Peringatan Hari Kartini setiap tahun, sering kali dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk tujuan-tujuan yang tidak
bertanggungjawab pula. Hari Kartini mereka manfaatkan untuk mengkampanyekan
“kebebasan bagi wanita”, bahkan dalam semua sisi kehidupan. Yang mereka
maksudkan dengan istilah “bebas” adalah bebas menjadi apa saja, bebas melakukan
apa saja, sekalipun itu terlarang di mata agama.
Mendompleng semangat perjuangan seorang Kartini, mereka menentang
syari’at Allah yang mereka anggap sebagai pengekangan dan pemasungan terhadap
kebebasan wanita.
Mereka menolak hukum Islam yang menetapkan separuh warisan bagi
wanita dibanding pria. Padahal, itulah bentuk keadilan Allah jika kita
merenungkannya secara mendalam. Betapa tidak, pria diberikan jatah warisan dua
kali lipat wanita namun dibebani kewajiban menanggung istri dan anak-anak
perempuannya. Sementara wanita, murni memiliki jatah warisannya tanpa dibebani
kewajiban menanggung dan menafkahi layaknya suami.
Mereka menolak hukum syari’at yang membolehkan poligami dengan
menjadikan R.A. Kartini sebagai alasan. Padahal, R.A. Kartini sendiri adalah
istri ke-4 dari Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Mereka menolak aturan Islam bagi wanita tentang jilbab, kewajiban
menutup aurat, dan keharusan wanita ditemani mahram dalam safar (perjalanan
jauh). Padahal itu justru bentuk pemuliaan dan perlindungan Islam terhadap
wanita.
Bahkan di antara mereka ada yang menyudutkan Islam dengan menyebut
Islam sebagai agama terbelakang, agama yang mengekang wanita, agama yang
melecehkan dan merendahkan martabat wanita. Na’üdzubilläh, ini adalah kedustaan
yang besar.
Islam dan Pendidikan bagi Wanita
Sejarah mencatat bahwa Ibu Kartini bukanlah seorang yang dikenal
sebagai aktivis atau pejuang kebebasan wanita dalam segala hal. Beliau—semoga
Allah mengampuni dan merahmatinya—di kenal sebagai tokoh yang memperjuangkan
hak-hak wanita untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan yang layak. Dan ini,
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Karena Islam mewajibkan kita—baik muslim
ataupun muslimah—untuk menuntut ilmu (khususnya ilmu agama). Rasülulläh
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu (agama), wajib atas segenap muslim (orang Islam).”
[Shahih at-Targhïb wat-Tarhïb hal. 34, al-Albani]. Para ulama menjelaskan bahwa
kata “muslim” dalam hadits ini bersifat umum, mencakup muslimah. Maka dalam hak
dan kewajiban menuntut ilmu, baik wanita maupun pria, keduanya setara.
Letak Kesetaraan Pria-Wanita
Kemudian di antara sekian bukti rahmat dan kasih sayang Allah
kepada wanita muslimah, Allah telah menjadikan wanita setara dengan pria dalam
statusnya sebagai hamba yang akan dibalas amal shalihnya. Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً. وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [Surat
An-Nahl : 97]
Perintah Bersabar terhadap Wanita
Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan seorang pria (suami)
untuk bersabar atas sesuatu yang tidak ia sukai dari wanita (istrinya). Sekali
lagi ini adalah bukti betapa Islam memuliakan wanita:
Artinya: “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (isteri-isteri
kamu), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Hijab, Memuliakan Wanita
Allah ta’äla berfirman yang artinya: Wahai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin:
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal karena itu mereka tidak
diganggu.Dan Allah adalah maha pengampun dan penyayang. [Al Ahzab: 59]
Ayat yang mulia di atas, adalah sebesar-besar dalil betapa hijab
atau jilbab (yang menutupi aurat dan tidak ketat) adalah wujud pemuliaan dan
perlindungan syari’at terhadap wanita. Kebebasan dan keterbukaan wanita yang
dipamerkan oleh Barat (yang kafir) justru telah terbukti memudaratkan mereka.
Wanita-wanita mereka begitu dihinakan sehingga kerap kali menjadi korban
pelecehan dan kekerasan.
Data statistik menunjukkan 17,7 juta wanita Amerika pernah menjadi
korban percobaan perkosaan atau perkosaan. Data statistik itu dihimpun
organisasi nasional AS untuk anti kekerasan seksual yakni Rape, Abuse, and
Incest Nastional Network (RAINN). Dikutip dari situs resminya
(http://www.rainn.org), 1 dari 6 wanita Amerika pernah menjadi korban
perkosaan. Organisasi itu juga mencatat setiap dua menit, seseorang di Amerika
menjadi korban pelecehan seksual. Jumlah kasus pemerkosaan per kapita pada 2009
di Israel merupakan yang tertinggi di dunia. Sementara Jerman berada di posisi
kedua [sumber: republika.co.id].
Adapun negara-negara Islam yang terkenal kental dengan nuansa
berpakaian muslimahnya yang sesuai dengan syari’at justru berada jauh dibawah
negara-negara non-muslim dalam hal tindak kejahatan pemerkosaan yang terjadi.
Seperti Mesir (berada di urutan ke-118 dari 119 negara), Yaman (di urutan
ke-107), dll. Bahkan, nama Saudi Arabia sama sekali tidak tercantum, tidak pada
urutan ke-119 sekalipun.
Ini menunjukkan bahwa negara-negara kafir yang menjunjung kebebasan
dan keterbukaan bagi wanita, justru menjadi negara yang paling melecehkan kaum
wanitanya. Mengapa demikian, disebabkan telah sirnanya rasa malu dari
wanita-wanita Barat karena jauhnya mereka dari syari’at Allah. Sementara Islam
melalui aturan hijab-nya memelihara rasa malu dalam jiwa-jiwa muslimah, yang
mendatangkan kebaikan dari segala sisi. Rasulullah r bersabda:
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari
no. 6117 dan Muslim no. 37)
Kemuliaan Ibu = Kemuliaan Wanita
Pemuliaan Islam terhadap wanita, tergambar jelas dari keindahan
syari’atnya yang menjunjung tinggi kedudukan seorang ibu. Allah berfirman yang
artinya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS.
Luqman: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?”
Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Kitab al-Adab no. 5971 juga Muslim,
Kitab al-Birr wa ash-Shilah no. 2548)
Semoga Allah merahmati seorang penyair, Hafizh Ibrahim yang
berkata:
الأم مدرسة إذا أعددتها أعددت شعبا طيب الأعراق
الأم روض إن تعهده الحيا بالريّ أورق أيما إيراق
الأم أستاذ الأساتذة الألى شغلت مآثرهم مدى الآفاق
“Ibu adalah madrasah. Jika engkau persiapkan dengan baik, maka
engkau tengah mempersiapkan satu bangsa yang unggul.”
“Ibu adalah taman. Jika senantiasa tersirami dengan rasa malu, maka
taman itu akan hijau merekah.”
“Ibu adalah guru pertama bagi para guru, di mana pengaruh mereka
yang terpuji membentang di sepanjang ufuk.”
***
Penyusun:
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)
-Pimred Buletin al-Hujjah-
Muroja’ah:
Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
-Mudir Ponpes Abu Hurairah Mataram-