual
berubah menjadi pembeli maka timbangan peperangan pun berbalik. Orang-orang
musyrik merangsek maju dengan barisannya yang kuat. Hanzhala masih terus
membuktikan cintanya yang besar kepada Allah, dan dia benar-benar membuat kita
malu. Dia maju ke arah Abu Sufyan bin Harb, mematahkan kaki kudanya dan membuat
Abu Sufyan terpelanting jatuh ke tanah. Dalam situasi seperti itu, datanglah
Syaddan bin Aswad untuk menolong Abu Sufyan dari Hanzhalah. Maka Syaddad pu
berhasil membunuh sang pemiliki hati yang suci dengan sebilah tombak yang
menghantam tubuh Hanzhalah.
Hanzhalah radhiallahu ‘anhu pergi meninggalkan kita,
meninggalkan darah yang harum, meninggalkan pelajaran tentang pengorbanan
seorang hamba kepada Allahu Subhanahu wa Ta’ala. Membangunkan jiwa kita yang
tertidur dan melecut semangatnya. Mengajarkan bagaimana menunggang kuda-kuda
syahadah dan membuang kuda-kuda khayalan.
Hujan Rindu dari Langit
Perang telah usai, para mujahidin berjejer menyaksikan
saudara-saudara mereka yang telah membeli surga dengan jiwa-jiwa mereka. Mereka
mencari sahabat-sahabat mereka yang telah gugur. Hati yang selalu menunggu
janji langit sedang mencari hati yang mendahuluinya ke langit. Tangan mereka
meraba-raba jasad Hanzhalah yang berlumur darah. Mereka herang dengan tetesan
air yang menempel di dahinya, menetes dari ujung rambutnya mengingatkan pada
air mata Jamilah yang bersedih.
Tetesan air yang masih menjadi misteri tak terpecahkan oleh
para sahabat. Seandainya mereka tidak mendegat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam “Aku melihat para malaikat memandikan Hanzhalah bin Abu Amir di
antara langit dan bumi dengan embun di dalam bejana-bejana perak.”
Kabilah Aus, kabilah Hanzhalah, selalu membanggakannya.
Mereka berkata, “Di antara kami terdapat seseorang yang dimandikan malaikat,
dialah Hanzhalah bin Abu Amir. Di antara kami terdapat seseorang yang jasadnya
dilindungi oleh lebah, dialah Ashim bin Tsabit. Di antara kami terdapat orang
yang kesaksiannya disamakan dengan kesaksian dua orang, dialah Khuzaimah bin
Tsabit. Dan di antara kami terdapat orang dimana arasy Allah Maha Rahman
bergoncang karena kematiannya, yaitu Saad bin Muadz.”
Kenangan Sang Kekasih
Jamilah terus mereguk kenangan akan pertemuan singkat yang
terpatri dalam jiwanya. Senandung kasih abadi merek berdua tidak mungkin
dilupakan wanginya, masih tercium di tempat tidurnya. Wajahnya terpampang di
atap kamarnya. Setelah kedua matanya tenteram dengan cahaya kematian syahid
suaminya, dia masih membayangkan melihatnya di negeri langit.
Jamilah masih menceritakan kepada para tetangga bahwa dia
melihat Hanzhalah sesaat sebelum malam pernikahannya. Bagaimana mimpi itu bisa
menjadi kenyataan. Jamilah bermimpi melihat langit terbelah untuk Hanzhalah,
maka dia masuk dan setelah itu langit pun menutup lagi.
Sepertinya mimpi ini menghakhawatirkan Jamilah. Dia melihat
mimpi itu membawa awan kelam dan ketakutan. Hingga dia meminta kepada empat
orang kaumnya untuk menjadi saksi bahwa Hanzhalah telah benar-benar menikah
dengannya. Siapa sangka bahwa mimpi yang dia takutkan membawa keburukan dan
karenanya dia berantisipasi dari fitnah dan tuduhan ternyata justru membawa
kabar gembira dari langit dan memberikan kepadanya predikat istri seorang syuhada.